Atasi Dilema Limbah Medis Covid-19 yang Mengancam Lautan Indonesia

Penghujung tahun 2019, dunia kesehatan digemparkan dengan temuan penyakit baru di Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok, yang kini dikenal dengan sebutan Covid-19.

Coronavirus diseases 2019 (Covid-19) sendiri merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Severe acute respiratory syndrome coronavirus-2 (SARS-CoV-2).

Keberadaan virus ini menjadi pandemi diseluruh dunia termasuk di Indonesia. Penyakit ini telah merubah kebiasaan dan gaya hidup setiap orang, seperti tidak boleh bersentuhan, berjabat tangan maupun menyentuh bagian hidung, mata, atau mulut serta disarankan menggunakan masker setiap berada di luar rumah (Unhale et al, 2020).

Sumber: pikiranrakyat.com

Perubahan gaya hidup tersebut memunculkan masalah baru yang berpotensi mengancam lautan. Di Indonesia, limbah infeksius yang dihasilkan khususnya berasal dari limbah medis diperkirakan per harinya mencapai 294,66 ton, belum termasuk pada tingkat rumah tangga (masker, face shild dan sarung tangan) karena jumlahnya tidak diketahui setiap harinya.

Kenaikan jumlah limbah infeksius yang dihasilkan tidak didukung dengan kenaikan jumlah fasilitas pengelolaan limbah yang memadai.

Dari 2.889 rumah sakit yang beroperasi di Indonesia, hanya 110 rumah sakit saja yang memiliki fasilitas insinerator berizin (Prasetiawan, 2020).

Hal tersebut melatar belakangi banyaknya pihak instansi medis secara ilegal membuang limbah medisnya di perairan Indonesia.

Penumpukan limbah medis yang infesksius berpotensi untuk menginfeksi atau menularkan penyakit pada manusia akibat adanya kontaminasi dari organisme patogen atau zat yang bersifat infeksius dalam jumlah dan virulensi yang cukup.

Limbah ini sangat berbahaya karena dapat menjadi sumber penyebaran penyakit bagi tenaga kesehatan, masyarakat, petugas yang menangani limbah, serta berpotensi menurunkan kualitas lingkungan (Arif, 2013).

limbah medis
Masker tercecer di pantai. / Foto: Tommaso / Greenpeace

Oleh karena itu, diperlukan alternatif selain dengan insinerator  untuk mengatasi permasalahan limbah medis yakni dengan menggunakan teknologi pirolisis (Isykapurnama dkk, 2021).

Pirolisis merupakan teknologi dekomposisi kimia bahan organik melalui proses pemanasan tanpa atau sedikit oksigen maupun reagen lainnya.

Pirolisis dilakukan di dalam sebuah reaktor hampa udara dengan temperature 800°C (Ramadhan dan Ali, 2013).

Menurut penelitian Bridge (2020), teknologi pirolisis dapat dengan aman membunuh bakteri yang stabil secara termal dan membatasi gas beracun dengan baik dalam standar emisi.

Teknologi pirolisis menerapkan konsep ‘waste to energy’ sehingga hasil akhir dari proses pengolahan limbah dapat dimanfaatkan menjadi bahan bakar minyak (BBM).

Limbah medis yang dominan terbuat dari plastik sangat berpotensi untuk dikonversi menjadi BBM dengan komposisi katalis NIO/g-Al2O3 14%.

Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dimaksud dari tujuh jenis yaitu avtur gasoline (avgas), avtur, mogas (motor gasoline), minyak tanah (mitan), minyak solar, minyak diesel dan minyak bakar.

Konsumsi BBM dibandingkan konsumsi Non-BBM dan LPG memang jauh lebih tinggi, karena di Indonesia BBM sudah menjadi sumber energi utama.

Pada tahun 2011 Konsumsi BBM mencapai 394.052 juta barrel, dimana konsumsi terbesar berasal dari bahan bakar kendaraan bermotor yakni minyak solar dan mogas (bensin/gasoline).

Untuk memenuhi kebutuhan yang sangat besar tersebut, saat ini BBM disuplai dari sumber minyak bumi dan sebagian kecil oleh energi terbarukan yakni berkisar 4.79%.

Pirolisis adalah teknik yang digunakan dengan mengembalikan material plastik penyusun APD menjadi hidrokarbon yang dapat menghasilkan produk cair dan gas berguna sebagai bahan bakar atau sumber bahan kimia.

Pirolisat yang didestilasi diperoleh bahan bakar cair sebesar 30 – 41%, bahan padat sebanyak 30 – 40% dan gas yang tidak terkondensasi sekitar 20% (Rahmanpiu, R., 2019).

Hasil reaksi pirolisis lambat secara keseluruhan berupa karbon, uap air, karbon monoksida, dan karbon dioksida. Sedangkan hasil pirolisis cepat berupa uap air, arang, gas, dan uap minyak PPO (primary pyrolysis oil) sebanyak 50 – 70% (Rafi, 2019).

Dari hasil tersebut terlihat bahwa produk terbesar pirolisis plastik tersebut adalah C5-C9 yang merupakan komponen dasar penyusun Gasoline / bensin.

Pandemi Covid-19 merupakan masalah yang harus diatasi tanpa menimbulkan masalah baru.***

Baca juga: Kisah Kalu, si Hiu nan Pilu

Editor: J.F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan