Menelusuri Kembali Jejak Reklamasi Pantai Losari, Makassar

Minggu, 4 Juni 2023, menjelang pukul 11.00 Wita, naik pete-pete (sebutan angkot di Makassar) dari kampus Unhas Tamalanrea menuju Pantai Losari Makassar.

Setelah ngobrol singkat dengan salah satu penumpang, saya dan dua orang temanku memutuskan berhenti di Jl. Cendrawasih. Katanya, dari jalan ini, Pantai Losari sudah bisa dijangkau dengan jalan kaki.

Kami butuh sekitar 10 menit untuk sampai di depan Masjid Amirul Mukminin atau kerap disebut Masjid Apung. Di sepanjang jalan, perhatian kami tidak luput dari got-got hitam. Sempat juga dihidangi pemandangan tikus mati yang perutnya sudah bengkak. Guyonan temanku mulai bersambutan. Saya tiba-tiba ingat lagu Iwan Fals.

“Kisah usang tikus- tikus kantor, yang suka berenang di sungai yang kotor”.

Selamat tinggal Kus, semoga kau tenang di alam sana.

Ketemu Seorang Bapak yang Hobi Mancing

Kami beristrahat sejenak di depan Masjid Apung sembari menikmati sampah yang terapung. Sampah-sampah itu kelihatan masih  ‘fresh from the oven’. Entah ini sampah dari mana asalnya, siapa pelakunya?

Hmm apa mungkin ini bekas tempat makan dan minumnya putri duyung? Eh, emang putri duyung makan pake styrofoam? Sepertinya bukan sih. Saya pikir, putri duyung tidak sudi berenang di pantai yang airnya hitam.

Sampah di sekitar Masjid Apung. / Foto: Irmalasari

Setelah minum beberapa milli air, kami terus menelusuri pinggiran pantai. Kami berhenti di balok tulisan “Mandar”. Kata temanku, ini tempat yang pas untuk motret Masjid 99 Kubah. Angle fotonya sangat pas.

Tidak jauh dari tempat itu, ada bapak-bapak yang usianya sekitar 50-an sedang memancing. Saya penasaran, kok bisa bapak itu mancing di tempat yang airnya hitam pekat. Saya melempar senyum yang kemudian dibalas sama bapak itu. “Sering mancing di sini pak?,” ucapku membuka obrolan.

“Iye, sering,” ujar Bapak pemancing. Basa- basi terus berlanjut. Temanku yang lain ikut nimbrung sembari memperhatikan hasil tangkapan bapak itu yang digantung di stem sepedanya.

“Kecil- kecil ikannya pak di,” ujar temanku dalam logat Makassar.

“Iye kecil-kecil. Jarang mi ada yang besar-besar. Dulu- dulu ji biasa ada besar- besar,” kenangnya.

Bapak yang namanya saya tidak tahu itu (lupa nanyain namanya heheh) hobi mancing. Ia mengayuh sepeda birunya dari Minasaupa menuju Pantai Losari. Katanya  ia telah memancing di tempat ini jauh sebelum reklamasi pesisir Makassar dilakukan. Hasil tangkapannya biasanya ia bawa pulang untuk dimasak sang istri.

Mengingat Kembali Proses Reklamasi Pantai Losari

Saya kembali menelusuri pemberitaan tentang reklamasi Pesisir Makassar. Dalam pemberitaan tempo 2016 silam, disebutkan sejumlah warga mengeluhkan reklamasi saat sidang peninjauan lokasi reklamasi Centre Point Of Indonesia (CPI).

Keluhan itu bukan tanpa sebab, reklamasi CPI dituding merusak ekosistem dan biota laut serta merugikan nelayan pencari ikan dan kerang.

Mendengar cerita bapak yang hobi mancing tadi dan melihat langsung air yang  hitam di kawasan itu, kupikir tudingan itu benar. Itu dampak nyata yang muncul, hanya dengan memperhatikannya sekilas.

Meskipun saat itu banyak keluhan, nyatanya pemerintah tetap mengeluarkan surat izin reklamasi. Hmmm kira-kira apa yah yang membuat hati pemerintah luluh untuk mengeluarkan surat izin? Apa karena AMDAL nya saat itu sudah oke banget?

Untuk mendapat jawabannya, saya mencoba membaca tulisan yang dimuat di website LBH Makassar. Tulisan yang ditayangkan 4 Juni 2016 itu ditulis oleh Edy Kurniawan, pengacara Bantuan Hukum LBH Pers. Ia menyebutkan bahwa pelaksanaan reklamasinya tidak didasari atas kelayakan AMDAL secara substansif dan komprehensif.

Kekacauan AMDAL mulai ketahuan setelah Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) mengajukan gugatan administrasi lingkungan hidup terhadap izin pelaksanaan reklamasi.

Pak Edy menyebutkan, setelah Walhi mengajukan gugatan, barulah Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) kasat-kusut melakukan pembahasan addendum AMDAL. Namun dalam pembahasan tersebut, para pakar lingkungan ramai menghujat AMDAL CPI yang seolah dibuat secara asal-asalan.

Dalam UU. No.1 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisit dan Pulau Pulau Kecil, sudah dijelaskan, reklamasi itu kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan. Pemanfaatan itu ditinjau dari semua aspek, baik itu sudut lingkungan maupun sosial ekonomi.

Dalam pasal 34 dijelaskan lagi, reklamasi hanya bisa dilakukan jika manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar dari biaya sosial dan ekonomi yang dikeluarkan. Tidak hanya itu, kegiatan reklamasi juga wajib memperhatikan keberlanjutan kehidupan masyarakat, keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestraian fungsi lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dalam berita Mongabay yang diterbitkan 3 Juli 2017 lalu, Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo mengklaim reklamasi untuk rakyat. Klaim tersebut ia katakan saat diberondong pertanyaan oleh wartawan. Syahrul ingin membahagiakan rakyat Makassar dan Sulsel dengan kehadiran fasilitas Pantai Losari. Fasilitas yang ia maksudkan adalah tempat rekreasi, lintasan lari dan fasilitas lain.

Memang, dengan reklamasi tersebut, Kawasan Pantai Losari bertambah panjangnya dari 800 meter menjadi 5 kilometer. Garis pantai sepanjang itu diyakini Syahrul mampu memenuhi kebutuhan pantai untuk masyarakat.

Dampak Reklamasi Pantai Losari

Reklamasi Kawasan Pantai Losari memang memiliki beberapa dampak positif, seperti berkembangnya sektor bisnis dan pariwisata yang mampu menambah pendapatan asli daerah. Selain itu, reklamasi juga dapat mengurangi resiko tsunami. Hal ini dikarenakan proses reklamasi disertai pemasangan front break water. Alat ini bekerja dengan melemahkan kekuatan gelombang yang datang. Ini mampu meminimalkan kerusakan jika terjadi tsunami.

Dampak positif reklamasi yang terakhir, saya ketahui setelah membaca tulisan Muhammad Alfan dkk. Tulisan yang berjudul Analisis Masalah Sosial Dampak Reklamasi Pantai Losari itu terbit di Jurnal Development Policy and Management Review (DPMR) Unhas.

Meskipun ada beberapa dampak postifinya, tapi, tapi dan tapi, dampak  negatif reklamasi CPI tidak kalah banyaknya. Perkembangan sektor bisnis dan pariwisata memang mampu menambah Pendapatan Asli Daerah namun itu malah membuat kesenjangan ekonomi makin meningkat.

Kesenjangan pembangunan CPI terlihat nyata ketika masyarakat menengah ke atas sebagai sasaran pembangunan CPI. Nelayan yang dulunya menjadikan wilayah pesisir Makassar sebagai ruang hidup semakin tertekan. Mengapa demikian? Ya, karena reklamasi menyebabkan perubahan ekosistem pesisir. Lokasi tangkapan semakin jauh dan adanya resiko pencemaran air.

Kerusakan lingkungan tentu menjadi hal yang sangat krusial. Kenapa? Karena kalau terlanjur rusak, manusia akan sangat sulit memperbaikinya. Dampak kerusakan lingkungan tentu tidak hanya dialami oleh orang yang merusaknya saja, tetapi semua makhluk bernyawa. Dan itu tidak hanya dialami generasi yang merusaknya saja, generasi mendatang pun akan merasakannya.

Dampak reklamasi pesisir pantai Makassar telah dirasakan banyak orang, utamanya nelayan. Mereka telah merasakannya sejak beberapa tahun lalu. Liputan Eko Rusdianto yang diterbitkan di Mongabay 6 Juli 2015, memaparkan bagaimana nasib nelayan yang terimbas reklamasi di Pesisir Makassar.

Wawan, salah satu nelayan pencari kerang mengaku, sebelum reklamasi ia hanya mencari kerang di depan rumah. Dua tiga jam ia telah mendapatkan satu karung penuh. Namun setelah proses reklamasi dimulai, wilayah tangkapannya sudah sempit dan sulit mendapat kerang.

Guru Besar MIPA Unhas, Dadang Ahmad Surimiharja yang meneliti DAS Jeneberang dan kondisi Teluk Losari pada 2001 menjelaskan kalau reklamasi pesisir Losari tidak memperhitungkan sirkulasi dan hidrologi air. Hal inilah yang menyebabkan air berlumpur, bau menyengat dan hitam.

Reklamasi  CPI juga menghilangkan kawasan serapan air. Hal itu karena pembangunan jalan utama lintas Metro Tanjung Bunga. Pembangunan tersebut menyebabkan Kawasan pelelangan ikan di dekat Pantai Losari (Jl. Rajawali) sebagai kubangan dan tempat bertumpuk sedimentasi.

Sedimentasi ini tentunya mempengaruhi ekosistem dan biota laut. Beberapa satwa mulai hilang. Buktinya, sebelum reklamasi, beberapa penduduk lokal itu masih mudah menemukan kerang dan ebi serta beberapa ikan. Namun setelah reklamasi, tidak lagi.

Reklamasi Lagi

Kami terus menyusuri pinggir pantai hingga ujung. Memperhatikan penjual pisang epe’ dan bakso bakar yang mulai mengatur kursi- kursi. Rupanya mereka baru buka selepas dzuhur.

Asyik memperhatikan aktivitas itu, kami menangkap obrolan yang suaranya nyaring. Itu suara dua laki-laki yang membawa kantong kresek putih berisi snack. Jalannya cepat. Mereka melewati langkah kami hanya sepersekian detik.

“Tidak lama itu sampai sana mi pembangunannya ee,” ucap salah seorang di antara mereka sembari menunjuk Pulau Lae- Lae. Kami ikut menoleh ke arah yang dimaksud.

Di seberang sana, di dekat Masjid 99 Kubah, nampak ada proses pembangunan baru. Lalu tidak jauh dari itu, nampak juga Pulau Lae- Lae.

Saya tiba- tiba ingat, bulan lalu saya sempat melihat story WhatsApp teman yang nampaknya aktif di WALHI Sulsel. Ia memposting berita tentang warga Lae- Lae yang menolak reklamasi.

Dalam berita yang dimuat Kompas, disebutkan ratusan masyarakat menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Provinsi Sulawesi Selatan. Mereka membawa spanduk-spanduk bertuliskan “Nelayan Butuh Laut Bukan Reklamasi, Kami Bersatu Untuk Melawan Reklamasi, Tanah Ini Milik Rakyat, dan Warga Pulau Lae- Lae Tolak Reklamasi.”

Rencana reklamasi hingga ke pulau Lae- Lae didasarkan pada Surat Edaran Sekretariat Daerah provinsi Sulawesi Selatan nomor 180/1428/B. Reklamasi tersebut akan menimbun tangkapan nelayan yang diperkirakan mencapai 12,11 hektare. Dampaknya, kurang lebih 1.700 jiwa penghuni pulau terancam akan digusur.

Wakil koalisi unjuk rasa pada Rabu 17 Mei 2023, Ady Anugerah mengatakan kalau reklamasi dilakukan sebagai lahan pengganti akibat kekurangan lahan di objek reklamasi CPI sebelumnya.

Kesepakatan awal antara Pemrov Sulsel dan pihak pengembang, lahan yang direklamasi seluas 157,23 hektare. 50,57 harus diserahkan ke Pemrov. Namun belakangan ternyata yang diserahkan itu kurang 12,11 hektare. Pemrov Sulsel sepakat untuk mengganti kekurangan lahan.

Hingga terjadi unjuk rasa, wakil koalisi menyebutkan bahwa belum ada hasil kajian lingkungan soal dampak reklamasi. Rencana reklamasi bahkan ditolak dan tidak pernah disetujui warga.

Cerita di Pete-Pete 05

Kami meninggalkan Pantai Losari sekitar pukul setengah tiga. Berjalan ke Jl. Cendrawasih cari pete- pete. Panas, macet dan bau comberan menyertai perjalanan pulang.

Sampai di Jl. Cendrawasih, tidak cukup 10 menit, pete-pete 05 sudah datang. Sebagai informasi, di Makassar  ada penomoran angkot. 05 itu pete-pete yang arah tujuannya ke Unhas Tamalanrea.

Untuk mengusir rasa bosan di perjalanan, kami mulai cerita ngalor ngidul.

“Laut ditimbun, pegunungan dikeruk, mau mereka apa sih?” ujar temanku yang lahir dan tumbuh di Tappina, Polewali Mandar. Ia menghabiskan masa kecilnya dengan membantu orang tuanya bertani di gunung. Ia ingat betul bagaimana tanah dikeruk lalu diangkut mobil truk. Katanya tanah itu akan digunakan untuk menimbun. Entah menimbun apa.

Hmmm, mendegar ceritanya dan menyaksikan langsung dampak reklamasi CPI,  Sepertinya omelan mamak dan nenek-nenek di kampungku cocok untuk sang pengeruk dan sang penimbun deh.

“Kau ini terlalu pintar sekali. Mainannya sudah bagus-bagus, dibongkar lagi. Sebentar itu tiba-tiba jadi bodoh, tidak bisa pasang kembali.” Omelan itu kerap saya dengar saat anak laki- laki membongkar mobil- mobilannya.

Saat lingkungan rusak akibat pengerukan dan penimbunan, pelaku- pelakunya sudah tidak mampu memperbaikinya lagi kan? Kalau diperbaiki, syukur alhamdulillah sih.

Sekian cerita perjalanan akhir pekan ini. Semoga kita tidak menjadi bagian dari perusak lingkungan. Aamiin.***

Baca juga: Overfishing Sebagai Isu Kontroversial Dalam Industri Perikanan Indonesia: Fakta Dan Dampaknya

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan