Berlayar Bersama Arctic Sunrise

Pada suatu masa ketika gletser perlahan mulai mencair, jauh di atas laut dingin di Atlantik Utara, lahirlah sebuah kapal yang berukuran tak terlalu besar melaju tenang di antara pecahan es di antartika.
Ia bukan kapal megah yang terbuat dari perak atau emas, bukan pula hasil karya dari tangan seorang bangsawan. Ia lahir dari sebuah bengkel kapal di Norwegia pada tahun 1975. Awalnya ia dirancang untuk berburu anjing laut — tapi takdir berkata lain, tugas berburu itu tak pernah ia lakukan sampai saat ini.
Arctic Sunrise, begitulah kapal ini diberi nama saat bergabung dengan armada Greenpeace pada tahun 1995, melambangkan awal yang baru dan dapat membawa harapan masa depan yang lebih cerah di beberapa tempat yang paling rapuh dan terpencil di planet ini. Sejak saat itu, Arctic Sunrise telah mengarungi lautan, melakukan pelayaran pertamanya ke Laut Utara untuk mendokumentasikan polusi laut yang disebabkan oleh tumpahan minyak dari instalasi kilang minyak di lepas pantai sana.

Selama beberapa dekade, Arctic Sunrise berlayar bukan untuk mencari harta, tetapi untuk mencari sebuah kebenaran. Bukan untuk menaklukkan sebuah daratan, tetapi untuk melindunginya dari tangan-tangan perompak licik yang rakus. Dia tidak membawa meriam, tidak ada bendera penaklukan, hanya pelangi membentang dengan indah di lambungnya.
Kru kapalnya bukanlah seorang ksatria atau bajak laut yang handal dalam bertarung fisik, tapi sekelompok pejuang perdamaian yang beranekaragam mulai ari ilmuwan, juru masak, mekanik, penulis, aktivis, vegan, dan seorang pemimpi. Dari Brasil hingga Korea Selatan, Irlandia hingga Indonesia, mereka menaiki Arctic Sunsrise dengan keberanian yang sama, dan dengan misi yang tertanam di dalam hati mereka untuk mempertahankan planet biru dari keserakahan manusia yang semakin hari semakin parah.
Kru kapal tidak memiliki pangkat, tidak ada gelar kebangsawanan. Kapten kapalnya hanyalah seorang vegan yang bersuara lembut, memerintah bukan dengan gelar atau pangkat yang ia punya, tetapi dengan sebuah kepercayaan dari kru kapal lainnya. Setiap kru kapal, penyelam, sampai ke dokumenter memiliki nilai yang sama di atas kapal ini. Tawa bergema di aula baja yang dihiasi mural dan sticker yang mulai rusak, dengan baja yang bengkok akibat pertempuran dengan laut itu sendiri.
Arctic Sunrise bukanlah sebuah kapal yang bagus. Tulang-tulangnya sudah berderit, relnya berkarat. Namun, di dalam lambungnya tersimpan semacam keajaiban yang tetap membuat kapal ini berdiri kokoh, sebuah energi solidaritas, sebuah kekuatan pemberontakan yang sangat besar. Dan seperti halnya semua kru yang ada pada dongeng-dongeng tentang bajak laut, mereka membawa cerita di kulit tangan atau badan mereka. Tato ikan paus, hutan, api yang merepresentasikan apa yang mereka perjuangkan. Lalu rambut yang dikepang menyerupai rumput laut, atau dicukur hingga gundul di kulit kepala. Tidak ada yang menghakimi. Ini adalah bentuk kebebasan mereka di atas kapal, dan bentuk saling menghormati.
Mereka bernyanyi dalam banyak bahasa. Mereka bercanda, berdebat, menari dengan riang dengan kaus kaki mereka selama malam badai. Dan ketika es retak terlalu keras atau dunia terasa terlalu berat untuk diarungi, mereka teringat mengapa mereka tetap berlayar, yaitu demi lautan, demi hutan, demi anak-anak yang belum pernah melihat gletser dan ikan-ikan di wilayah Arktik.

Di ruang tunggu, di samping baut-baut yang sudah berkarat dan peta laut yang sudah memudar, tergantung sebuah peta dunia yang dihiasi dengan mimpi-mimpi dari seluruh kru kapal. Bukan mimpi untuk menaklukkan, tetapi untuk melindungi indahnya planet bumi ini. Mimpi bahwa suatu hari nanti, Kutub Utara bukan hanya sekadar perbatasan untuk mencari kekayaan, tetapi juga tempat perlindungan bagi kehidupan laut dan daratan, sebuah misteri yang seharusnya memang tetap dirahasiakan, dan untuk senuah kedamaian bagi planet bumi.
Dengan sisa kemampuan yang ada, Arctic Sunrise terus berlayar. Melalui kabut dan embun yang membeku, melalui kerasnya tekanan politik dan protes dari belahan dunia, ia tetap menjadi mercusuar yang mengambang di atas laut untuk memberikan cahaya untuk dunia di sekitarnya.
Untuk sebuah pelayaran yang bukan untuk mengambil, tetapi untuk memberi kembali arti kehidupan. Di suatu tempat, di atas ombak es yang mulai mencair, pelangi di lambungnya itu akan selalu bersinar.
Tanggapan