Kerusakan 81 Hektar Mangrove: Awal Terbentuknya Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) di Ekowisata CMC Tiga Warna
Tercatat pada tahun 1998-2003 banyak terjadi peralihan fungsi lahan hutan lindung menjadi kawasan perkebunan dan tambak di Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang. Pelaku di duga oleh masyarakat luar desa dan mulai di ikuti oleh masyarakat dalam desa karena terjadi krisis moneter dan era reformasi dengan penegakan hukum yang melemah sehingga masyarakat cenderung memanfaatkan ekosistem sekitarnya secara berlebihan dan tidak berkelanjutan. Pada tahun 2004 kerusakan hutan mangrove sudah tercatat seluas 81 hektar. Hal tersebut kemudian berdampak pada terjadinya paceklik ikan dan air yang susah didapatkan. Saptoyo, warga Desa Tambakrejo menyadari dampak tersebut dan mulai menanam mangrove di waktu luang bersama anaknya dan beberapa warga.
Pemulihan kawasan mangrove terus Saptoyo lakukan hingga tahun 2012. Berawal dari gerakan konservasi tersebut, Saptoyo membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) pada tahun 2012 yang sudah diakui oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang. Namun pada akhir tahun 2013 mulai mengalami penyusutan anggota karena masyarakat belum merasakan manfaat ekonomi secara langsung dari usaha yang mereka lalukan. Untuk mengatasi masalah tersebut, terbentuk Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru pada tahun 2014 yang berfokus pada konservasi dan pengelolaan kawasan untuk ekowisata, sehingga masyarakat bisa mandiri secara ekonomi dari upaya konservasi tersebut. Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru juga memiliki label gerakan Clungup Mangrove Conservation (CMC) yang digunakan untuk menamai kawasan konservasi mangrove di Desa Tambakrejo, dengan tujuan sebagai kampanye lingkungan dan ciri khas gerakan (Imaduddien & Krisnandi, 2020).
Seiring berjalannya waktu, keberhasilan Yayasan Bhakti Alam Sendangbiru dalam merehabilitasi kawasan mangrove yang rusak menjadikan kawasan tersebut sebagai percontohan keberhasilan dalam gerakan konservasi lingkungan yang kemudian pada tahun 2014 mulai dibuka sebagai kawasan ekowisata CMC Tiga Warna. Selain memulihkan dampak lingkungan, terbentuknya kawasan ekowisata tersebut juga membuktikan manfaat sosial ekonomi yang terus meningkat dengan dibuktikan Desa Tambakrejo mampu mendapatkan penghargaan Kalpataru Jawa Timur kategori perintis lingkungan.
Keberhasilan pengembangan ekowisata, restorasi, dan konservasi CMC Tiga Warna tidak luput dari kolaborasi Hexa Helix Stakeholders yang meiputi pemerintah, badan usaha, universitas, organisasi non-pemerintah, media massa, dan komunitas terdampak. Inovasi dalam pengelolaan ekowisata CMC Tiga Warna mengedepankan nilai ekologi, sosial, dan ekonomi. Nilai ekologi meliputi pembatasan kuota wisatawan perharinya dalam kawasan ekowisata. Nilai sosial meliputi hari libur kru ekowisata setiap hari Kamis, hari raya Idul Fitri, dan hari raya Nataru. Nilai ekonomi meliputi sinergi usaha yang melibatkan masyarakat lokal (homestay, rumah makan, transportasi, oleh-oleh, dll).
Salah satu capaian ekologi CMC Tiga Warna dalam mengembangkan kawasan ekowisata yaitu rehabilitasi dan konservasi mangrove. Terdapat 45 jenis keragaman mangrove yang dapat ditemui di CMC Tiga Warna. Ekowisata ini memiliki arboretum mangrove yang didedikasikan untuk penelitian, pendidikan, dan konservasi. Arboretum ini berfungsi sebagai tempat untuk mengumpulkan, menanam, dan memelihara berbagai spesies mangrove, serta mempromosikan pemahaman dan apresiasi terhadap ekosistem mangrove. Selain itu, arboretum mangrove di CMC Tiga Warna juga sering dijadikan sebagai lokasi ekowisata, di mana pengunjung dapat belajar tentang pembibitan mangrove, pentingnya mangrove dalam melindungi garis pantai, mendukung keanekaragaman hayati, dan mengurangi dampak perubahan iklim. Upaya rehabilitasi dan konservasi mangrove tersebut dari 81 hektar yang rusak, pada tahun 2005-2022 lebih dari 60,7 hektar sudah tertanami kembali. Tercatat stok karbon atas permukaan hutan mangrove sebanyak 3.856,05 Ton C pada luasan 46,3 hektar (Hidayatullah, 2021). Sehingga mangrove memiliki kontribusi dalam mengaja kualitas udara di kawasan tersebut. Selain itu, keberadaan mangrove juga berkontribusi dalam melindungi garis pantai dari hempasan ombak dan habitat perkembangbiakan berbagai jenis ikan, udang, kepiting, dan moluska.
Tidak hanya menawarkan destinasi konservasi mangrove, CMC Tiga Warna juga menawarkan berbagai atraksi variatif seperti diving, susur pantai, snorkeling, transplantasi terumbu karang, rumah apung, canoeing, dan surfing. Melejitnya daya tarik masyarakat terhadap atraksi yang ditawarkan ekowisata CMC Tiga Warna mencatat peningkatan dua kali lipat kunjungan wisatawan pada tahun 2021 sebanyak 21.067 hingga tahun 2022 sebanyak 41.061 wisatawan. Kehadiran wisatawan tersebut berdampak pada kebermanfaatan 18 pengelola homestay di sekitar kawasan, peningkatan omset penjualan souvenir dan kuliner, dan peningatan penjualan di Kios Ikan Nelayan berupa ikan dan olahannya. Hingga omset ekowisata pada tahun 2021 sebesar Rp1.030.226.000 mengalami peningkatan pada tahun 2022 sebesar Rp1.811.174.995.
Keberhasilan CMC Tiga Warna sebagai model ekowisata dan konservasi mangrove di Desa Tambakrejo tidak hanya memberikan dampak positif terhadap lingkungan, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat setempat. Pada akhirnya kawasan ini berhasil menarik minat masyarakat dalam upaya konservasi dan mendukung perekonomian lokal dengan pengelolaan wisata yang berkelanjutan. CMC Tiga Warna membuktikan bahwa dengan kolaborasi berbagai stakeholder, konservasi alam dapat berjalan seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.***
Sumber:
Imaduddien, M. R., & Krisnadi, I. G. 2020. Konservasi Mangrove oleh Masyarakat Pesisir Malang Selatan 2012-2016. Historia, 2(2) : 215-234
Hidayatullah. 2021. Peta Stok Karbon Atas Permukaan Hutan Mangrove berdasarkan Spesies di Clungup Mangrove Conservation (CMC), Kabupaten Mlaang. Departemen Sains Informasi Geografi, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada.
CMC Tiga Warna. 2023. Materi Edukasi Pengelolaan Destinasi Ekowisata CMC Tiga Warna Biologi FMIPA UM.
Tanggapan