Catatan Perjalanan Mengenal Pulau Lanjukang

Indonesia punya banyak cara untuk membuat kita terpesona, misalnya melalui ribuan pulau yang terhampar dari Sabang hingga Merauke. Sebagian pulau terkenal hingga mancanegara, namun sebagian lain hanya menyimpan cerita sembari menunggu ditemukan. Di antara nama-nama pulau terkenal seperti Bali, Raja Ampat, Lombok, atau pulau besar lainnya, ada sebuah pulau kecil di wilayah terluar Kota Makassar bernama Pulau Lanjukang. Nama pulau ini mungkin jarang terdengar, bahkan jarang muncul di linimasa media sosial. Namun, dalam diam, Lanjukang menyimpan segudang pelajaran dan pengalaman yang belum pernah diceritakan di buku panduan perjalanan apa pun.

Secara geografis, Lanjukang berada di gugusan Spermonde, Kecamatan Kepulauan Sangkarrang. Pulau ini berada di barat daya Selat Makassar, dengan jarak kurang lebih 40 km dari pusat Kota Makassar

Perjalanan ke Pulau Lanjukang dapat ditempuh dari pelabuhan paling utara di Kota Makassar. Orang-orang sering menyebutnya dengan Pelabuhan Paotere, yaitu pelabuhan paling tua dan paling besar di Indonesia Timur. Kalau dibayangkan, Pelabuhan Paotere bukan pelabuhan eksklusif dengan jajaran deck kapal mewah dan cepat, melainkan pelabuhan dengan kapal pinisi, kapal-kapal kecil, dan kapal penumpang.

Butuh beberapa jam untuk sampai ke Pulau Lanjukang dari Pelabuhan Paotere. Kurang lebih 3 jam melewati perjalanan di atas kapal, namun sudut-sudut mata tidak pernah lelah terbuka pada luasnya bentangan biru laut. Angin laut menggigit kulit, namun justru di sanalah kita belajar betapa agungnya kehidupan yang diciptakan Tuhan. Makhluk Tuhan berkolaborasi menjadi obat untuk pelupuk mata.

Dokumentasi penulis, 2024

Mendekat ke Pulau Lanjukang, perlahan, biru tua laut berganti menjadi biru muda. Semakin dekat dengan Lanjukang, laut berubah menjadi jernih hingga pasir yang berada di dasar, nampak semakin jelas. Hamparan putih pantai menyambut datangnya kapal seperti kain sutra membentang. Dan yap, perjalanan panjang selama lebih dari 3 jam ternyata memang layak ditempuh.

Pulau ini indah. Lanjukang, adalah rumah bagi kehidupan yang sederhana. Lanjukang menjadi pulau remang-remang karena keterbatasan listrik. Sumber cahaya hanya berasal dari lampu minyak dan head lamp milik masyarakat. Tidak ada polusi kendaraan seperti bisingnya knalpot brong, tidak ada layar televisi yang menyala, hanya deburan ombak yang menjadi pengantar malam. Air tawar di Pulau Lanjukang sangat terbatas. Satu-satunya sumber benda cair yaitu air hujan tampungan dalam galian sumur yang telah mengering. Ketika persediaan air tawar habis, masyarakat harus bertahan dengan air laut. Hal yang sepele bagi sebagian orang–mencuci menggunakan air tawar–menjadi hal mewah di sini.

Dokumentasi penulis, 2024

Menilik pendidikan, di Lanjukang belum ada bangunan sekolah besar dengan papan tulis canggih, Guru di Lanjukang bukan berasal dari tenaga profesional bersertifikat, melainkan ketua RT yang sukarela membagikan pengetahuannya kepada anak-anak. Kesehatan pun demikian, saat ada yang sakit, satu-satunya harapan yaitu menerjang ombak dengan kapal ke Makassar. Perjalanan yang bertarung dengan nyawa, cuaca, dan bahan bakar. Rumah-rumah di Lanjukang bisa disebut saksi dari adaptasi mereka terhadap lingkungan. Sebagian berdiri di atas pasir, bagian lain berupa rumah panggung.

Dokumentasi penulis, 2024

Keunikan ekosistem Lanjukang tidak terbatas pada bentangan laut yang luas. Namun ekosistem laut seperti pasir putih, terumbu karang, dan biota laut seperti penyu. Hal yang menarik adalah, masyarakat Lanjukang dengan segala hidupnya–ternyata memiliki kesadaran ekologis yang tinggi. Mereka tau di lingkungan pesisir ada penyu dan satwa lain yang harus dilindungi, bukan benda untuk dimiliki, namun kawan untuk dijaga. Hal berbeda terjadi di kota besar yang katanya maju–punya listrik melimpah, pendidikan tinggi, fasilitas serba ada–namun satwa dijual, sampah masih dibuang sembarangan, lingkungan dirusak, demi memenuhi ego diri sendiri.

Pulau Lanjukang menjadi pembelajaran bagi kita yang “kurang”, apa gunanya listrik, teknologi, dan pendidikan yang tinggi jika hal-hal tersebut membuat kita semakin jauh dari alam? Hal yang kita miliki, justru mereka (masyarakat Lanjukang) miliki. Hidup dengan cukup mungkin membuat mereka paham bentuk menghargai. Tetes air hujan bukanlah sesuatu yang abadi; cahaya lampu yang digunakan memiliki jejak karbon; pendidikan, dan satwa pesisir, semuanya perlu dihargai.

Dokumentasi Penulis, 2024

Pulau Lanjukang mungkin tidak sepopuler Bali atau Raja Ampat, namun ketika meninggalkan Lanjukang, rasanya akan seperti meninggalkan sebuah kelas besar–tanpa guru bersertifikat, tanpa ruang kelas “elit”, tanpa LDC dan proyektor, namun berkesan penuh cinta yang sederhana.

Bagi mereka yang sederhana, alam bisa dijaga. Lalu, kenapa kita tidak?

Artikel Terkait

Tanggapan