Gurita Raksasa Mengepung Kantor Gubernur Sulawesi Selatan

kodingareng, sulawesi selatan

Gurita raksasa yang menjadi simbol oligarki pada Rabu, 5 Oktober 2022 mengepung Kantor Gubernur Sulawesi Selatan. Gurita raksasa memberikan pesan bahwa di Sulawesi Selatan tidak lepas dari banyaknya kesepakatan politik dan bisnis yang mencengkram serta menggerogoti sumber daya alam, lingkungan hidup, dan penghidupan masyarakat. Salah satunya yakni sumber daya alam pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.

Monster gurita raksasa ini menjadi simbol atau wajah kekuasaan pemerintah dan korporasi saat ini yang telah mencengkram dan menguasai sendi-sendi penghidupan masyarakat.

Tidak hanya itu, monster ini juga membawa pesan kemerosotan (degradasi) lingkungan hidup dan sumber daya alam di Indonesia yang diakibatkan oleh sejumlah aturan yang dilegalisasi oleh pemerintah, menguntungkan korporasi, dan memiskinkan masyarakat.

Di Sulawesi Selatan, terdapat 9 proyek infrastruktur yang masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) dan salah satunya merupakan mega proyek pembangunan pelabuhan bertaraf internasional, Makassar New Port (MNP). Proyek ini mulai masuk dalam skema program PSN sejak tahun 2016 dan mulai diresmikan pada tahun 2018.

Saat ini, progres reklamasi Makassar New Port baru selesai pada tahap 1A, 1B (Pembangunan konstruksi), dan 1C (pembangunan konstruksi). Berdasarkan master plan yang dikeluarkan oleh PT Pelindo IV menunjukkan bahwa ada tiga tahap reklamasi Makassar New Port yakni tahap 1 (A, B, C, dan D), tahap 2, dan tahap 3 (fase ultimate) dengan luasan total 1.428 Ha. Artinya, proyek ini kedepannya masih membutuhkan material pasir laut dan konflik ruang antar nelayan dengan pemerintah dan korporasi akan kembali terjadi.

Perempuan Kodingareng melakukan aksi di kantor Gubernur Sulawesi Selatan. / Foto: Istimewa

Tahun 2020 kemarin, publik masih mengingat bagaimana perjuangan dan penderitaan yang dialami oleh nelayan dan perempuan di Kepulauan Spermonde, khususnya Pulau Kodingareng akibat aktivitas tambang pasir laut untuk keperluan reklamasi MNP.

Hal ini terjadi dikarenakan wilayah tangkap nelayan Spermonde ditetapkan dan dilegalisasi sebagai wilayah tambang pasir laut berdasarkan peraturan daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) tahun 2019 dan kemudian tahun ini telah diintegrasikan ke dalam peraturan daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2022-2041.

Selama tambang pasir laut berlangsung, nelayan dan perempuan Pulau Kodingareng mengalami penderitaan sosial-ekonomi dan wilayah tangkap nelayan rusak parah, seperti pendapatan nelayan menurun drastis hampir 90%, perubahan arus dan kedalaman laut, air laut menjadi keruh, terumbu karang rusak dan mengalami pemutihan (bleaching) akibat sedimentasi tambang pasir laut, utang semakin menumpuk akibat pendapatan tidak ada, banyak perempuan yang menggadaikan emasnya untuk bertahan hidup, beberapa nelayan memilih untuk meninggalkan pulaunya untuk mencari penghidupan, banyak anak sekolah yang harus putus sekolah, dan Banjir rob semakin mengancam.

Bahkan dua tahun pasca tambang pasir laut, dampak-dampak tersebut masih dirasakan oleh nelayan dan perempuan Pulau Kodingareng. Kondisi ini disampaikan langsung oleh Ibu Sita, salah seorang istri nelayan yang menjelaskan bahwa dua tahun pasca penambangan pasir laut, perekonomian keluarga nelayan di Pulau Kodingareng belum pulih.

“Bagaimana mau pulih perekonomian disini (Pulau Kodingareng) kalau terumbu karangnya sudah rusak karena tambang pasir laut, ikan-ikan sudah pindah tempat. Bahkan Copong (terminalnya ikan menurut para nelayan) itu sudah tidak sama seperti dahulu lagi. Ombaknya juga sudah semakin tinggi. Akibatnya, banyak sekarang keluarga nelayan di pulau sudah tinggalkan pulau untuk cari pekerjaan lain,” ujar Ibu Sita.

Oligarki Untung, Perempuan Nelayan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Buntung !

Perempuan Kodingareng melakukan aksi di kantor Gubernur Sulawesi Selatan. / Foto: Istimewa

Saat nelayan perempuan pesisir dan pulau-pulau kecil mengalami dampak sosial-lingkungan akibat aktivitas tambang pasir laut dan reklamasi MNP, di waktu yang bersamaan kelompok oligarki menikmati keuntungan dari proyek tersebut.

Tercatat pada bulan September 2020, Koalisi Selamatkan Laut Indonesia merilis hasil investigasi kelompok oligarki dibalik proyek tambang pasir laut.

Setelah menelusuri sejumlah dokumen dari Ditjen AHU Kemenkumham RI dan akta perusahaan yang tercantum di dokumen AMDAL, dari total 12 izin usaha pertambangan yang beroperasi di perairan Takalar, dua di antaranya adalah PT Banteng Laut Indonesia dan PT Nugraha Indonesia Timur.

Dua perusahaan ini tercatat dimiliki oleh orang-orang dekat gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah.

Tidak hanya aktivitas tambang pasir laut, Koalisi Save Spermonde juga telah menemukan sejumlah korporasi besar dan nama-nama yang diduga kuat memiliki hubungan dekat dengan para pengambil kebijakan di balik pembangunan reklamasi dan jalan tol MNP.

Sehubungan dengan hal tersebut, Kepala Departemen Advokasi dan Kajian WALHI Sulsel, Slamet Riadi mengungkapkan bahwa awal mula merosotnya penghidupan nelayan perempuan pesisir dan pulau-pulau kecil saat adanya aktivitas tambang pasir laut dan reklamasi CPI pada tahun 2017.

Press Release Perempuan Kodingareng Lawan Oligarki

“Sekarang, melalui rancangan Perda RZWP3K Sulsel yang kini terintegrasi dengan RTRW Sulawesi Selatan tahun 2022-2041, praktik tambang pasir laut dan reklamasi MNP semakin mengancam penghidupan masyarakat dan ekosistem pesisir pulau-pulau kecil Sulawesi Selatan. Bahkan hal tersebut dilegalisasi melalui produk perundang-undangan yang tentu saja menguntungkan para oligarki,” ujar Slamet Riadi.

Anggota Koalisi Save Spermonde, Greenpeace Indonesia menyebut praktik pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang terjadi saat ini, hanya fokus pada kepentingan segelintir orang.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah mengatakan, dampak yang terjadi akibat praktik pembangunan serampangan ini tak hanya merusak daratan tapi juga lautan. Yang paling terdampak tentu saja masyarakat kecil utamanya perempuan.

“Dan ini tidak hanya terjadi di Kodingareng tapi juga banyak daerah lain. Sudah banyak contoh nyata bagaimana oligarki menghancurkan kehidupan masyarakat kecil hanya demi kepentingan segelintir golongan saja,” ujar Afdillah.

Aksi ini sekaligus peringatan hari anti oligarki yang merupakan respon keras dari perempuan nelayan Pulau Kodingareng yang merasakan dampak langsung dari aktivitas tambang pasir laut di wilayah tangkap nelayan untuk keperluan mega proyek Makassar New Port.

Sikap dan Tuntutan

1. Presiden Republik Indonesia Cq Gubernur Sulawesi Selatan Cq Walikota Makassar agar menghentikan pembangunan Makassar New Port dan tambang pasir laut yang berada di wilayah tangkap nelayan.

2. Gubernur Sulawesi Selatan Cq DPRD Provinsi Sulawesi Selatan agar merevisi RTRW Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2022-2041 yang melegalisasi zona tambang pasir laut dan reklamasi di Sulawesi Selatan.

3. PT Pelindo IV harus bertanggung jawab atas kemiskinan dan kerusakan yang terjadi di wilayah tangkap nelayan.

4. PT Boskalis, perusahaan asal Belanda, sebagai mitra PT Pelindo IV harus bertanggung jawab untuk mengembalikan dan memulihkan wilayah tangkap nelayan agar masyarakat dapat bisa melaut seperti sedia kala.***

Baca juga: Perjuangan Masyarakat Kodingareng Merebut Kembali Wilayah Tangkapnya

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan