Kisah Kalu, si Hiu nan Pilu

Hi, u! Ya, kamu. Kamu yang sedang membaca ini. Perkenalkan namaku Kalu. Aku adalah seekor Hiu.

Seringkali aku ditakuti dan dianggap sebagai predator utama yang sadis di lautan. Tidak hanya di lautan, namun manusia pun kerap kali takut kepadaku karena mereka kira aku akan memakannya. Gigiku tajam dan banyak, rahangku lebar, serta sorot mataku tajam.

Namun dibalik semua rupa fisikku, aku lebih senang memakan ikan kecil hingga bangkai yang ada di laut. Aku tidak suka makan manusia!

hiu
Hiu jenis Black Tip Reef Sharks. / Foto: Paul Hilton / Greenpeace

Sebenarnya, kawananku ada banyak jenisnya. Namun, yang biasa kamu temui adalah jenis whitetip, blacktip, dan grey reef. Kamu pasti sering melihat fotoku di gadgetmu.

Hei, kamu kemari karena ingin mengetahui cerita kehidupan bawah lautku kan? Baiklah kalau begitu, mari aku ajak kamu berjalan-jalan di rumahku!

hiu
Seekor hiu sedang berenang. / Foto: Kurt Amsler / Greenpeace

Rumahku sangatlah tentram. Perkenalkan ini teman-temanku: terumbu karang, ikan tuna, ikan pari, paus, lumba-lumba, ubur-ubur, ikan-ikan kecil, penyu, serta masih banyak lagi yang belum terlihat.

Kami hidup di dalam laut yang tenang dan selalu menari mengikuti arus air.

Segerombolan ikan Skipjack Trevally. / Foto: Michaela Skovranova / Greenpeace

Hey! Lihat, di sana ada sekawanan tuna. Ayo kita hampiri mereka!

“Hai ikan tuna! Bagaimana kabar kalian di hari yang cerah ini?,” sapa Hiu kepada sekawanan tuna

“Hai, Hiu! Kami sangat senang hari ini karena lautan cerah dan tenang. Bagaimana denganmu Hiu?,” balas Tuna.

“Wah, aku setuju denganmu Tuna. Hari ini cerah dan tenang, aku pun sudah makan dengan kenyang sehingga moodku sangat baik hari ini. Ohiya, kalian mau pergi kemana?,” jawab sang Hiu.

hiu
Ikan Hiu dalam kawanan ikan Trevally. / Foto: Greenpeace / Paul Hilton

“Biasalah Hiu, kami akan berjalan-jalan menyusuri wilayah laut lainnya dan berenang mengikuti arah pimpinan kelompok,” kata Tuna menjelaskan.

“Senangnya kalian selalu berkelompok kemana pun kalian pergi. Semoga hari kalian terus menyenangkan ya Tuna!” balas Hiu kepada Tuna.

“Semoga begitupun denganmu Hiu! Kami lanjutkan perjalanan dulu yah,” jawab Tuna mengakhiri percakapan.

“Sampai bertemu lagi Tuna!,” jawab Hiu sembari melambai akan kepergian sekelompok Tuna.

hiu
Hiu karang sedang berenang. / Foto: Kurt Amsler / Greenpeace

Ya, itulah sekelompok kawanan Tuna. Enak ya jadi mereka, kemana-mana selalu berkelompok. Berbeda denganku, sebagai Hiu, yang seringkali berjalan sendiri menyusuri lautan.

Namun sebenarnya, kawananku juga membentuk kelompok sosial loh! Hanya saja, kami jarang terlihat bersama. Hey, kamu sang pembaca setiaku. Kamu masih mau ikut aku menyusuri lautan di tengah hari yang cerah ini kan?

Ehh.. ehh.. Tunggu dulu! Ada apa ini?

Apakah kalian juga melihat bayangan hitam yang perlahan menutupi cerahnya lautan di siang hari ini?

Apakah kalian juga merasakan bahwa air laut yang tenang pun mulai bergejolak?

Ada apakah ini? Apa yang sedang terjadiii?

hiu
Gerombolan ikan berenang di kolom perairan melewati kapal yang tengah mengapung. / Foto: Paul Hilton / Greenpeace

“Hey, Hiu! Cepat lari dari sini?,” teriak kelompok kawanan Tuna lainnya.

“Hey, Tuna! Apa yang sedang terjadi? Mengapa lautan menjadi gelap dan bergejolak?,” tanya Hiu.

“Ayo Hiu cepat lari! Hari yang cerah kini sudah berganti mencekam! Di atas sana sudah ada ribuan kapal yang siap menangkap kita! Kalau kita masih terus disini, kita akan tertangkap oleh mereka!,” balas seekor Tuna dalam kelompok itu.

kapal perikanan
Kapal penangkap ikan skala besar. / Foto: Shannon Service / Greenpeace

Sekelompok Tuna tadi pun terus berenang secepat mungkin dan mereka meninggalkanku yang masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi.

Perlahan, bayangan tersebut pun semakin rapat dan semakin membuat rumahku menjadi gelap. Tampak kejauhan, aku melihat ada jaring yang sangat besar dan panjang yang memasuki rumahku.

ikan terjaring
Ikan – ikan terjaring. / Foto: Alex Hofford / Greenpeace

Oh, tidak! Apakah kalian melihat itu? Sekelompok Tuna yang menghampiriku tadi, mereka masuk ke dalam jaring besar itu! Aku pun berusaha lari secepat yang kumampu sembari berpikir tentang apa yang terjadi.

