Tuntut Hentikan Tambang Pasir Laut yang Sebabkan Kerugian Nelayan Kodingareng Makassar Mencapai 84 Miliar

Wilayah tangkap nelayan pulau Kodingareng Makassar Sulsel tergambarkan rusak akibat tambang pasir laut melalui sebuah film yang diluncurkan Koalisi Save Spermonde bertepatan dengan hari oligarki 2021 yang berjudul ‘Panraki Pa’Boya-Boyangang’ pada Selasa, 5 Oktober 2021.

Dalam film tersebut diceritakan bahwa wilayah tangkap nelayan pulau Kodingareng Makassar Sulawesi Selatan rusak dikarenakan berbenturan dengan area tambang pasir laut sebagai penyuplai kebutuhan pasir proyek strategis nasional dalam kepentingan oligarki nasional.

Tidak hanya kepentingan oligarki nasional bahkan proyek tambang pasir laut yang telah membuat rusak wilayah tangkap nelayan pulau Kodingareng Makassar Sulsel juga merupakan kepentingan oligarki lokal atau di tingkat daerah.

Praktik tambang pasir laut yang telah beroperasi sejak setahun yang lalu juga sebagai buntut dari Omnibus Law Cipta Kerja yang memberi karpet merah pada perusak lingkungan yang memuluskan dalam dokumen perizinan eksploitasi dan pelemahan dalam perlindungan lingkungan.

Pada sesi diskusi setelah peluncuran film, M. Al Amin menuturkan “Kepentingan oligarki lokal adalah menjadi penyuplai atau pengada pasir bagi pembangunan Pelindo yang nilainya 128 miliar per perusahaan dalam satu kali proyek,”.

Proyek tambang pasir laut yang berada di wilayah tangkap nelayan merupakan kegiatan pendukung pembangunan proyek strategis nasional Makassar New Port. Sumber material untuk reklamasi Makassar New Port berada di blok spermonde, yang telah diatur dalam Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Sulawesi Selatan.

©Medina Basaib

Fakta-fakta bahwa wilayah tangkap nelayan pulau Kodingareng Makassar Sulsel rusak diperkuat dengan kajian yang dilakukan Koalisi Save Spermonde. Kajian tersebut sebagai respon pernyataan bahwasanya aktivitas tambang tidak berdampak pada nelayan. Hasil kajian membuktikan bahwa daya rusak tambang pasir laut terhadap wilayah tangkap nelayan begitu drastis.

Nilai kerugian dari mulai nelayan pancing, bagan, dan yang lainnnya mencapai total 84 Miliar selama 527 hari Boskalis beroprasi menurut Walhi Sulsel. Koalisi Save Spermonde juga melakukan penyelaman untuk melakukan pengamatan dampak dari aktivitas tambang pasir laut.

Hasil penyelaman pengamatan menyimpulkan bahwa kondisi bawah laut telah terjadi perubahan kerusakan pasca penambangan hingga perubahan kedalaman. Perubahan kedalaman berpengaruh kepada ombak yang semakin tinggi sehingga resiko nelayan tinggi.

Kemudian ditemukan juga ada kerusakan di Copong Lompo (wilayah tangkapan ikan).

Walhi Sulse menjelaskan materi dalam sesi diskusi peluncuran film

Walhi Sulsel, M Al Amin menuntut beberapa tuntutan diantaranya:

  1. Menuntut Pelindo bertanggungjawab terhadap kemiskinan nelayan,
  2. Menuntut PT Boskalis bertanggungjawab mengembalikan dan memulihkan agar nelayan kembali normal,
  3. Menuntut pemerintah provinsi berani mencabut izin tambang yang ada di wilayah tangkap nelayan,
  4. Menuntut pemerintah mengihangkan zona tambang pasir laut di wilayah tangkapan.

Perjuangan Perempuan Pulau Kodingareng

Siti Aisyah, sosok perempuan pulau Kodingareng dalam sesi diskusi setelah peluncuran film menyampaikan perjuangannnya melawan pertambangan pasir.

Menurut Siti Aisyah, yang paling terkena dampak adalah perempuan yang ada di Kodingareng, maka dirinnya harus melawan. Ia merasa aktivitas tambang pasir mengganggu wilayah tangkap ikan Kodingareng karena mayoritas masyarakat disana adalan nelayan.

Selain itu, menurutnya banyak sekali dampak negatif, mulai dari hubungan antar tetangga yang terpecah belah, ekonomi mennurun drastis, kesehatan serta psikologi juga sangat terganggu, banyak nelayan yang utangnnya semakin tinggi, hingga hasil tangkapan menurun.

Ia dan warga yang melakukan perlawanan sudah meminta tolong kepada pemerintah namun tidak mendapatkan hasil. Ia berharap semoga dengan adanya dan peluncuran film tersebut ia dan warga tetap kompak serta berharap dicabutnya zona tambang di wilayah tangkap tersebut.

Saksikan film lengkapnya :

Baca juga: Begini Dampak Tambang Pasir Laut dan Makassar New Port bagi Orang Kodingareng

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan