Bah Iwan Sang Pelaut Pencinta Alam: Meninggalkan Laut untuk Merawat Gunung dan Hutan di Cagar Alam Kamojang, Jawa Barat

Benua Asia hingga Eropa, hingga ketujuh benua lainnya merupakan persinggahan yang karib bagi seorang Iwan Bace.

Penjelajahan tersebut dilaluinya bukan karena ia memiliki latar belakang petualang saja, tetapi memang karena profesinya sebagai pelaut lah yang mengantarkannya untuk bisa keliling dunia.

Sebagai pendaki gunung, alih-alih daratan, bertahun-tahun hidupnya justru lebih akrab dengan air, lautan, dan segala jenis tantangannya. Tetapi siapa nyana, air dan profesi yang sangat ia cintai, rela ia tinggalkan begitu saja karena satu alasan. Kelestarian hutan dan gunung-gunung di kampung halaman.

Iwan Bace, atau yang lebih dikenal di kalangan penggiat di Bandung Selatan dengan panggilan “Bah Iwan” ini merupakan salah satu tokoh dalam dunia kepencinta-alaman.

Kiprahnya dalam dunia yang identik dengan lingkungan hidup dan kelestarian alam tersebut salah satunya dapat dilihat dan dibuktikan dengan adanya organisasi yang ia dirikan sejak tahun 90-an, B-PAS, sebuah organisasi kepemudaan yang bergerak dalam bidang kepecinta-alaman di Kabupaten Bandung, tepatnya di Majalaya.

Namun meski berkarya di kampung halaman, perjalanan hidupnya, justru kemudian lama dialalui di negeri orang karena profesinya sebagai pelaut, kisah Bah Iwan belasan tahun kemudian akhirnya identik dengan “kenyamanan” dan “kemewahan” dunia kapal.

Bah Iwan. / Foto: Pepep D. W.

Terinspirasi Gerakan Sadar Kawasan

Apa yang membawa Bah Iwan kembali ke darat? Pada kampung halaman yang lama ia tinggalkan?

Rupanya, di tahun-tahun terakhir sebelum memutuskan kembali ke tanah air, Bah Iwan banyak mendengar kondisi kerusakan alam di kampung halamannya, khususnya di gunung-gunung dan hutan yang penting dalam perjalanan hidupnya, khususnya pada saat ia masih aktif bergiat di dunia pencinta alam.

Tempat yang dimaksud adalah danau dan hutan Ciharus di wilayah Cagar Alam Kamojang. Danau dan hutan tersebut merupakan tempat penting dalam perjalannya menjadi pencinta alam, karena itu mendengar kabar banyak kerusakan terjadi di danau dan hutan Ciharus ini, Bah Iwan resah, gelisah, khawatir dengan danau yang menyimpan sejarah penting musnah ditelan masa.

Masih di akhir tahun sebelum berhenti melaut, tepatnya pada saat mendarat dan tinggal di Belanda untuk beberapa saat, Bah Iwan mendengar bahwa ada sebuah gerakan yang tengah gencar dilakukan dalam menghadapi kerusakan danau dan hutan Ciharus.

Nama gerakan tersebut adalah #saveciharus yang menjadi cikal-bakal gerakan #sadarkawasan yang menjadikan status dan fungsi kawasan sebagai pendekatan utama upaya konservasi alamnya.

Danau Ciharus, yang oleh C.W Wormser dicatat tahun 1920-an memiliki kedalaman lebih dari 15 meter, pada tahun 2000-an mengalami penyusutan, tepatnya pendangkalan.

Keadaan tersebut diakibatkan oleh banyak faktor, dari mulai aktivitas ekonomi masyarakat kecil berupa perambahan, eksploitasi, hingga aktivitas rekreasi berupa wisata, khususnya aktivitas offroad yang masif membelah hutan sekitar Ciharus, menyayat tanah dengan roda bergigi hingga mengakibatkan sedimen, dan semua sedimen tersebut berakhir di dasar danau Ciharus.

Gerakan #saveciharus adalah gerakan yang kemudian berusaha menanggulangi berbagai permasalah yang mengakibatkan kerusakan di sekitar danau dan hutan Ciharus.

Jika dikembalikan pada status kawasan, danau dan hutan Ciharus ternyata memiliki status cagar alam, sebuah status dengan level tertinggi pada pembagian kawasan konservasi, di mana aktivitas sekadar memasuki kawasan dengan berjalan kaki sekali pun, dapat dipidana jika tidak sesuai peruntukan.

Rupanya, berbagai pelanggaran di sekitar kawasan danau dan hutan Ciharus tersebut hampir 90% dilakukan oleh masyarakat yang sama sekali tidak mengetahui status kawasan. Di samping itu, di masa itu, sangat sulit ditemui adanya penindakan dari pemangku kawasan yang dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Karena itu, setiap tahunnya, gerakan atau kampanye #saveciharus yang melibatkan lintas komunitas melakukan upaya reguler berupa 1) sosialisasi status dan fungsi kawasan cagar alam, 2) restorasi mandiri dengan melakukan perbaikan di lokasi-lokasi yang mengalami kerusakan, serta 3) melakukan operasi sampah di dalam kawasan cagar alam yang massif dikunjungi secara illegal.

Kabar tentang gerakan #saveciharus akhirnya sampai ke telinga Bah Iwan di tahun 2014, dalam pengakuannya kemudian, ia bercerita, “Orang-orang yang bukan asli Bandung Selatan justru sangat peduli dengan kelestarian alam di dekat kampung halaman saya sendiri (Bah Iwan) justru ada di belahan bumi yang jauh dari sana”, akhirnya Bah Iwan memutuskan untuk pulang dan bergabung dalam upaya pelestarian gunung dan hutan di sekitar Cagar Alam Kamojang bersama gerakan #saveciharus dan #sadarkawasan.

Aliansi Cagar Alam melakukan aksi dengan berjalan kaki dari Bandung ke kantor KLHK Jakarta. / Dikutip dari akun Istagram jagarimba, sumber foto Suara.com

Mengabdikan Diri untuk Kelestarian Alam

Orang-orang atau para relawan yang tergabung dalam gerakan #saveciharus yang fokus pada penanggulangan masalah gunung, hutan dan danau ciharus, umumnya melakukan kegiatan reguler tahunan berupa sosialisasi hingga restorasi pada bulan-bulan tertentu saja.

Setelah itu, para relawan kembali ke tempat asalnya masing-masing, tidak hanya orang yang berasal dari Bandung, Jogja, bahkan relawan yang berasal dari Indonesia Timur pun juga banyak yang tergabung dalam gerakan ini.

Berbeda dengan Bah Iwan, sejak momen pertama bergabung dengan gerakan #saveciharus, ia tidak kembali dan tidak pergi ke mana-mana, ia tinggal dan terus melanjutkan upaya konservasi melalui sosialisasi, penyadartahuan kawasan pada masyarakat sekitar kawasan, hingga melakukan restorasi dengan melakukan penanaman pohon di sekitar kawasan cagar alam Kamojang.

Bahkan, tak jauh dari batas kawasan cagar alam, tepatnya di Kampung Laksana, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, Bah Iwan bersama B-PAS atau organisasi yang ia dirikan bersama sahabatnya (Kang Aip) membangun persemaian berupa pusat bibit pohon endemik Cagar Alam Kamojang, sebagai upaya serius dan jangka panjang dalam penanggulangan masalah deforestasi di kawasan Cagar Alam Kamojang tersebut.

Tak kurang, sejak dimulai upaya restorasi tahun 2014, yang terus berlangsung hingga hari ini tahun 2022, selama 8 tahun upaya restorasi berupa penanaman pohon di sekitar kawasan cagar alam kamojang, kegiatan Bah Iwan dan kawan-kawan telah meng-cover luasan lebih dari 29 hektar, dengan jumlah pohon yang berhasil ditanam berkisar antara 150.000 sampai 200.000 buah pohon berbagai jenis atau tepatnya 25 jenis.

Tidak hanya itu, persemain yang Bah Iwan bersama B-PAS inisiasi pada akhirnya menjadi sumber bibit bagi pegiat alam lain yang membutuhkan, sehingga persemaiannya pun telah mampu membantu upaya reforestasi di wilayah lain.

Bah Iwan tengah sosialisasi pada masyarakat penggarap sekitar kawasan cagar alam Kamojang. / Foto: Pepep D. W.

Dalam perjalanan 8 tahun, Bah Iwan mengupayakan kelestarian cagar alam, terdapat kisah yang cukup berkesan bagi bah iwan dalam upaya pelestarian Cagar Alam Kamojang khususnya. Pada tahun 2019, ketika muncul sebuah SK (surat keputusan) Menteri LHK tentang perubahan status cagar alam menjadi Taman Wisata Alam, di mana SK tersebut menjadi landasan formal eksploitasi alam di wilayah hutan dan danau Ciharus, sementara itu kawasan tersebut sudah bertahun-tahun oleh Bah Iwan dan para pegiat diperjuangkan kelestariannya.

Akhirnya di tahun 2019 tersebut, Bah Iwan bersama Aliansi Cagar Alam melakukan longmars dari Bandung menuju kantor KLHK di Jakarta selama 3 hari 3 malam, sebagai upaya penolakan dan tutuan agar SK tersebut dicabut.

Upaya Bah Iwan dan aliansi tidak sia-sia, akhirnya SK tersebut ditangguhkan di tahun yang sama, dan secara formal kini tengah dalam proses pencabutan.

Dari Bah Iwan, terlihat jelas bagaimana akhirnya kecintaan terhadap kelestarian alam bisa mengubah perjalanan hidup seseorang. Selain itu, totalitas dan komitmen yang ditunjukkan Bah Iwan, menjadi cerminan betapa pentingnya tokoh-tokoh seperti Bah Iwan untuk tetap ada di setiap kampung halamannya.***

Baca juga: Mitos Aul: Kisah Manusia Berkepala Serigala yang Pernah Menjadi Penjaga Hutan dan Mata Air

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan