Perempuan Kodingareng: Bergerak, Berjuang, dan Berorganisasi
Pulau Kodingareng merupakan salah satu pulau yang ada di Makassar, Sulawesi Selatan. Pulau yang padat penduduk ini memiliki luas 8774 m2 dan dihuni sekitar 4.522 jiwa. Mayoritas pekerjaan warga adalah nelayan tradisional yang telah turun temurun menggantungkan hidupnya di laut Spermonde.
Namun laut yang selama ini mereka jaga dan pertahankan ekosistemnya mendapat ancaman. Pada Rabu, 12 Februari 2020 menjadi kabar buruk bagi masyarakat Kodingareng dengan dikeluarkannya surat pemberitahuan oleh Kepala Kesyahbandaran Utama Kota Makassar terkait keberadaan kapal Queen of the Netherlands. Kapal dengan panjang 230 m dan lebar 32 m tersebut adalah kapal pengeruk pasir laut milik Boskalis, perusahaan asal Belanda.
Esoknya, 13 Februari 2020 kapal tersebut melakukan aktivitas pertambangan di wilayah tangkap nelayan Kodingareng. Aktivitas tersebut menjadi langkah perjuangan bagi nelayan dan perempuan Kodingareng. Bagi masyarakat Kodingareng, wilayah yang ditambang (masyarakat menyebutnya copong) adalah ruang tangkap yang memiliki ekosistem laut yang tinggi sehingga mampu memberikan penghidupan yang berkelanjutan bagi nelayan.
Sejak Juni 2020 perjuangan nelayan dan perempuan Kodingareng memulai perjuangan mereka untuk merebut kembali ruang hidupnya yang dirampas. Tercatat beberapa aksi yang dilakukan baik di lokasi penambangan, Kantor Gubernur, DPRD Provinsi sampai dengan melakukan diskusi publik sebagai bagian dari kampanye mereka. Hingga pada 25 Oktober 2020 kapal Queen of the Netherlands menghentikan operasi pertambangannya.
Perempuan Penggerak Perlawanan
Jika kita melihat gerakan masyarakat yang terbangun di Pulau Kodingareng, perempuan memiliki porsi yang sangat besar di dalamnya. Sedari awal hingga berakhirnya aktivitas pertambangan, perempuan Kodingareng begitu konsisten bersuara untuk mempertahankan wilayah tangkap nelayan.
Patut diperhatikan, Koalisi Save Spermonde telah melakukan riset mengenai dampak aktivitas tambang pasir laut di perairan Spermonde. Pertama yakni perubahan kondisi dan ekosistem laut seperti kekeruhan dan sedimentasi pada wilayah tangkap nelayan. Kedua yakni kerusakan terumbu karang pada perairan Spermonde. Bukan hanya dampak dari segi ekologis, namun juga berdampak terhadap pendapatan nelayan serta sosial dan psikologis bagi nelayan dan perempuan di Pulau Kodingareng.
Riset tersebut juga mengungkap perubahan yang sangat drastis hasil tangkapan nelayan. Nelayan panah yang sebelumnya mampu mendapatkan ikan tenggiri sebanyak 40 ekor/hari namun adanya aktivitas pertambangan nelayan hanya mampu mendapatkan 1-2 ekor perhari. Begitupun semua jenis tangkapan lainnya seperti ikan lure, ikan katombo, ikan bui-bui, ikan laying, ikan sibula, ikan banyara hingga cumi-cumi mengalami penurunan.
Pengurangan hasil tangkapan tersebut berdampak terhadap perempuan Kodingareng baik secara materil maupun non materil. Perempuan harus berhutang untuk menutupi biaya hidup sehari-hari. Belum lagi konflik antar keluarga dan tetangga hingga dampak psikologis seperti meningkatnya kecemasan dan seringnya mimpi buruk.
Pada salah satu scene Film Dokumenter Panraki Pa’boya-Boyangang – Rusaknya Wilayah Tangkap Nelayan Pulau Kodingareng yang dibuat oleh Koalisi Save Spermonde, Sakia yang merupakan perempuan Kodingareng mengungkap jika aktivitas tambang pasir laut membuat perempuan resah. Keresahan yang juga sama dirasakan oleh perempuan lainnya sehingga ingin melibatkan diri untuk berjuang bersama.
Walaupun sejak 25 Oktober 2020 aktivitas tambang pasir laut telah berhenti, namun dampaknya masih terasa hingga saat ini. Sebagai informasi, aktivitas petambangan sewaktu-waktu akan kembali lantaran adanya alokasi ruang tambang pasir laut di perairan Spermonde yang terakomodir dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2019 Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Sulawesi Selatan.
Perempuan Kodingareng sadar bahwa perjuangan mereka tidak hanya berhenti ketika aktivitas tambang pasir laut juga dihentikan. Sehingga rentang waktu itu para perempuan Kodingareng secara berkala berkumpul, berdiskusi dan terus bersuara untuk menyuarakan perlindungan wilayah tangkap Pulau Kodingareng.
Perempuan yang sadar terkait ancaman itu lalu memutuskan untuk mengorganisasikan perjuangan mereka dalam sebuah wadah perjuangan yang sama. 8-9 Maret nanti mereka akan melangsungkan Kongres Perempuan Kodingareng yang pertama. Sebuah langkah dalam menguatkan para perempuan untuk menegaskan wilayah tangkapnya tidak boleh dirampas, melindungi hak-hak mereka!
Selamat berkongres!
Tulisan ini dibuat sebagai bentuk penghormatan para Pejuang Perempuan Kodingareng dalam mempertahankan ruang hidupnya dari industri ekstraktif tambang pasir laut.
Baca juga: Reklamasi Makassar New Port Menyengsarakan Nelayan, Aktivis Koalisi Save Spermonde Beraksi
Editor: J. F. Sofyan
Tanggapan