5 Fakta Mangrove (Hutan Bakau)

mangrove

Mangrove memiliki arti sebagai formasi hutan daerah tropis dan subtropis yang terdapat di pantai. Biasanya berlumpur serta mendapat pengaruh pasang surut air laut sehingga terkadang tergenang oleh air payau. Bukan saja fungsi fisik sebagai pelindung pantai, akan tetapi mangrove juga memiliki fungsi ekologis yang sangat vital.

Vitalnya peran mangrove utamanya sebagai solusi di tengah dunia (alam) yang semakin panas dan tidak seimbang akibat krisis iklim. Mangrove mampu menyimpan karbon dioksida (CO2) dari udara atau atmosfer.

Tahukah kamu? Setiap tanggal 26 Juli diperingati sebagai Hari Mangrove Sedunia. Dalam sejarahnya, hari tersebut berkaitan dengan sejarah aktivis Greenpeace, Hayhow Daniel Nanoto, yang meninggal dalam aksi protes besar-besaran untuk membangun kembali lahan basah bakau di Ekuador, pada tahun 1998. Hingga saat ini masyarakat dunia memperingati untuk menjaga dan membela kelestarian mangrove setiap tanggal tersebut setidaknya.

Berikut ini fakta-fakta soal mangrove yang perlu kamu ketahui.

1. Apa Itu Mangrove Mayor, Minor, dan Asosiasi?

Pada ekosistem mangrove dikenal jenis-jenis mangrove yang dinamakan dengan “mangrove sejati utama” (mayor), “mangrove sejati tambahan” (minor), dan “mangrove ikutan” (Asosiasi).

Mangrove sejati utama (mayor) tumbuh pada wilayah pasang surut dan membentuk tegakan murni dan biasanya mangrove mayor jarang bergabung dengan tanaman darat.

Mangrove sejati minor (tambahan) ini bukan komponen yang penting dari mangrove. Biasanya ditemukan di daerah tepi dan jarang membentuk tegakan.

Hutan bakau (mangrove) di teluk Youtefa, Abepura, Jayapura, Papua. / Foto: Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Mangrove Asosiasi (ikutan) tidak pernah tumbuh di komunitas mangrove sejati dan biasanya hanya tumbuh dan bergabung dengan tumbuhan daratan, tetapi tetap ada di wilayah pesisir.

2. Rumah Adat yang Terbuat dari Mangrove

Suku Asmat dari pesisir selatan tanah Papua memiliki perkampungan yang tersebar di hutan mangrove. Di wilayah ini juga tumbuh subur hutan mangrove yang luas bahkan sebagai hamparan mangrove terluas kedua di dunia. Mereka memiliki rumah adat yang bernama “jew”.

Bahan baku untuk membangun rumah adat ini sangat bergantung pada ketersedian kayu dari dalam hutan. Para leluhur mereka mensyaratkan “jew” harus terbuat dari mangrove jenis tertentu. 

3. Lebih dari Setengah Hutan Mangrove yang Ada di Indonesia dalam Kondisi Rusak

Indonesia adalah pemilik 23% dari ekosistem mangrove dunia (3.489.140,68 ha tahun 2015) yang lebih dari setengahnya dalam kondisi rusak.

Alih fungsi lahan gambut untuk tambak, pemukiman, illegal logging, perkebunan, infrastruktur di kawasan pesisir seperti reklamasi, jalan, pariwisata dan pelabuhan, masih terus terjadi di Indonnesia.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Iqbal Damanik menemukan kemasan plastik mie instan Indomie Indofood di hutan mangrove Teluk Youtefa, Abepura, Jayapura, Papua. / Foto: Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Belum lagi konndisi diperburuk dengan pencemaran dari darat seperti limbah plastik, limbah rumah tangga, tumpahan minyak dan juga sedimentasi akibat rusaknya kawasan hulu sungai.

4. Perdagangan Karbon adalah Solusi Palsu

Indonesia katanya membawa semangat terhadap perubahan iklim. Namun faktanya Indonesia masih menganggap krisis iklim ini sebagai komoditas dagang atau peluang bisnis semata yang justru akan menimbulkan ketidakadilan selanjutnya.

Menurut Yuyun Harmono, Manager Kampanye Keadilan Iklim Walhi, Mekanisme Carbon Offset atau Perdagangan karbon justru akan menimbulkan ketidakadilan selanjutnya, dalam konteks kesepakatan terkait perubahan iklim ini.

Mekanisme offset dan perdagangan karbon ini akan mengalihkan perhatian dari upaya sesungguhnya untuk menuntut tanggung jawab negara maju menurunkan emisi secara drastis mereka sendiri atau di negara mereka sendiri.

Mekanisme perdagangan ini hanya akan memberi ruang bagi korporasi (perusahaan-perusahaan) di Indonesia untuk alih-alih menurunkan emisi mereka, mereka malah akan terjun pada mekanisme perdagangan karbon.

Indonesia dan komunitas global seharusnya tidak lagi berbicara pasar karbon tetapi mencari jalan keluar yang lebih baik, harus ada perubahan paradigma pembangunan dan dukungan langsung kepada masyarakat adat dan komunitas lokal yang sejauh ini harus menjaga bumi dan bisa memastikan bisa bertahan, bukan malah mendagangkan penyerapan karbon (Greenwashing).

5. Pemerintah Hanya Menargetkan Rehabilitasi Mangrove 600 Ribu Hektar

Tahun 2021, Pidato Presiden Jokowi di COP26 salah satunya menyampaikan bahwa Indonesia telah memulai reabilitasi hutan mangrove seluas 600.000 hektar serta rencana hingga 2024. Akan tetapi rencana tidaklah ambisius.

Menurut Greenpeace Indonesia diungkapkan bahwa angka 600.000 hektar di tahun 2024 adalah terlalu sedikit jika melihat 1,8 juta hektar luasan hutan mangrove yang rusak di Indonesia.***

Baca juga: Mangrove-isasi: Antara Latah dan Gagap Penanganan Abrasi

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan