Berkenalan dengan Jew, Rumah Adat Berbahan Mangrove

Asmat sebagai nama suku dan kabupaten merupakan pesona tersendiri dari Tanah Papua. Suku yang di pesisir selatan Papua ini termasyhur hingga manca negara berkat kemampuan mereka mencipta ukiran. Perkampungan mereka tersebar di lanskap hutan mangrove dengan hamparan terluas kedua di dunia, setelah Taman Nasional Sudarban di India dan Bangladesh.

Selain dalam hal mengukir, persentuhan adat Orang Asmat dengan hutan jelas terlihat dalam pembangunan sebuah jew atau rumah adat Suku Asmat. Bagi Orang Asmat, adanya bangunan jew di dalam kampung adalah sebuah keharusan.

“Berdiri tegaknya jew di dalam sebuah kampung adalah pertanda masih hidupnya adat istiadat di dalam kampung itu,” kata Felix Owom, Kepala Kampung sekaligus Ketua Adat Kampung Suwruw, salah satu kampung yang masuk dalam administrasi Distrik Agats, Kabupaten Asmat.

Jew. / Foto: Wahyudin Opu

Jew merupakan pusat segala kegiatan yang berkenaan dengan kehidupan sosial maupun religius Orang Asmat. Di tempat inilah berbagai permasalahan dibicarakan, mulai dari proses pengambilan keputusan sampai penyelesaian konflik adat maupun administrasi pemerintahan kampung atau desa. Semua pesta dan ritual adat Suku Asmat juga dilaksanakan di dalam jew.

Secara fisik jew merupakan bangunan yang berbentuk persegi panjang dengan panjang sekitar lima puluh hingga delapan puluh meter. Itu makanya banyak pula orang yang menyebut jew sebagai rumah panjang. Lokasi pembagunan rumah adat ini biasanya berada di tepi kali. Hal ini dimaksudkan agar letaknya strategis untuk memantau orang-orang yang masuk ke dalam kampung. Pada masa perang suku, jew juga dijadikan tempat untuk mengintai musuh. Saat ada aksi penyerangan dari pihak lawan, Kepala Perang dan prajurit yang lengkap dengan senjata tombak dan panah sudah siap menghadang.

Masyarakat Asmat di Kampung Suwruw bergotong royong dalam membangun jew. / Foto: Wahyudin Opu

Bahan baku untuk membangun jew seratus persen diambil dari alam. Walau berbeda di masing-masing rumpun, pembangunan jew sangat bergantung pada ketersedian kayu dari dalam hutan. Di kampung-kampung yang termasuk dalam Rumpun Bismam misalnya, adat turunan dari para leluhur mereka mensyaratkan jew harus terbuat dari kayu pow (mangrove jenis Bruguiera gymnorrhiza), kayu jow (Bruguiera parviflora), kayu sipat (Bruguiera sexangula), kayu juam atau kayu putih (Camptostemon sp.) dan kayu pit (Dolicandron spathaceae).

Kayu pit yang memiliki diameter cukup besar dipakai sebagai umpak atau tiang penyanggah bangunan. Sedangkan kayu pow merupakan bahan utama yang digunakan untuk menyusun rangka jew, mulai dari lantai, dinding, sampai rangka atap. Untuk memperkokoh bangunan, kayu juam dipakai sebagai rangka tengah yang melintang dari ujung kiri sampai kanan. Kesemua bahan bangunan tersebut diikat dengan menggunakan rotan hutan, tanpa menggunakan paku sama sekali. Dengan segala pengalaman dan teknik turun-temurun yang dipakai Orang Asmat, seluruh rangkaian kerangka jew tadi akan berdiri dengan kokoh.

Setelah seluruh rangka jew terbentuk, giliran lantai, dinding, dan atap yang dikerjakan. Lantai jew memanfaatkan kulit kayu juam yang telah dikupas sebelumnya. Konsep menggunakan semaksimal mungkin apapun yang diambil dari alam diterapkan di sini. Sementara untuk dinding dan atap harus menggunakan daun sagu (Metroxylon sagu) atau biasa disebut daun rumbia. Jew kemudian dipercantik dengan hiasan pisis atau pucuk daun sagu dan tikar tapin yang terbuat dari pandan rawa yang dianyam. Setelah semua proses pengerjaan tersebut selesai, jew pun siap digunakan.

“Bahan bangunan untuk jew itu sudah. Itu ajaran leluhur. Tidak boleh yang lain,” jelas Walter Ewenmanam, salah seorang Ketua Adat di Kampung Yepem, dalam sebuah wawancara yang kami lakukan.

Upacara adat peresmian jew baru di Kampung Yepem. Foto: Wahyudin Opu

Peresmian sebuah jew dilaksanakan dalam sebuah ritual adat yang sakral sekaligus meriah. Bukan hanya masyarakat kampung yang hadir, kerabat dan tamu dari luar kampung pun akan berdatangan dalam pesta peresmian jew baru tersebut. Para Tetua Adat melantunkan nyanyian adat dan memukul tifa di dalam jew sepanjang malam hingga pagi. Bersamaan dengan itu bahan makanan dan seserahan adat terus berdatangan ke dalam jew. Pada puncak perayaan, dilaksanakan pesta goyang yang diikuti oleh masyakat dan tamu undangan. Ketentuan adatnya adalah para lelaki bergoyang di dalam jew, sedangkan para perempuan dan mama-mama bergoyang di luar rumah adat. Pesta goyang ini sekaligus juga untuk mengukur kekokohan bangunan jew, apakah sudah cukup kuat untuk digunakan dalam aktivitas adat sehari-hari.

Dalam sebuah pesta tentu tidak lengkap tanpa sajian makanan khas. Beberapa hari sebelum dilaksanakannya pesta jew baru, masyarakat kampung sudah masuk hutan untuk mengumpulkan bahan makanan. Bahan makanan seperti sagu, buah-buah hutan, dan daging hewan buruan menjadi hantaran wajib dalam pesta adat ini. Tapi kuliner yang paling disukai dan selalu diincar adalah ulat sagu. Bakal kumbang sagu ini menjadi penganan wajib dalam setiap pesta adat Suku Asmat, karena dipercaya sebagai makanan kesukaan para leluhur mereka.***

Baca juga: Menghadapi Tantangan Dan Peluang SDGs 14: Konservasi Dan Pemanfaatan Lautan, Perairan, Dan Sumber Daya Lautan Secara Berkelanjutan Di Indonesia

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan