Menemukan Muro sebagai Solusi Menyelamatkan Teluk Hadakewa dari Kehancuran

Klemens Kwaman, Kepala Desa Hadakewa, pagi-pagi, Jumat, 11 Maret 2022, mengabarkan kepada saya bahwa puluhan nelayan telah berkumpul di kantor desa.

Mereka hendak mengeluhkan hasil tangkapan ikan yang sangat kurang tahun ini, jauh berbeda dengan hasil tangkapan tahun sebelumnya.

Para nelayan juga menuding masuknya kapal purse seine di perairan Teluk Hadakewa sebagai sebab dari hasil tangkapan nelayan tradisional yang merosot drastis.

Ini wajar, karena alat tangkap pukat purse seine yang masif dan merusak terumbu karang memang tak cocok beroperasi di wilayah Teluk Hadakewa.

Regulasi juga tidak mengizinkan kapal purse seine beroperasi dalam kawasan Teluk Hadakewa yang masih masuk kawasan 0-2 mil dari bibir pantai.

Klemens sudah bisa memprediksi ini sebelumnya. Sebagai pimpinan wilayah desa pesisir yang masyarakatnya juga menggantungkan hidup dari laut, dia sudah melihat sejumlah fenomena aktivitas penangkapan ikan yang merugikan.

Dalam pertemuan tersebut, dia berjanji di hadapan para nelayan bahwa dirinya akan berkoordinasi dengan pimpinan pemerintah tingkat atas guna mengatasi masalah ini.

Jika tak ada jalan keluar, potensi konflik antara nelayan tradisional dan nelayan atau pemilik kapal purse seine bisa semakin mengkhawatirkan.

Namun, Klemens kemudian sadar kalau satu-satunya cara mengembalikan  kejayaan Teluk Hadakewa sebagai penghasil ikan terbaik adalah dengan cara konservasi dari kearifan lokal atau disebut Muro.

Di Lembata, lembaga swadaya masyarakat (LSM) Barakat sejak tahun 2016 mengadvokasi sejumlah desa pesisir di Kecamatan Ile Ape, Ile Ape Timur dan Lebatukan untuk menghidupkan kembali warisan leluhur tersebut.

Beberapa desa itu yakni Dikesare, Tapobaran, Lamawolo, Kolontobo, dan Lamatokan.  Dengan pendampingan yang berkelanjutan, masyarakat adat di kelima desa ini telah menggelar ritual adat dan menerapkan Muro di kawasan laut, tempat mereka menggantungkan hidup.

Teluk Hadakewa sendiri berada di antaran kawasan-kawasan laut yang sudah menerapkan konservasi Muro. Tak butuh waktu lama, Klemens pun menghubungi direktur LSM Barakat, Benediktus Bedil untuk melakukan intervensi program dan advokasi Muro di Desa Hadakewa dalam rangka konservasi.

Barakat menyambut baik inisiatif ini dan mulai melakukan advokasi. Pada tahapan awal, Barakat mengutus dua orang pelaku Muro dari Desa Kolontobo dan Dikesare, seorang peneliti lingkungan dan aktivis lingkungan, setidaknya memberi kesaksian betapa Muro sebagai sebuah kearifan lokal ialah solusi dari apa yang mereka khawatirkan.

Apa itu Muro?

Muro dipahami secara harfiah sebagai pembagian suatu kawasan yang dilakukan secara adat atau penutupan suatu kawasan dengan ritual adat.

Muro sudah dikenal sejak dulu kala di wilayah pesisir Kabupaten Lembata.  Masyarakat adat akan menggelar ritual di tengah kampung,  kemudian dengan perahu memasang balela (batas) pada area laut yang akan ditutup selama waktu tertentu dari aktivitas apapun.

Masyarakat mengenal pembagian tiga zonasi Muro yakni zona pertama disebut Tahi Tubere (Jiwa Laut) yang merupakan zona inti sebagai tempat ikan bermain dan berkembang biak. Zona ini sama sekali dijauhkan dari aktivitas manusia dalam bentuk apa pun.

Zona kedua disebut Ikan Berewae (Ikan Perempuan) yang dianggap sebagai zona penyangga. Perempuan dan anak-anak diprioritaskan menangkap ikan di wilayah ini tapi hanya boleh dengan alat tangkap pancing tradisional, bukan dengan pukat.

Zona ketiga disebut Ikan Ribu Ratu atau ikan untuk umum sebagai zona pemanfaatan. Lokasi ini dibuka dan ditutup untuk umum sesuai kesepakatan. Bisa setahun sekali atau tiga sampai lima kali dalam setahun.

Pada saat kawasan ini dibuka, masyarakat akan beramai-ramai turun ke laut menangkap ikan yang ada di sekitar pesisir.

Dahulu kala, praktik pembukaan kawasan Ikan Ribu Ratu sangat erat kaitannya dengan ketahanan pangan masyarakat pesisir dan masyarakat  di pegunungan.

Masyarakat dari gunung akan diundang untuk menangkap ikan di pantai. Sebaliknya mereka akan membawa hasil kebun seperti jagung, beras dan kacang-kacangan untuk diberikan kepada saudara-saudari mereka yang bermukim di pesisir.

Ketiga zonasi di laut ini diawasi langsung oleh kelompok masyarakat adat yang disebut Kapitan Sari Lewa. Mereka adalah suku-suku tertentu dalam kampung  yang memang secara turun temurun bertugas sekaligus punya wewenang menjaga dan mengawasi wilayah laut.

