Hak Pendidikan Berkualitas untuk Orang – Orang di Pulau Terpencil

Sandang dan pangan merupakan kebutuhan primer manusia. Paling tidak, pangan harus dipenuhi oleh tubuh tanpa dikurangi sedikitpun kebutuhannya karena ini persoalan dari isi perut yang harus di isi bila tidak maka akan ada persoalan yang berat mulai dari penyakit hingga nyawa yang terenggut.

Sama seperti sandang dan pangan, pendidikan harus dipenuhi sebagai kebutuhan primer oleh negara. Semua butuh konsumsi ilmu pengetahuan lewat pendidikan yang layak tanpa terkecuali.

Kita selalu berkutik pada hak – hak yang kita dengar cukup familiar ditelinga kita mulai dari hak untuk hidup, hak untuk mengemukakan pendapat, hak beragama, hak untuk tidak disiksa, hak untuk memilih jalan hidup, hak untuk tidak diperbudak, dan hak lainnya.

Perlu diketahui bahwa mendapatkan pendidikan yang layak itu merupakan hak asasi manusia yang harus diberikan dan dilindungi oleh negara.

Pendidikan di Indonesia tidak berjalan baik – baik saja. Cukup ironis melihatnya, ada berbagai macam masalah yang perlu kita pikirkan demi perkembangannya kedepan.

Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau DUHAM pasal 26 yang diterima dan diumumkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948 secara khusus membahas hak asasi manusia dalam hal pendidikan, dan pendidikan juga ada dalam pembahasan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR)/Kovenan internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob).

Ada ICCPR dan ada juga ICESCR, ICCPR merupakan Kovenan Internasional yang membahas hak politik dan hak sipil sedangkan ICESCR merupakan hasil dari pembentukan komisi HAM PBB yang bertugas untuk masalah ekonomi, sosial, dan budaya, naungan pendidikan dalam haknya ada dalam ICESCR.

hak pendidikan
Anak – anak Desa Sira, Sorong Selatan. / Foto: Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Untuk memajukan pendidikan, maka ICESCR secara profesional mencantumkan hak masyarakat untuk mendapatkan pendidikan dalam pasal 13 dan pasal 14.

Kepedulian ini yang membuat dunia harus melihat pendidikan sebagai gerbang menuju kemajuan dan keadilan. Banyak dari kita yang tinggal di perkotaan masih merasakan kualitas pendidikan dan kenyamanan yang baik.

Jika kita menaiki kendaraan seperti kereta api atau pesawat ada yang namanya fasilitas kelas Business Class yang di artikan sebagai kenyamanan yang di berikan itu sangat tinggi dari pada kelas kelas lainnya, mulai dari kursinya, makanannya, dan fasilitas kenyamanan lainnya.

Begitu juga dengan pendidikan di kota – kota besar bisa disebut mendapat fasilitas tingkat Business Class bandingkan dengan pendidikan di pulau terpencil.

Jangankan fasilitas sekolah yang memadai, bangunan sekolahnya saja masih banyak yang belum mempuni untuk benar – benar memadai dalam menunjang proses belajar mengajar.

Tenaga pengajar atau guru yang sangat kurang bahkan tidak ada. Belajar dengan beralaskan lantai atau menggunakan meja dan kursi yang terkadang harus berdempetan demi saling berbagi dengan teman. Belum lagi akses yang sulit hingga biaya mahal.

Rentetan masalah tersebut yang membuat harapan adanya sekolah yang nyaman. Berisikan komputer, labolatorium, kantin, lapangan, meja belajar, serta kursi yang layak itu semua belum tentu ada dan jika adapun jangan diharap semuanya dalam keadaan baik.

Jika kondisi seperti itu tetap dibiarkan dan tidak mendapatkan porsi perhatian yang khusus dan sungguh – sungguh, maka sangat wajar ketika pendidikan di pulau terpencil itu tertinggal sangat jauh yang sementara di kota – kota besar justru maju dengan pesat.

Seperti pepatah Indonesia yang mengatakan bahwa “yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin”. Jika kalimat itu kita ubah dengan melihat kondisi pendidikan kita, maka kata itu menjadi “yang tertinggal akan terus tertinggal dan yang maju akan terus maju”.

Terkadang kita takjub dengan pemberitaan ketika ada anak di pulau terpencil yang sulit terhadap akses pendidikan mendapat kuliah di Universitas ternama, karena pengecapan terhadap orang di pulau terpencil itu mendapat cap bahwasannya tidak dapat bersaing secara pendidikan dengan kota – kota besar.

Seperti sudah hukum alam, anak – anak di pulau terpencil itu di cap sebagai orang yang tidak akan pernah pintar, dan ketika ia pintar ia justru melawan hukum alam.

Akhirnya masyarakat akan skeptis terhadap skenario pendidikan yang seperti ini, lebih baik bekerja saja tidak perlu sekolah, paling tidak isi perut dapat terisi walaupun ilmu pengetahuan tidak terisi.

Karena untuk apa juga mereka menerima pendidikan bagi kelanjutan hidupnya. Stigma itu memang sudah lumrah di masyarakat, karena ada yang diwajari ketika mereka mempunyai stigma negatif soal pendidikan.

Pendidikan memang bukan hak tertinggi dalam hak asasi manusia atau biasa di sebut dengan hak derogable yang artinya hak pendidikan bisa di kurangi haknya oleh negara, tetapi apa sepatutnya pendidikan kita tidak ingin tumbuh?

Tentu tidak, Indonesia tidak mempunyai persoalan yang mengharuskan mengurangi hak pendidikan ini, maka dari itu berbagai macam cara memajukan pendidikan sudah seharusnya diupayakan, mulai dari legalitasnya di mata hukum.

Pembahasan mengenai hak untuk mendapatkan pendidikan tidak hanya ada dalam DUHAM, hak untuk mendapatkan pendidikan ada juga di Undang – Undang yang melindungi hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan seperti yang terkandung dalam Pancasila sila ke-5, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Sila tersebut merupakan cita – cita dari Founding Fathers kita yang menginginkan pendidikan kita maju dan berhak untuk semua orang.

Sila itu sekarang harus kita jalani sebagai pelecut kita semua untuk berbuat adil terhadap sesama, begitu juga dengan pendidikan, mau itu di pulau terpencil atau di kota – kota besar, semua harus setara, tidak pandang bulu, dan tidak ada yang membedakan diantaranya.

Seorang anak
Seorang anak perempuan berusia 5 tahun berdiri di samping Kali Biru, Teminabuan, Sorong Selatan. / Foto: Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Hak untuk mendapatkan pendidikan ada dalam Undang Undang dasar 1945 Pasal 31 ayat 1 – 5, adanya aturan ini bukan berarti semata – mata aturan yang sepele mengenai eksistensi dari pendidikan di Indonesia karena ini menyangkut hak orang banyak.

Dan belajar atau pendidikan ada juga dalam kitab – kitab keagamaan yang selalu dikutip sebagai ibadah, dan Tuhan pun menginginkan umatnya menjadi manusia yang selalu beribadah kepadanya, menjadi manusia yang haus akan belajar dan ilmu.

Secara ekonomi, daerah pulau terpencil bisa sudah dipastikan masyarakatnya bertaraf rendah. Maka dari itu, jangan menambah beban dari orang tua siswa lagi dengan biaya ini biaya itu, pikiran dari negara perlu di arahkan bagaimana caranya memajukan sekolah yang tertinggal, jangan hanya soal uang saja yang kita pikirkan karna pendidikan di pulau – pulau terpencil kondisinya sudah genting untuk kita ubah ke arah yang lebih baik.

Sekolah – sekolah yang nantinya dibangun harus terus menerus disuplai kebutuhannya demi menyaingi kualitasnya dengan sekolah – sekolah di kota – kota besar. Disuplai  dengan guru yang berkualitas dan memberikan kebutuhan guru itu dengan insentif yang tinggi, penghormatan tinggi, hingga kenyamanan dalam mengajar, sehingga guru – guru ini pun damai dan sangat terhormat untuk menjalani profesi sebagai guru.

Kebutuhan internal sekolahnya juga patut disuplai mulai dari meja, papan tulis, kursi, perpustakaan, labolatorium, komputer, lapangan serba guna, dan kebutuhan fasilitas lainnya demi menunjang kegiatan belajar mengajar yang berkualitas.

Sedangkan untuk kebutuhan eksternal sekolah itu seperti kebutuhan siswa seperti alat tulis, seragam, dan perlengkapan sekolah lainnya juga patut dicukupi agar si anak pun merasa senang sehingga mereka merasa haus dan lapar untuk belajar di sekolah.

Percayalah bahwa keuntungan dari si anak bersekolah tak bisa di nilai dengan material. Bayangkan saja ketika negara mampu memajukan pendidikan di pulau terpencil ini, nantinya anak – anak ini akan membalas budi kepada negara lewat value yang berbeda.

Pasti akan ada benefit yang menguntungkan negara yang dihasilkan dari majunya pendidikan di pulau terpencil.

Sangat memungkinkan laut yang kurang terekspos ini akan dimajukan sumber daya alamnya oleh si anak nanti menjadi sesuatu yang potensial.

Kuliner yang menggoda, wisatawan yang antusias untuk datang ke pulau terpencil berkat adanya pendidikan, hasil lautnya melimpah berkat adanya pendidikan, daerahnya yang indah berkat adanya pendidikan, sirkulasi ekonomi yang berjalan dengan baik berkat adanya pendidikan, semua yang ada di pulau terpencil ini akhirnya maju berkat pendidikan.

Sebagai negara justru selayaknya merasa rugi ketika tidak mampu memajukan pendidikan di pulau terpencil. Dengan negara yang dijuluki sebagai negara maritim seharusnya punya nilai tersendiri.

Bukan suatu kerugian dan bahkan bukan suatu kesalahan ketika negara memajukan pendidikan di pulau – pulau terpencil ini.

Pendidikan bukanlah komoditas, semua berhak mendapatkan pendidikan yang layak tanpa diundi siapa yang layak mendapatkannya.***

Baca juga: Nudibranch, Biota Laut Cantik Puspawarna

Editor: J. F. Sofyan

Sumber Foto Utama:  Raiza Azkaril via Pexels

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan