Perjuangan Masyarakat Kodingareng Merebut Kembali Wilayah Tangkapnya

Pulau Kodingareng Lompo, Kecamatan Sangkarrang Kelurahan Kodingareng adalah pulau yang terletak di arah selatan Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Kecamatan Sangkarrang adalah hasil pemekaran dari Kecamatan Ujung Tanah pada tahun 2018. 90% penduduknya berprofesi sebagai nelayan (Sumber: Walhi Sulawesi Selatan).

Kemudian kurang lebih 4.800 jiwa (Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Makassar, 2018) yang tinggal disana. Masyarakatnya diketahui sangatlah ramah. Pasir putih yang terbentang ke arah selatan (Gusung) menjadi salah satu daya tarik dipulau ini.

Kurang lebih 1 jam jarak yang ditempuh untuk mengungjungi pulau tersebut. Diketahui  gusung atau pantai pasir putihnya selalu ramai dikunjungi  pengunjung sebagai tempat berlibur, karena disana memiliki keindahan unik yang masih banyak orang-orang diluar Sulawesi Selatan yang belum mengetahui dan mengunjunginya

Pulau Kodingareng Lompo (Sumber: Walhi Sulawesi Selatan)
Pulau Kodingareng Lompo (Sumber: Walhi Sulawesi Selatan)

Hamparan pasir putih yang begitu memanjakan mata membuat pulau ini ramai dikunjungi, disana juga terdapat spot-spot foto yang keren dan bisa langsung menyaksikan sunrise dan sunset. Dan dikala air mulai surut di saat pasang seketika ia menghilang ditelan bumi.

Disana juga terdapat sebuah daratan yang tak kalah kerennya, masyarakat sering menyebutnya Karangan. Karangan ini masyarakat dan pengunjung biasa menjadikannya sebagai tempat wisata, apalagi sebelum memasuki bulan suci ramadhan, tempat ini ramai di kunjungi yang mereka menyebutnya “minggu ceria”.

Namun di tahun 2020 pulau ini mendadak jadi pembicaraan bahkan tak lepas dari pemberitaan media nasional bukan karena keindahan hamparan pasir putihnya melainkan  aktivitas tambang pasir laut yang berada di wilayah tangkap nelyan yang dilakukan oleh kapal Queen Of Netherlands.

13 Februari 2020 menjadi mala petaka bagi masyarakat Pulau Kodingareng, Hal itu disebabkan karena adanya aktivitas tambang pasir laut yang sedang beroperasi di wilayah tangkap nelayan yang mereka sebut (Copong). Aktivitas tambang tersebut dilakukan oleh kapal Queen Of The Netherlands asal Belanda milik PT. ROYAL BOSKALIS.

Kapal penambang pasir laut, Boskalis (Sumber: Kiara Indonesia)
Kapal penambang pasir laut, Boskalis (Sumber: Kiara Indonesia)

Aktivitas penambangan itu dilakukan karena untuk memenuhi kebutuhan pasir yang diperlukan untuk penimbungan (reklamasi) di Proyek Strategis Nasional  Makassar New Port (MNP). Aktivitas penambangan itu yang beroperasi kurang lebih delapan bulan menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat di Pulau Kodingareng, sebabnya seiring pada kejadian tersebut wabah virus corona masuk ke Indonesia.

Dampak dari penambangan tersebut mengakibatkan terumbu karang hancur, ikan-ikan lari, biota laut rusak, gelombang tinggi, kekeruhan air laut, mengurangi hasil tangkap nelayan bahkan tidak ada sama sekali.dan beberapa perahu nelayan (lepa-lepa) mengalami kerusakan saat hendak mencari ikan di copong akibat dari hantam ombak yang sangat besar.

Berbicara tentang dampak ekonomi yang terjadi saat itu sangatlah terasa pada tahun 2020 di masyarakat Pulau Kodingareng, yang dimana masyarakat dipulau itu rata-rata dikenal yang sebelumnya tidak ada aktivitas tambang pasir laut  penghasilannya lumayan sangat besar.

Salah satu dampak tambang pasir laut
Salah satu dampak tambang pasir laut

Kadang ada masyarakat di pulau ini menabung hasil dari pancingannya tersebut yang  berbentuk emas maupun arisan untuk kebutuhan musim hujan yang akan segera mendatang pada saat itu, namun di tahun kemarin sangatlah berbeda.

Dampak sosial juga timbul ditengah-tengah masyarakat, adanya perbedaan pendapat antara masyarakat disebakan oleh CSR yang dikeluarkan oleh perusahaan. Disamping itu pemerintah setempat yang dulunya mendukung aksi penolakan malah akhirnya di tengah jalan tidak mendukung masyarakaat yang menolak aksi penambangan tersebut. Aktivitas penambangan ini juga berdampak pada Pendidikan.

Pada perjuangannya, masyarakat di Pulau Kodingareng melindungi pulaunya agar terumbu karang dan biota laut lainnya tidak rusak akibat dari tambang pasir laut, aksi penolakan dilakukan secara terus menerus oleh nelayan, perempuan dan anak-anak.

Sebab jika terumbu karang di laut rusak menyebabkan panas bumi naik, krisis iklim, ikan-ikan lari, otamatis tidak ada penghasilan bagi nelayan di Pulau Kodingareng. Efek lingkungan yang paling parahnya menyebabkan Pulau Kodingareng akan krisis ke depannya, mungkin semakin panas kemudian gelombangnya semakin tahun semakin tinggi bahkan bukan hanya lingkungan tetapi mengancam nyawa penduduknya yang di pulau Kodingareng.

Aksi protes yang dilakukan di laut, dimana ibu-ibu dan anak-anak ikut membantu para nelayan  mengusir si boskalis. Mereka yang saat itu melakukan aksi penolakan tak peduli dengan panas teriknya matahari, hantaman ombak, serta waktu yang terbuang hanya untuk si penambang. Karena menurutnya ibunya adalah laut bagi mereka, dimana lautnya dan wilayah tangkapnya saat  ini sedang dirusak.

Aksi demonstrasi yang di lakukan di laut (Sumber: Walhi Sulawesi Selatan)

Aksi ini menyebabkan kriminalisasi dan intimidasi oleh aparat yang dimana seharusnya mengayomi dan melindungi masyarakat malah terjadi hal-hal yang diluar kendali. Beberapa nelayan dan aktivis dikriminalisasi dan diintimidasi, serta pada saat itu dilakukan teror ke masyarakat.

Kriminalisasi dan intimidasi yang dilakukan   oleh aparat kepada peserta aksi (Sumber: Kiara Indonesia)

Mereka juga mendatangi dan melakukan aksi protes di Rumah Jabatan Gubernur, Kantor Gubernur serta Kantor DPR Provinsi Sulawesi Selatan. Upaya merebut kembali hak mereka yang dirampas. Ratusan peserta aksi bermalam di depan Kantor Gubernur rela memalang jalanan dan melakukan sholawatan agar Gubernur Sulawesi Selatan terketuk hatinya untuk keluar sebentar menemui masyarakatnya yang sudah lama menunggu.

Bahkan diketahui beberapa peserta aksi dari dewasa sampai anak-anak kewalahan menunggu Gubernur Sulawesi Selatan datang menemuinya hingga jatuh pinsang dan sakit, namun hal itu tidak sama sekali dilirik oleh orang yang nomor satu di Sulawesi Selatan.

Pihak perusahan dan Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan tidak melirik aksi dan usaha yang dilakukan masyarat, hanya janji-janji palsu yang terlontar dari mulut mereka. Yang katanya pengerukan pasir dilakukan jaraknya  sudah sesuai dengan AMDAL-nya, serta pihak-pihak oligarki tersebut menyatakan sudah melakukan sosialisasi ke masyarakat, namun masyarakat tidak pernah ada satu pun yang ikut dan didatangi pada saat sosialisasi.

Hal tersebut yang membuat masyarakat sangat marah dan kecewa atas kepemimpinan yang dijalani Gubernur Sulawesi Selatan.

Aksi di Kantor DPR Provinsi Sulawesi Selatan

Usaha dan doa tak henti-hentinya dilakukan. Disamping menyuarakan aspirasinya. Masyarakat yang masih berjuang gigih melawan Boskalis diajak oleh beberapa organisasi yang ikut membantu, untuk melakukan pelatihan.  Pelatihan ini bertujuan agar fikiran masyarakat tidak kacau, menghilangkan rasa takut akibat kriminalisasi, intimidasi dan teror yang terjadi, dan tetap digaris perjuangan yang sama, serta menambah wawasan bagi perempuan dan nelayan .

Masyarakat juga diajak berdikusi secara face to face maupun via online oleh beberapa organisasi yang ikut membantu perjuangan mereka. Terkadang diskusi yang mereka lakukan membuat perempuan nelayan sedih memikirkan masa depan anak dan cucu mereka.

Disisi lainnya masyarakat masih terus menuntut kerugian kepada perusahan dan Duta Besar Belanda atas apa yang mereka derita selama ini. Tak hanya itu, sampai saat ini masyarakat disana juga menginginkan perda RZWP3K-nya di revisi dan di cabut agar tidak ada lagi izin-izin penambanngan yang merusak laut, lingkungan dan wilayah tangkap nelayan.

Beberapa perempuan nelayan meminta perda RZWP3K di revisi dan di cabut

 Menariknya masyarat dan nelayan juga dibekali dengan menggambar peta wilayah tangkapnya sendiri. Dan beberapa juga diantaranya dibentuk aliansi khusus nelayan.

Kegiatan meggambar peta wilayah tangkap

Ada juga dibeberapa kelompok perempuan membuat Produk kelola usaha ekonomi diantaranya abon-abon ikan tongkol khas Pulau Kodingareng, cao (makanan tradisonal Pulau Kodingareng semacam sardines) dan ikan teri kacang. Ini bertujuan untuk mengurangi beban ekonomi, asap dapur mereka dan biaya perjuangan masyarakat.

Salah satu Produk Kelola Usaha Ekonomi                     

Hingga saat ini masyarakat masih berjuang mempertahankan wilayah tangkap nelayan (Copong) dan tetap menolak adanya penambangan pasir laut untuk keberlangsungan hidup dan menjaga ekosistem laut.

Dengan harapan di musim timur ini nelayan bisa kembali mencari ikan dan kehidupan tetap berjalan normal, sebab selama perda RZWP3K belum di cabut maka selama itu pula kehidupan masyarakat menurun dan ancaman ekologis menjadi bahaya nyata dikemudian hari.

Mari perkuat simpul solidaritas dan bantu masyarakat Kodingareng agar tidak berjuang sendirian !

Editor : Annisa Dian Ndari

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan