Perlawanan Sunyi dari Hidup dengan Kesadaran: Mengapa aku terus berpegang pada harapan di dunia yang seolah telah melepaskannya?

Sudah hampir lima tahun sejak saya memulai perjalanan ini – lima tahun mencoba untuk hidup dengan lebih sadar, mempelajari kehidupan yang berkelanjutan, dan menjadi lebih bertanggung jawab dalam cara saya berinteraksi dengan Bumi. Semuanya dimulai dari sebuah percikan: sebuah kesadaran bahwa cara kita hidup sangat terkait dengan nasib planet ini. Dari situ, saya berkomitmen untuk melakukan perubahan – besar maupun kecil – yang mencerminkan kesadaran itu. Saya membaca buku dan artikel, bergabung dengan komunitas, menonton film dokumenter, menghadiri lokakarya, dan perlahan mengubah kebiasaan saya.
Awalnya, proses ini terasa memberdayakan. Saya merasa menjadi bagian dari sesuatu yang bermakna, sesuatu yang lebih besar dari diri saya sendiri. Saya percaya bahwa pilihan saya berarti. Bahwa jika lebih banyak orang peduli dan bertindak, perubahan akan datang. Tapi seiring waktu, perjalanan ini menjadi semakin rumit.
Energi yang dulu saya miliki mulai memudar. Motivasi yang dulunya mendorong saya mulai goyah. Saya terjebak dalam siklus harapan dan keputusasaan. Ada hari-hari di mana saya merasa penuh tujuan, siap menghadapi dunia dengan nilai-nilai saya. Tapi ada juga hari-hari di mana saya mempertanyakan segalanya.
“Apa gunanya semua ini?”
“Siapa sebenarnya yang ingin saya tolong?”
“Apakah saya hanya membohongi diri sendiri, berpikir bahwa ini semua berdampak?”
“Dan meski saya hidup seperti ini – dengan hati-hati, penuh kesadaran – lalu apa? Apa langkah selanjutnya? Apakah ada ‘selanjutnya’ yang bisa dicapai?”
Belakangan ini, pertanyaan-pertanyaan itu semakin keras dan terus-menerus muncul. Mereka bergema di benak saya ketika saya melihat berita: satu lagi hutan yang ditebangi, satu lagi undang-undang yang memihak korporasi daripada ekosistem, satu lagi tumpahan minyak, satu lagi spesies dinyatakan punah. Saya mencoba tetap mengikuti informasi, tapi semakin banyak yang saya pelajari, semakin saya merasa tak berdaya.
Ada kelelahan yang dalam dan terus-menerus saat kita terlalu peduli. Bukan sekadar lelah fisik – tapi juga lelah secara emosional dan spiritual. Ini adalah kelelahan karena terus berenang melawan arus setiap hari, mencoba melakukan hal yang benar dalam dunia yang seringkali justru menghargai hal yang sebaliknya.
Kadang saya berharap bisa melepaskan semuanya. Berhenti peduli. Berhenti memperhatikan. Hidup dalam ketidaktahuan. Bagaimana jika saya memilih kenyamanan daripada kesadaran? Bagaimana jika saya berhenti memilah sampah, berhenti membaca label, berhenti memikirkan jejak karbon dan deforestasi? Bagaimana jika saya… hidup saja, seperti banyak orang lain – tanpa beban pengetahuan ini?
Namun, saya tak bisa. Bahkan di saat saya merasa putus asa, ada bagian dari diri saya yang tetap bertahan. Bagian yang tahu bahwa diam dan apatis adalah yang memungkinkan kehancuran terus berlangsung. Bagian yang menolak menyerah, meskipun beban ini terasa tak tertahankan.
Suatu hari, ketika saya merasa sangat terpuruk, saya memutuskan untuk bicara dengan ibu saya. Saya tak mengharapkan banyak – hanya butuh seseorang untuk mendengarkan. Saya curahkan isi hati, bagikan keraguan saya, rasa frustrasi saya, keinginan saya untuk menyerah. Dia mendengarkan dengan tenang, sabar, seperti biasa. Lalu dia berkata sesuatu yang sangat membekas di hati saya:
“Mungkin, untuk sekarang, kita lakukan semua ini hanya untuk mengurangi dosa kita sendiri terhadap alam.”
Kata-katanya menyentuh saya dengan cara yang belum pernah saya rasakan. Bukan kata-kata yang agung atau idealis. Tak menjanjikan bahwa dunia akan berubah atau bahwa usaha kita akan dihargai. Tapi kata-kata itu memberi ketenangan – semacam kejernihan spiritual.
Mungkin jalan yang saya pilih ini bukan tentang memperbaiki segalanya atau menyelamatkan semua orang. Mungkin bahkan bukan tentang membuat dampak yang terlihat. Mungkin ini hanya tentang mengambil tanggung jawab. Mengakui bahwa saya adalah bagian dari Bumi ini, dan bahwa saya punya kewajiban – bukan hanya untuk berjuang demi alam, tapi juga untuk melangkah dengan lembut di atasnya.
Dan mungkin, dengan begitu, saya bisa berdamai – tak hanya dengan dunia, tapi juga dengan diri saya sendiri.
Jadi, meski terasa seperti tak ada yang berubah, saya akan terus melanjutkan. Bukan karena saya mengharapkan tepuk tangan, atau karena saya percaya saya pahlawan – tapi karena saya ingin hidup dengan cara yang selaras dengan nilai-nilai saya. Karena saya ingin bisa memandang Bumi dan berkata, “Saya sudah mencoba.”
Dan mungkin, hanya itu saja… sudah cukup.
Tanggapan