Ah, sial! Ternyata aku kalah cepat dengan jaring yang sudah membentang luas dan sangat panjang itu! Jaring ini sungguh panjang dan sangat besar hingga dapat menyapu seluruh isi rumahku, bahkan termasuk terumbu karang yang berada di dasar.

ikan terjaring
Ikan – ikan terjaring. / Foto: Alex Hofford / Greenpeace

Aku masih berusaha meloloskan diri dari jaring ini. Namun sepertinya usahaku sia-sia. Gigiku yang tajam tak mampu membawaku lolos dari jeratan jaring raksasa ini. Seluruh teman-temanku yang tadi menari dengan tenang dan menikmati hari yang cerah, kini semuanya panik dan terperangkap bersamaku, dalam jaring raksasa.

Aku pun perlahan naik ke atas permukaan laut. Masih di dalam jaring, tubuhku perlahan mulai terkena udara di atas permukaan laut dan terpapar sinar matahari langsung.

hiu terjaring
Seekor hiu terjaring. / Abbie Trayler-Smith / Greenpeace

Oh, tidak! Aku melihat sekelompok manusia. Aku pun diangkat dan dimasukkan ke dalam kapal mereka yang sangat besar.

Mengapa manusia ini tidak takut kepadaku? Malah kulihat, wajah mereka sangatlah terlihat lelah dan sedih. Apa yang akan mereka lakukan kepadaku? Mengapa mereka menangkapku dan membawaku ke kapal mereka?

Kapal ikan menjaring
Ikan – ikan yang tertangkapn diangkat ke atas kapal. / Foto: Alex Hofford / Greenpeace

Dari kejauhan, aku sempat melihat sekelompok ikan tuna yang tadi berteriak menyuruhku berlari. Mereka semua hanya bisa pasrah karena terperangkap dalam jaring dan langsung dimasukkan ke dalam sebuah kotak besar yang sepertinya berisi ribuan tuna lainnya.

Aku berpikir, kapal macam apa ini? Apakah ini kapal penangkap ikan ilegal?

“Hey, ada Hiu! Cepat potong siripnya!”, teriak salah seorang yang mengawasi kelompok manusia ini dan berhasil membuyarkan pikiranku. Sepertinya manusia yang berteriak itu adalah pemimpin dari kelompok manusia pekerja ini.

hiu tertangkap
Proses pengangkatan hiu ke atas kapal. / Foto: Paul Hilton / Greenpeace

Aku yang mendengarnya pun hanya bisa berpasrah. Aku tidak dapat kabur kemanapun. Aku sudah terperangkap dalam jerat jaring raksasa ini.

Dan benar saja, tak lama berselang, setelah tubuhku dikeluarkan dari jerat jaring ini, salah satu manusia tersebut memotong siripku dengan raut sedih.

Aku sudah berusaha melawannya, namun tak banyak yang bisa kulakukan. Aku rasa, manusia yang memotong siripku ini pun tidak mau melakukannya. Hanya saja, perintah teriakan dari manusia lain yang menyuruh mereka lah yang membuat mereka melakukan ini.

hiu di atas kapal
Seekor hiu di atas kapal. / Foto: Greenpeace / Marco Care

Aku hanya bisa menangis kesakitan. Tubuhku berlumuran darah dan siripku sudah hilang. Kemudian, mereka membuang tubuhku kembali ke dalam lautan.

Aku sudah tidak bisa lagi berenang. Tubuhku tenggelam hingga dasar lautan. Di dasar laut, aku hanya bisa memandangi rumahku yang kini sudah kosong.

Kapal itu sudah menyapu bersih seluruh teman-temanku. Kini tidak ada lagi kehidupan di rumahku. Aku pun hanya bisa berdiam sembari menunggu sisa waktu hidupku.

hiu dibuang kembali ke laut
Seekor hiu yang telah dipotong siripnya dan dibuang kembali ke laut. / Sumber: Situs FDC Unhas

Beberapa lama setelah kejadian ini, aku mendengar sebuah benda dilemparkan dari atas permukaan laut.

Terlihat bayangan benda dari atas laut tersebut, seperti sebuah bungkusan panjang. Lama kelamaan, benda tersebut mendekat ke arahku dan aku kini bisa melihatnya dengan lebih jelas.

Setelah kuamati, ternyata benda yang dibuang itu adalah jenazah manusia yang sudah dibungkus dan diberikan pemberat!

Oh! Apakah ini berasal dari kapal tadi? Apakah para manusia yang menangkapku tadi juga terbunuh dan kemudian dibuang ke laut bersamaku?

Pelarungan
Pelarungan jenazah. / Foto: Istimewa

Pimpinan kapal itu sangatlah kejam! Tidak hanya rumahku, nyawa teman-temanku, dan aku yang mereka rampas! Mereka juga merampas nyawa pekerja mereka dan kemudian dibuang begitu saja seperti mereka membuangku.

Apakah hal ini akan terus terjadi hingga seluruh bagian dari rumahku di berbagai belahan bumi menjadi kosong? Apakah manusia harus selalu merusak rumahku untuk mendapatkan makanan enak?

Ah! Masih banyak sekali pertanyaaan berputar di kepalaku. Namun, aku tak dapat memikirkan semuanya. Perlahan semuanya gelap. Dan kini aku sudah tidak bisa merasakan apapun.***

Baca juga: Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Kita Tidak Melanggengkan Perbudakan Modern di Laut

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Tanggapan