Palkon, Solusi Sampah Organik dalam Ember
Cuaca Ciamis pagi itu hangat, agak sedikit berawan. Sinar matahari mengetuk lembut jendela dapur, mengintip saya sedang membantu mamah mertua yang sudah sibuk sedari subuh menyiapkan sarapan.
Air menetes perlahan dari wadah-wadah basah yang baru saja saya bilas, dan disimpan di dalam sebuah keranjang bambu. “Itunya dimasukin aja ke palkon ya. Nanti biar dibawa sama Apa (bapak) ke balong (kolam ikan),” kata Mamah.
Yang dimaksud adalah sampah organik sisa memasak, agar dimasukkan ke dalam wadah khusus untuk menampung sisa organik. Bahkan sisa-sisa makanan yang kadang tidak termakan juga akan ditampung dalam ember yang sama. Mulai dari potongan sayur, kulit buah, kulit bawang, hingga tulang-tulang ikan atau daging.
“Palkon,” saya bergumam sembari memasukkan sisa organik ke wadah yang dimaksud. Ada dua buah palkon yang diletakkan di sudut dapur. Yang satu berupa ember plastik berwarna hitam, lainnya berupa baskom berwarna merah. Ukurannya sedang, kira-kira cukup menampung sekitar 5 kg sisa organik.
“Kenapa namanya palkon?” saya bertanya pada Apa, saat kami berjalan menuju balong. Saya ikut sembari berjalan-jalan melihat suasana kampung.
Istilah palkon untuk ember sisa organik ternyata berawal dari nama merk cat, Falcon. Kala itu, kata Apa, itu adalah cat yang pertama kali masuk ke kampung tempat mereka tinggal. Warga kemudian memanfaatkan ember bekas cat tersebut sebagai wadah sisa organik di dapur yang dikumpulkan untuk pakan ikan di balong.
Huruf F yang melebur menjadi huruf P jika dilafalkan oleh orang sunda ternyata bukan mitos. “Orang sini bacanya palkon. Jadi ya gitu, masukin (sisa organik) ke palkon. Sampai sekarang menyebutnya palkon,” kata Apa sembari tertawa.
Palkon bisa berupa apa saja. Tidak hanya ember bekas cat dengan merk tertentu, namun bisa berupa ember plastik biasa, atau wadah plastik lainnya yang biasanya adalah barang bekas yang tidak lagi terpakai atau diguna ulang.
Mayoritas penduduknya yang masih memiliki balong atau kolam ikan, melanggengkan kebiasaan mengumpulkan sisa organik hingga saat ini. Intensinya sederhana, untuk memberi makanan pada ikan-ikan, daripada harus membeli pakan berupa pelet. Namun lebih jauh, kebiasaan ini sebetulnya membantu menyelesaikan 50 persen timbulan sampah yang dihasilkan di dapur mereka.
Di tengah perjalanan menuju balong, kami berhenti sejenak di depan pintu salah satu tetangga. Di depannya tersimpan sebuah baskom dengan tutup, yang ternyata juga adalah palkon karena ketika dibuka di dalamnya penuh terisi dengan sisa organik.
Palkon tersebut kemudian juga dibawa Apa ke balong. Kami jadi membawa dua palkon penuh berisi sisa organik. “Biasa disimpan disitu. Biar gampang setiap pagi waktu Apa lewat, tinggal dibawa,” katanya.
Warga yang tidak memiliki balong akan menitipkan sisa organik mereka pada warga lainnya yang memiliki balong. Kebiasaan ini terbangun, karena para pemilik balong juga membutuhkan lebih banyak pasokan sisa organik untuk ikan-ikan mereka. Karena itu, Palkon ada di setiap dapur di rumah warga, meski tidak semua warga memiliki balong.
Selain membantu para pemilik balong mendapatkan suplai sisa organik, secara tidak langsung mereka juga terbantu dalam manajemen pengolahan sampah rumah tangga. Meski tidak mengenal istilah mengompos, namun budaya palkon menjelma menjadi solusi yang terbentuk secara organik, seiring pola hidup warga di kampung yang berdampingan dengan balong tradisional.
Kualitas Ikan
Sisa organik dalam palkon tidak ditumpahkan ke dalam balong ikan begitu saja. Di balong terdapat sebuah keranjang berongga kecil yang ditempatkan di salah satu sudutnya, dengan ditopang empat buah kayu. Posisi keranjang setengah terendam air balong.
Sisa organik dari palkon kemudian dipindahkan ke dalam keranjang tersebut. Rongga kecil keranjang dan posisinya yang terendam membuat sisa organik akan keluar sedikit demi sedikit. Sementara ikan-ikan terlihat berkumpul di sekitar keranjang tersebut menyesap sari-sari sisa organik yang terurai oleh air. Ikan Mas, Nila/Mujair, hingga Gurame terlihat berlomba-lomba mengambil makanan dengan mulut mereka.
Sistem sederhana ini cukup efektif untuk menjaga agar asupan pakan ikan tidak berlebihan. Satu keranjang penuh terisi sisa organik baru akan habis setelah sekitar 3-4 hari.
Selain sisa organik dari dapur-dapur rumah tangga, ikan-ikan juga diberi makan daun-daun seperti talas yang tumbuh subur di sisi balong.
Pakan ikan ini membuat daging ikan memiliki kualitas rasa yang berbeda. “Ciamis dikenal dengan rasa ikannya yang enak. Beda sama ikan di pasar,” kata Apa.
Saya pernah mendengar ini dari saudara-saudara di Bandung. Katanya, ikan Ciamis memang memiliki rasa yang berbeda. Rupanya yang dimaksud adalah ikan-ikan dengan proses pakan seperti ini. Ikan yang dirawat secara pribadi di balong-balong tradisional dan diberi pakan hanya sisa organik dan dedaunan tanpa campuran pakan ikan pabrikan.
Di tengah obrolan kami sembari memberi makan ikan, datanglah salah satu warga dengan menenteng sebuah ember di tangan kanannya. “Pa punten, bade nyanggakeun palkon (Pak permisi, mau mengantarkan palkon),” ujarnya sembari menyimpan sebuah palkon berupa ember hitam, di pintu pagar tak jauh dari balong.
Suara gemericik air dari ikan-ikan yang tengah sibuk makan seakan menyambutnya penuh suka cita. Mereka tidak pernah kekurangan pakan dari sisa organik.***
Baca juga: Zero Waste, Gaya Hidup Menyelamatkan Laut
Editor: J. F. Sofyan
Foto Thumbnail: Siska Nirmala
Tanggapan