Pantai Utara Jawa dan Sekelumit Masalah Rumah Tangganya

Banjir rob lagi banjir rob lagi. Hal inilah yang sering terjadi di daerah pesisir pantai utara Jawa (Pantura). Hampir tiap tahunnya masyarakat yang tinggal di daerah pesisir Pantura harus berurusan dengan masalah tersebut.

Isu tentang rob di Pantura sendiri sudah ada dari bertahun-tahun yang lalu hingga sekarang dan belum terselesaikan. Bahkan berbagai media seperti memiliki langganan topik untuk dikabarkan setiap tahunnya terkait banjir rob di Pantura ini.

Pemukiman warga yang tergenang oleh banjir rob
Pemukiman warga yang tergenang oleh banjir rob di Semarang

Apa Sebenarnya Banjir Rob Itu ?

Ngomongin soal rob nih, apa sih sebenarnya rob itu? Nah rob atau banjir rob menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan banjir yang diakibatkan oleh naiknya tinggi permukaan air laut, sehingga air laut dapat lebih jauh memasuki daratan dan bahkan mampu menggenangi pemukiman yang ada di wilayah pesisir.

Kondisi tersebut sangat merugikan karena selain mengganggu aktivitas masyarakat pesisir, genangan air juga dapat menjadi sumber penyakit seperti penyakit kulit, demam berdarah, maupun malaria.

Beberapa kota di sepanjang Pantura yang mengalami rob terparah menurut BNPB adalah Jakarta, Pekalongan, Semarang, dan Demak. Empat kota tersebut menjadi pelanggan banjir rob tiap tahunnya. Kasus banjir rob yang terjadi di Semarang dan Demak hingga saat ini telah menggerogoti wilayah pemukiman warga yang tinggal di area pesisir.

Garis pantai di dua kota tersebut mundur, ke arah darat, dari beberapa tahun yang lalu. Sehingga wilayah pemukiman warga yang ada di pesisir Semarang dan Demak tergenang dan rusak parah. Bahkan saking parahnya ketika air pasang akses jalan yang tadinya bisa digunakan, terendam dan susah dilewati.

Tenggelamnya salah satu masjid di Demak akibat rob
Tenggelamnya salah satu masjid di Demak akibat rob

Penyebab Banjir Rob Tahunan di Pantura

Lantas mengapa bisa terjadi rob yang begitu parah di kedua kota itu? Apakah masih ada kaitannya dengan isu climate change dan pemanasan global yang selama ini banyak diangkat oleh media dan dikampanyekan dimana-mana?.

Kondisi yang terjadi saat ini di kedua kota tersebut ada kaitannya dengan isu-isu di atas. Climate change dan pemanasan global yang menyebabkan peningkatan temperatur secara global mengakibatkan es-es di Kutub Utara dan selatan mencair.

Sehingga muka air laut rata-rata (MSL) mengalami peningkatan tiap tahunnya. Nah karena permukaan air yang terus bertambah tinggi, maka daerh-darah yang memiliki struktur wilayah yang datar dan rendah  di pesisir akan tergenang oleh air laut.

Tapi apakah hanya itu saja penyebabnya? Tentu tidak, ada satu lagi faktor yang berkontribusi lebih besar dalam menenggelamkan pesisir kedua kota tersebut yaitu penurunan muka tanah atau biasa disebut land subsidance. Penurunan muka tanah ini bisa bersifat alami karena aktivitas geologi seperti kompaksi struktur tanah yang belum stabil, dan ada amblasan yang disebabkan oleh hasil dari aktivitas manusia.

Untuk kasus di Semarang dan Demak sendiri menurut studi yang dilakukan oleh Mohammad Afif dan tim dari Universitas Diponegoro, Semarang tahun 2018, menyebutkan bahwa memang sudah ada penurunan muka tanah secara alami (natural subsidance) yang terjadi di Semarang dan Demak karena jenis tanah di beberapa wilayah di kota merupakan jenis tanah aluvial yang masih muda, belum mengalami perkembangan, dan rentan mengalami pergerkan sehingga belum stabil.

Sayangnya kondisi tersebut dipercepat dengan adanya aktivitas yang padat di wilayah pesisir seperti  pembangunan perumahan dan industri di wilayah pesisir Semarang-Demak serta aktivitas jalan Pantura yang menambah beban tanah, sehingga lapisan-lapisan tanah dibawahnya lebih cepat mengalami pemampatan (kompaksi/konsolidasi).

Ada lagi yang diakibatkan oleh pemompaan air tanah yang berlebihan di kedua kota tersebut untuk keperluan hotel, industri, hingga rumah tangga, yang juga berujung pada percepatan penurunan muka tanah.

Adaptasi dan Mitigasi Masyarakat yang Hidup Berdampingan dengan Banjir Rob

Warga pesisir Semarang-Demak harus merasakan imbasnya akibat dari kondisi-kondisi di atas. Rumah mereka amblas dan tergenang begitu cepat setiap tahunnya. Beberapa dari mereka memutuskan untuk meninggalkan rumah mereka sedang sebagian lain memilih untuk tetap menetap dengan berbagai alasan, salah satunya adalah soal ekonomi dan pekerjaan.

Warga yang berjualan dengan latar rumah termakan landsubsidance sehingga terlihat pendek atapnya
Warga yang berjualan dengan latar rumah termakan land subsidance sehingga terlihat pendek atapnya

Mereka yang memilih untuk tinggal kemudian dipaksa beradaptasi dan menerima semua risiko tersebut. Hampir setiap tahun mereka harus meninggikan bangunan dan akses jalan yang ada. Kegiatan tersebut biasa dilakukan sekali bahkan dua sampai tiga kali dalam satu tahun, untuk bisa tetap bertahan. Jadi banyak dari penghasilan mereka yang habis dialokasikan untuk meninggikan jalan dan rumah mereka.

Salah satu rumah warga yang telah di tinggikan
Salah satu rumah warga yang telah di tinggikan

Langkah Penanggulangan Banjir Rob Pantura

Sebenarnya pemerintah sudah bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mencarikan solusi masalah tersebut. Seperti pembuatan tanggul, penimbunan, pembuatan drainase, hingga membangun polder-polder dan pompa. Namun sebenarnya kita bisa membantu loh hanya dengan langkah kecil dengan dimulai dari diri kita sendiri.

Yaitu dengan menghemat air yang kita gunakan, jadi gunakan air seperlunya saja. Terus sebisa mungkin kurangi aktivitas dengan menggunakan motor/mobil pribadi dan aktivitas lain yang berpotensi besar menyumbang karbon ke atmosfer atau beralih ke penggunaan alat yang lebih ramah lingkungan.

Juga bisa dengan menghijaukan rumah kita dengan cara menanaminya tanaman, bisa tanaman hias, sayur, atau buah-buahan dan membuat resapan air.

Semua tindakan tersebut bertujuan untuk mengurangi konsumsi air tanah juga mengurangi karbon di atmosfer yang mampu memperlambat kenaikan muka ir laut atau sea level rise.

Editor : Annisa Dian Ndari

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan