Cerpen: Raja Ampat Kehilangan Tahta

Aku tinggal di sebuah tempat yang dulunya disebut surga. Tapi kini, bahkan malaikat pun minta mutasi. Alasannya klasik, sudah tidak nyaman.
Bayangkan, kau bangun pagi, ingin menikmati aroma laut, tapi yang menguar justru bau oli mesin dan janji-janji pemerintah yang sudah basi sebelum sempat dipanaskan. Dulu, burung-burung datang menyanyi. Sekarang mereka hanya mampir untuk protes, lalu migrasi ke utara. Mungkin mereka ingin ikut sidang PBB.
Hari itu, aku duduk bersama empat opa tua kampung di bawah pohon ketapang —-tempat kami biasanya merundingkan hal-hal serius seperti cuaca, harga pala, dan kenapa Tuhan makin jarang mampir.
Lalu datanglah Bertha—anak SMA yang lebih cerdas dari seluruh fraksi parlemen jika dihitung rata-rata literasinya.
“OPA! KITA MASUK BERITA NASIONAL!”
“Beta meninggal kah? Kalau bukan, tidak penting,” gumam Opa Marthen sambil menyeruput kopi yang bisa digunakan sebagai pelumas mesin.
“Bukan, Opa. Menteri-menteri semua KAGET! Mereka seakan-akan baru tahu, kok ternyata ada tambang nikel di Raja Ampat!”
Aku tertawa. Bukan tawa senang, tapi tawa jenis keempat -—tawa yang biasanya muncul ketika semua emosi lain sudah bangkrut.
“Kaget? Ada tambang nikel di Raja Ampat? Yang katanya surga terakhir di bumi? Yang fotonya dipakai di kalender kementerian pariwisata tapi tanahnya dipakai kementerian yang lain untuk dijual ke perusahaan tambang dengan alat-alat berat?”
Opa Yakobus menimpali, “Beta rasa mereka semua korban insomnia. Mungkin sudah tiga tahun tidak tidur, jadi baru sadar kemarin malam.”
—
Izinkan aku bercerita sedikit. Di kampung ini, untuk mendapatkan izin menebang satu pohon saja, harus ada rapat adat, doa, dan tangisan. Tapi lucunya tambang bisa tumbuh seperti cendawan sisa kolonial -—diam-diam, menjalar, lalu memakan akar kampung.
Ironisnya, para pejabat pusat mengaku terkejut. Satu demi satu muncul di TV seperti peserta audisi drama Korea. Menteri Lingkungan bersru, “Kami akan ambil langkah hukum.”
Menteri Tambang berjanji, “Kami evaluasi ulang.”
Wamen Luar Negeri seolah-olah bersimpati, “Kami prihatin secara diplomatik.” Pun DPR tak mau ketinggalan, “Kami ikut nimbrung, karena rating kami turun.”
Sungguh… aku mencintai bangsa ini, tapi kadang ia seperti ayah yang lupa nama anaknya, tapi ingat PIN ATM anaknya dengan sangat fasih.
Kata orang kota, eksploitasi itu efek samping dari pembangunan. Di kampung kami, efek utamanya adalah kehilangan. Tanah hilang. Air mengeruh. Hati menebal.
Aku berjalan ke bukit, melihat dari atas. Tampak alat berat menggali, seperti sedang cari dosa manusia untuk ditambang dan dijual ke pasar saham.
Seorang pejabat pernah bilang, “Raja Ampat punya potensi besar!” Aku rasa yang dia maksud bukan keindahan alam, laut, karang dan biota lautnya, melainkan kadar logam.
Maka, ketika langit menjadi kotor, bukan karena hujan, tapi karena keserakahan yang diberi izin dan stempel basah,
Maka jangan salahkan badai. Salahkan birokrasi.
—
Tiga bulan setelah keributan, aku iseng datang ke kantor distrik. Di sana, ada papan pengumuman besar, “Pembangunan Sentra Wisata Tambang Ekologis Raja Ampat: Kolaborasi Kementerian, Investor Asing & Komunitas”
“Ekologis?” tanyaku pada pegawai.
“Iya,” jawabnya. “Nanti alat beratnya akan dicat hijau. Semuanya serba warna alami. Jadi kelihatan ramah lingkungan.”
Aku pulang tanpa suara. Karena kadang, satu-satunya cara menyampaikan kemarahan adalah dengan membiarkan keheningan bicara.
—
Aku bukan aktivis. Aku bukan ekonom. Aku bahkan bukan siapa-siapa. Aku hanya penghuni kecil dari surga yang kini sedang diusir dari langit dan dijual per gram.
Tapi jika nanti semua ini runtuh, jika laut berhenti biru, jika karang indah tinggal jadi kerikil, jika tanah tak lagi bisa ditanami, jika burung tak lagi ingin pulang, tolong jangan cari kambing hitam.
Karena kambingnya sudah lama ditambang juga. []
Tanggapan