LSM Barakat kemudian memperkuat Kapitan Sari Lewa dengan pelatihan, advokasi dan sejumlah fasilitas pendukung untuk melaksanakan tugas pengawasan tersebut.

Masyarakat adat tak berjalan sendiri. Dan memang tak bisa berjalan sendiri. Barakat kemudian berupaya supaya Muro dan keseluruhan tatanan masyarakat yang menyokongnya bisa diakui negara.

Melalui konsultasi publik, kawasan Muro di enam desa seluas 358,28 ha disepakati untuk dilindungi, kemudian dilegitimasi melalui sumpah adat di rumah adat (Namang) dan dilegalisasi melalui SK Gubernur NTT Nomor: 192/KEP/HK/2019 tertanggal 11 Juni 2019 tentang ‘Pencadangan Konservasi Perairan Daerah di Kabupaten Lembata.’ Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Lembata Nomor 95 Tahun 2021.

Sebanyak 25 orang Kapitan Sari Lewa sebagai Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) yang mengawasi Muro bersama tim pengawas di tingkat Kabupaten Lembata juga mendapat mandat berupa SK Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Lembata Nomor: DISKAN.523/SD1.101/v/2019.

Apa yang terjadi di Teluk Hadakewa?

Ulah manusia jadi satu-satunya alasan kenapa para nelayan mengeluhkan pengurangan hasil tangkapan ikan di Teluk Hadakewa. Peneliti lingkungan, Piter Pulang, mengklaim 80 persen terumbu karang di Teluk Hadakewa sudah rusak. Otomatis tempat ikan berkembang biak pun musnah dengan sendirinya.

Lebih jauh, Piter menyebutkan pembabatan bakau (mangrove) di desa Merdeka, desa tetangga Hadakewa, beberapa tahun lalu, juga turut punya pengaruh pada menurun-Nya hasil tangkapan ikan dan Bakau sebagai tempat ikan bertelur pun lenyap.

Bukan itu saja, setiap tahun, banjir atau aliran air hujan membawa tanah dari daratan yang sudah tercampur dengan pupuk kimia, pestisida, atau material polutan.

Jika hutan bakau sudah tak ada, maka tanah yang tercampur zat-zat kimiawi itu juga turut mencemari laut. Kondisi ini kemudian diperparah lagi dengan erupsi Gunung Ile Lewotolok yang memuntahkan zat kimia ke lautan.

Komposisi air laut pun berubah. Akibat dari konsentrasi kimia yang tinggi di laut dan tak ada tempat untuk bertelur, maka ikan akan keluar dari Teluk Hadakewa.

Justru, Piter mengklaim, tangkapan ikan yang didapat para nelayan saat ini berasal dari wilayah konservasi yang sudah menerapkan Muro di desa desa-sekitar.

Temuan lain diutarakan oleh Kepala Kantor Cabang Dinas Perikanan Provinsi NTT, M. Un Budi Kabosu. Menurut dia, salah satu sebab hasil tangkapan nelayan tradisional berkurang ialah semakin banyaknya kapal bagan yang beroperasi di Teluk Hadakewa. Dia menyarankan supaya tidak ada lagi penambahan kapal bagan di Teluk Hadakewa.

Budi menyampaikan hal ini saat bertemu dengan para nelayan di Aula Kantor Desa Hadakewa, Kecamatan Lebatukan, Kamis, 17 Maret 2022.

Dari laporan kepala desa, diketahui kalau jumlah kapal bagan yang beroperasi di Teluk Hadakewa menyentuh angka 30 kapal. Jumlah ini sudah terlalu banyak menurutnya. Maka tidak heran hasil tangkapan nelayan pun berkurang.

Budi memaparkan di dalam wilayah Teluk Hadakewa, harus ada perhitungan daya dukung (daya pemulihan laut) dan daya tampung (kapal tangkap).

Dia mencontohkan, sebanyak 100 kilogram ikan yang direbut oleh 30 kapal bagan. Maka, satu kapal bagan hanya dapat sedikit ikan. Apalagi para nelayan tradisional. Bukan hanya bagan. Rumpon pun jadi soal tersendiri.

Dia menemukan ada banyak rumpon di Teluk Hadakewa. Sementara, sesuai regulasi rumpon hanya bisa dipasang di luar wilayah 4 mil atau di luar zona konservasi Teluk Hadakewa.

Untuk itu dia meminta para pemilik rumpon untuk segera memindahkan alat tangkapnya itu keluar dari Teluk Hadakewa.

Menghidupkan Kembali Muro

Saya, kemudian bertemu lagi dengan Klemens dan kembali membahas persoalan hasil tangkapan nelayan di desanya.

Kami berkesimpulan, Muro adalah model konservasi yang tepat untuk diterapkan di Teluk Hadakewa. Berbasiskan kearifan lokal yang dekat dengan masyarakat, warisan leluhur ini jadi solusi paling mutakhir bukan hanya untuk dampak eksploitasi laut yang berlebihan tapi juga soal perubahan iklim (climate change).

Kami berdua sadar ada banyak kearifan lokal yang ditinggalkan tapi justru itu merupakan solusi dari masalah-masalah lingkungan yang kita alami sekarang.***

Baca Juga: Kerang Hijau si Penyelamat Air Laut, Benarkah?

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Tanggapan