Pidato Presiden Jokowi Di COP26: Indonesia Telah Memulai Rehabilitasi Mangrove Seluas 600 Ribu Hektar Sampai 2024, Begini Tanggapan Greenpeace Indonesia

Pidato Presiden Jokowi di COP26 salah satunya menyampaikan bahwa Indonesia telah memulai reabilitasi hutan mangrove seluas 600.000 hektar serta rencana hingga 2024. Hal itu terdengar sangat hebat, akan tetapi jika dibandingkan dengan tanggapan dari Greenpeace Indonesia melalui siaran pers nya diuraikan jika hal itu tidak ambisius.

Sebagaimana dikutip dari website Greenpeace Indonesia diungkapkan bahwa angka 600.000 hektar di tahun 2024 adalah tidak ambisius jika melihat 1,8 juta hektar luasan hutan mangrove yang rusak di Indonesia.

Indonesia sebagai pemilik 23% dari ekosistem mangrove dunia (3.489.140,68 ha tahun 2015) yang lebih dari setengahnya dalam kondisi rusak.

Nelayan kepiting dan hutan mangrove di Kariangau, Balikpapan, Kalimatan Timur

Kondisi lainnya, sampai hari ini alih fungsi lahan gambut untuk tambak, pemukiman, illegal logging, perkebunan, infrastruktur di kawasan pesisir seperti reklamasi, jalan, pariwisata dan pelabuhan, masih terus terjadi.

Kondisi ini diperburuk dengan pencemaran dari darat seperti limbah plastik, limbah rumah tangga, tumpahan minyak dan juga sedimentasi akibat rusaknya kawasan hulu sungai.

Selain itu, kebijakan utama pemerintah Indonesia saat ini lebih mengutamakan laju investasi yang bertolak belakang dengan kelestarian kawasan pesisir yang telah menyebabkan masifnya pembangunan kawasan industri dan infrastruktur di kawasan pesisir.

Menanggapi Pidato Presiden Jokowi di COP26: Perdagangan Karbon dan Karbon Offset adalah Solusi Palsu

Foto udara hutan mangrove di Kimaam, Merauke, Papua

Pada konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil pada (31/10) soal perdagangan karbon dan karbon Offset sebagai solusi palsu mengatasi krisis iklim sebagaimana Indonesia benar-benar mendukung skema ini.

Sudah kita ketahui bapak presiden hadir didalam COP26 ini dan akan menerima serah terima presidensi dari G20, yang artinya Indonesia mempunyai peran penting di dalam perundingan meja para pemimpin global ini.

Lalu kemudian Indonesia membawa semangat terhadap perubahan iklim namun masih menganggap krisis iklim ini sebagai komoditas dagang atau peluang bisnis semata yang justru akan menimbulkan ketidakadilan selanjutnya.

“Mekanisme Carbon Offset atau Perdagangan karbon justru akan menimbulkan ketidakadilan selanjutnya, dalam konteks kesepakatan terkait perubahan iklim ini,” ujar Yuyun Harmono Manager Kampanye Keadilan Iklim Walhi.

Mekanisme offset dan perdagangan karbon ini akan mengalihkan perhatian dari upaya sesungguhnya untuk menuntut tanggung jawab negara maju menurunkan emisi secara drastis mereka sendiri atau di negara mereka sendiri. Menurut Yuyun, Perdagangan karbon inni sebenarnya tidak pernah disebutkan dalam pasal – pasal di dalam perjanjian Paris.

Mekanisme perdagangan karbon yang kita tidak sepakat, karena ini memberi ruang bagi korporasi (perusahaan-perusahaan) di Indonesia untuk alih-alih menurunkan emisi mereka, mereka akan terjun pada mekanisme perdagangan karbon.

“Katanya ini hadiah Indonesia untuk COP tapi menurut saya dari Walhi, ini adalah hadiah untuk korporasi dan para koruptor,” ujar Yuyun.

Kamudian, salah satu pembicara dari Greenpeace Indonesia, Khalisah Khalid menyampaikan bahwa telah terjadi pembajakan oleh kekuatan ekonomi dan politik.

“Bahwa telah terjadi pembajakan oleh kekuatan ekonomi dan politik yang berbaju negara dan private sektor. Upaya ini skema yang tidak adil atau tidak pro terhadap keadilan iklim terutama untuk sodara kita dan terutama kita yang sangat dekat atau tinggal dengan hutan. Betapa berbahayanya perdagangan karbon ini jika terus dilanjutkan atau akan menjadi kesempatan didalam COP26 di Glasgow.” ujar Khalisah Khalid.

Khalisah menyampaikan bahwa seharusnya dalam momen COP26 benar-benar menghasilkan ide dan rencana yang ambisius dan tidak lagi melakukan greenwashing.

“Harusnya COP26 mendeklarasikan semua proyek baru yang benar-benar berpihak pada iklim, sementara proyek berbahan bakar fosil harus segera dihentikan, membangun rencana pengurangan emisi yang ambisius agar kita bisa mengurangi separuh emisi global pada tahun 2030,” ujar Khalisah.

Saat ini Indonesia dan komunitas global seharusnya tidak lagi berbicara pasar karbon tetapi mencari jalan keluar yang lebih baik harus ada perubahan paradigma pembangunan dan dukungan langsung kepada masyarakat adat dan komunitas lokal yang sejauh ini harus menjaga bumi dan bisa memastikan bisa bertahan.

Khalisah menegaskan, kita bersama-sama menolak skema karbon trading yang kita tau ini. Semua akan jauh dari keadilan karena ini adalah skema yang dibuat atas dasar ketidakadilan.

Baca juga: COP26, Negara G20 Jadi Sorotan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan