Overfishing sebagai Isu Kontroversial dalam Industri Perikanan Indonesia: Fakta dan Dampaknya

Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kusdiantoro, pernah mengatakan: ‘Selama ini pembangunan perikanan tangkap telah meningkatkan perekonomian, di sisi lain apabila perikanan tidak mendapat pengelolaan dengan prinsip kehati-hatian dan berkelanjutan, dapat berdampak negatif terhadap lingkungan’.

Sebagai suatu negara kepulauan terbesar, Indonesia memiliki teritorial laut yang sangat besar. ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) Indonesia mencakup 6,1 juta kilometer persergi, menempatkan Indonesia sebagai negara dengan ZEE terbesar keenam di dunia.

Selain itu, lautan Indonesia terdiri dari sebagian besar Coral Triangle sehingga Indonesia memiliki keanekaragaman hayati maritim terkaya di dunia. Namun sangat disayangkan, sumber daya laut khususnya sumber daya ikan belum dapat dikelola dengan baik oleh Indonesia.

Meskipun Indonesia merupakan negara produsen seafood kedua terbesar setelah China, sektor perikanan hanya mampu menyumbang 2.8 persen pada PDB Indonesia di 2020.  Penyebab lesunya kontribusi perikanan pada PDB antara lain: stok ikan di Indonesia telah masuk pada level overexploited atau overfished, maraknya praktek illegal, unreported and unregulated fishing (IUU) di Indonesia, serta sistem manajemen perikanan yang kurang memadai.

Menilik Fakta dan Dampak dari Overfishing di Indonesia

Secara khusus mengenai overfishing, pada studi yang dimuat dalam Trends in Marine Resources and Fisheries Management in Indonesia di Tahun 2022 oleh World Research Institute menemukan bahwa lebih dari setengah stok ikan liar di Indonesia mengalami overfishing.

Dimana dalam studi terlihat bahwa dari 2017 ke 2022 terjadi peningkatan ikan yang overfished. Pada tahun 2017 ikan demersal yang tersebar di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 571, 573, 715, 716, 717, 718 masih berada dalam angka eksploitasi menengah.

Kemudian pada Tahun 2020, hanya tersisa pada WPP 573, 713, 716 yang berada dalam angka eksploitasi moderat, sisanya telah memasuki angka eksploitasi secara penuh, bahkan ada yang sudah masuk dalam angka eksploitasi berlebih.

Apabila overfishing terus dibiarkan terjadi, dapat mengakibatkan populasi ikan tidak dapat berkembang biak dengan cukup cepat untuk dapat merestorasi stok ikan, alhasil stok tersebut akan terdeplesi. Selain dari dampak overfishing kepada stok ikan tersebut, overfishing juga menyebabkan terjadinya gangguan pada rantai makanan dalam ekosistem tersebut dan menciptakan sebuah ketidakseimbangan, alhasil ketidakseimbangan tersebut dapat menyebabkan kerusakan ekosistem dan juga hilangnya hewan penting.

Ilustrasi kapal penangkap ikan. / Foto: Kajsa Sjolander / Greenpeace

Kesadaran akan pentingnya melakukan perikanan secara berkelanjutan (Sustainable Fisheries) sudah disadari oleh masyarakat global dengan adanya UN SDG (United Nation Sustainable Development Goal).

Guna mencapai keberlangsungan dalam bidang maritim dan perikanan di tetapkan 4 target global di 2020, diantaranya:

  1. Manajemen dan perlindungan ekosistem maritim dan pesisir;
  2. Meregulasi panen dan mencegah overfishing dan mengimplementasikan pendekatan secara saintifik dalam perencanaan manajemen agar stok ikan dapat pulih dalam waktu sesingkat singkatnya;
  3. Mengkonservasi setidaknya 10% daerah maritim dan pesisir;
  4. Menghilangkan subsidi yang menimbulkan overcapacity dan overfishing dan yang berkontribusi terhadap IUU.

Dalam mencapai target tersebut diperlukan instrumen legal dan juga non legal. Hal tersebut dikarenakan manajemen perikanan yang berkelanjutan juga dipengaruhi oleh kondisi sosial dan ekonomi dari suatu negara, data saintifik yang tersedia, dan struktur administratif yang ada.

Dalam melakukan pencapaian target SDG tersebut, sebuah studi yang dilakukan oleh Monderoo Foundation berjudul Global Fishing Index menemukan bahwa Indonesia masih memiliki kekurangan dalam melakukan evidence based management agar stok ikan dapat pulih kembali, mengurangi subsidi yang berdampak buruk terhadap upaya perikanan berkelanjutan.

Pendekatan Ilmiah dalam Manajemen Perikanan di Indonesia Saat Ini

Studi Monderoo Foundation menemukan bahwa 76% hasil tangkap ikan dari tahun 1990 sampai dengan 2018 dari stok ikan yang belum dilakukan penilaian (unassesed) sehingga tidak diketahui apa kondisi stok tersebut berada pada level sustainable atau telah overexploited.

Meskipun Indonesia telah dinilai menjadi negara 10 teratas dalam hal kapasitas pemerintahan dalam mewujudkan perikanan yang berkelanjutan, namun masih terdapat celah dalam hal penggunaan manajemen berbasis saintifik.

Terdapat bukti bahwa Indonesia memiliki kemampuan finansial dan profesional untuk mengelola perikanannya dan bahwa akses ke sumber daya perikanan diatur dengan jelas. Misalnya, data penangkapan ikan berkualitas tinggi seperti tangkapan, upaya penangkapan dan kesehatan stok perikanan utama seperti cakalang dikumpulkan dan batas tangkapan dan/atau upaya penangkapan ikan yang didasarkan secara ilmiah digunakan untuk mengatur tekanan penangkapan. Namun, aturan penangkapan dan/atau pemaksaan berbasis ilmiah hanya diterapkan di beberapa area perikanan.

Indonesia sendiri telah memiliki elemen sistem manajemen kepatuhan, termasuk inspeksi ikan di perairan dan di pelabuhan, sanksi berjenjang untuk pelanggaran penangkapan ikan, dan rencana aksi nasional untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU).

Namun penelitian menunjukkan bahwa tingkat korupsi yang tinggi terjadi di Indonesia dapat melemahkan program kepatuhan dan penegakan ini.

Di tingkat lokal, pemangku kepentingan (stakeholders) perikanan diberi kesempatan untuk terlibat dalam penanganan, misalnya melalui kerjasama atau kesepakatan konvensional. Selain itu, karena kurangnya transparansi dalam pengambilan keputusan, para pemangku kepentingan mungkin memiliki kesempatan terbatas untuk berpartisipasi secara efektif.

Implikasi Subsidi BBM Perikanan terhadap Overfishing di Indonesia

Selanjutnya Pemerintah Indonesia terus menawarkan beberapa subsidi perikanan yang berpotensi membahayakan perikanan keberlanjutan. Terutama dengan adanya subsidi bahan bakar dan pembebasan pajak di industri perikanan.

Dengan sebuah studi dari  International Institute for Sustainable Development (IISD) menyatakan angka rata-rata tahunan Subsidi bahan bakar yang diberikan pemerintah kepada sektor perikanan dari 2017 hingga 2020 bahkan mencapai angka 358 juta USD.

Pada Tahun 2018 saja diperkirakan dua pertiga dari total subsidi perikanan di Indonesia digunakan untuk memenuhi program-program jenis tersebut. Dilansir dari studi Relative Effects of Fisheries Support Policies oleh penilit OECD Roger Martinii and James Innes, subsidi BBM dianggap berisiko dari perspektif perikanan berkelanjutan.

Tanpa batasan tangkapan atau upaya penangkapan yang dikontrol secara ketat dan berkelanjutan, bahan bakar yang lebih murah dapat menyebabkan tekanan penangkapan ikan yang berlebihan dengan efek negatif pada keberlanjutan sumber daya laut dan mata pencaharian masyarakat yang terkena dampak dari deplesi stok ikan yang ada.

Kesejahteraan pelaku perikanan berskala kecil cukup terdampak akan adanya subsidi BBM. Hal tersebut menimbulkan ketidakadilan mengingat fakta bahwa 96% pelaku perikanan di Indonesia adalah pelaku perikanan berskala kecil yang terdiri dari komunitas nelayan lokal atau masyarakat adat.

Ilustrasi nelayan skala kecil. / Foto: Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Ditambah sebagian besar komunitas nelayan terpencil kesulitan mengakses BBM bersubsidi yang hanya dapat diakses melalui POM bensin tertentu hal tersebut secara tidak proporsional menguntungkan operasi penangkapan ikan berskala lebih besar, lebih komersial, yang tidak dimaksudkan sebagai penerima manfaat utama dari program tersebut.

Subsidi BBM secara penerapannya hanya menguntungkan pemilik atau operator kapal, tanpa ada manfaat yang turun kepada awak kapal dalam bentuk upah yang lebih layak. Sebuah studi yang dilakukan oleh Suharsono pada Tahun 2021 menunjukkan bahwa upah yang diterima oleh awak kapal penangkap ikan masih di bawah upah minimum kabupaten di 9 dari 10 provinsi, meskipun ada subsidi BBM.

Oseanografer terkemuka, Sylvia Earlee menyatakan: ‘Dengan mengetahui kita dapat merawat, dengan peduli kita akan membantu’.

Upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah guna menanggapi masalah tersebut:

  1. Meningkatkan pengambilan, pengolahan, kemudahan akses data penangkapan, pengawasan dan penegakan hukum perikanan bagi para stakeholders;
  2. Memperluas penggunaan metode saintifik dalam melakukan manajemen perikanan agar dapat mencakup lebih banyak stok perikanan yang terteliti;
  3. Memberantas korupsi dengan menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas agar proses pembentukan regulasi dan penerapan regulasi tidak dipengaruhi oleh kepentingan sejumlah pihak;
  4. Mengkaji ulang penerapan subsidi yang diberlakukan di sektor perikanan agar subsidi dapat ditargetkan dan disalurkan untuk ke kalangan pelaku perikanan secara kecil dan juga untuk mendorong perikanan berkelanjutan dengan lebih efisien;
  5. Meratifikasi dan mengimplementasikan Konvensi Pekerjaan ILO dalam Penangkapan Ikan 2007 (No. 188) dan Perjanjian Cape Town IMO 2012 untuk melindungi hak dan keselamatan pekerja di bidang perikanan.

Jadi Sobat LautSehat, semoga artikel ini menyadarkan kita semua bahwa masalah overfishing ini adalah suatu masalah yang berdampak tidak hanya pada populasi ikan itu sendiri, melainkan juga dapat berdampak kepada rantai makanan ekosistem yang dapat mengakibatkan kerusakan dan ketidak seimbangan pada ekosistem tersebut.

Selain berdampak kepada ekosistem, masalah overfishing ini juga berdampak loh terhadap komunitas nelayan lokal/adat dan juga pelaku perikanan berskala kecil lainnya. Bisa dibayangkan bagaimana jika praktek overfishing di Indonesia dibiarkan terjadi?***

Baca juga: Restorasi Kerang Hijau Untuk Memulihkan Ekosistem Perairan Ancol

Editor: J. F. Sofyan

Sumber:

Migiro, G. Countries with the Largest Exclusive Economic Zones. WorldAtlas. 2018. https://www.worldatlas.com/articles/countries-with-the-largest-exclusive-economic-zones.html 

Sanciangco, J. C., Carpenter, K., Etnoyer, P. J., & Moretzsohn, F. Habitat Availability and Heterogeneity and the Indo-Pacific Warm Pool as Predictors of Marine Species Richness in the Tropical Indo-Pacific. PLOS ONE, 8(2), e56245. 2013. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0056245 

Napitupulu, L., Tanaya, S., Ayostina, I., Andesta, I., Fitriana, R., Ayunda, D., Tussadiah, A., Ervita, K., Makhas, K., Firmansyah, R., & Haryanto, R. Trends in Marine Resources and Fisheries Management in Indonesia: A Review. World Resource Institute. 2022. https://doi.org/10.46830/wrirpt.20.00064 202

FAO. Global food losses and food waste – Extent, causes and prevention. Food and Agriculture Organization of United Nations. Rome . 2011. https://www.fao.org/3/mb060e/mb060e00.pdf 

MSC. Overfishing. Marine Stewardship Council. (n.d.). https://www.msc.org/en-au/what-we-are-doing/oceans-at-risk/overfishing 

WWF. Overfishing. World Wildlife Fund. (n.d.). https://www.worldwildlife.org/threats/overfishing#:~:text=When%20too%20many%20fish%20are,like%20sea%20turtles%20and%20corals

UNDP. Sustainable Development Goals | United Nations Development Programme. United Nations Development Programme. (n.d.).https://www.undp.org/sustainable-development-goals/below-water?gclid=CjwKCAjw4ZWkBhA4EiwAVJXwqVCrHsHLMnS6zS9kj3YS6o4YIS42fn1JqWHBbNtpgzgYRFyWzaVa4xoC5kkQAvD_BwE 

Henriksen, T., Palma, M. A., Tsamenyi, M., and Edeson, W. Promoting Sustainable Fisheries: The International Legal and Policy Framework to Combat Illegal, Unreported and Unregulated Fishing. Ocean Yearbook, 26(1), 712–720. 2012.  https://doi.org/10.1163/22116001-92600034 

Minderoo Foundation. The Global Fishing Index: Assessing the Sustainablity of the world’s marine fisheries. Perth, Western Australia. 2021. https://cdn.minderoo.org/content/uploads/2021/11/05140211/20220505-global-fishing-index-2021-report.pdf

Transparency International. Corruption Perceptions Index 2019, Transparency International, Berlin, Germany. 2020. http://www.transparency.org/cpi 

Suharsono, A., Mustofa, A., Nuraini, Hizbulloh, L., Bellmann, C., Irschlinger, T., and Tolvanen, S.Supporting Marine Fishing Sustainably: A review of central and provincial government support for marine fisheries in Indonesia. Global Subsidies Intiative. 2021. https://www.iisd.org/system/files/2021-07/sustainable-marine-fisheries-indonesia-en.pdf 

 Martini, R. and J. Innes. Relative Effects of Fisheries Support Policies. OECD Food, Agriculture and Fisheries Working Papers. 2018. https://doi.org/10.1787/bd9b0dc3-en

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan