Pembangunan Berbasis Hak

Meski ideologi “kiri” dan “kanan” bisa saling membelakangi soal model pembangunan (infrastruktur) yang cocok untuk zaman, namun keduanya sepakat bahwa akar dari semua masalah sosial adalah pembangunan.

Ideologi “kanan” lebih menekankan pada modernisasi dan industrialisasi sebagai jalan kemajuan umat manusia. Artinya, yang dibicarakan fokus pada masalah sosial dan ekonomi-politik. Beda dengan pengkritiknya dari belakang, “kiri”, bahwa pembangunan tidak hanya menyebabkan ketimpangan sosial, namun juga merusak lingkungan.

Jadi perspektif ideologi “kiri” lebih jauh bicara tentang dampak pembangunan pada kondisi sosial, ekonomi-politik, dan lingkungan.

Meskipun dari “kanan” bisa membela bahwa modernisasi dan industrialisasi sekarang lebih peka terhadap isu lingkungan dengan topik keberlanjutan (sustainable development) dan produk ramah lingkungan.

Namun sama saja: tetap berupaya agar kapital terus menjadi tak terhingga. Lalu inilah kontradiksi yang dijelaskan oleh ahli ekonomi ekologis, Herman Daly, yang disebutnya sebagai “Teorema Ketidakmungkinan”: pertumbuhan ekonomi tidak mungkin bisa tumbuh secara tak terbatas dalam lingkungan hidup yang terbatas.

Ini juga merupakan asumsi teoritik Essay on Population yang ditulis oleh ekonom Inggris Robert Malthus: sumber daya alam tidak mampu mengimbangi pertumbuhan populasi manusia yang terus meningkat.

Di sisi lain, paradigma developmentalisme, dengan semangat neo-liberal di belakangnya, selain memperkecil luas lingkungan hidup hijau juga mempersempit lingkungan kerja manusia, bahkan mengambil tanah tempat manusia mendirikan rumah.

Ini tergambar dari model pembangunan dalam kota, terutama konsep kota tepi air (waterfront city). Selain ruang laut yang diambil, juga wilayah pesisir yang menjadi pemukiman warga, baik rumah maupun tempat mencari nafkah.

Beberapa kota besar di Indonesia berada di tepi laut. Misalnya Jakarta, Makasar, atau Manado (kebetulan saya tinggal di Manado). Karena kota terus mendorong pertumbuhan ekonomi, dan ruang kota tidak cukup luas, malah terus mengecil dengan masifnya urbanisasi, maka untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dibutuhkan ruang-ruang baru untuk memperlebar sirkuit capital (baca Lefebvre: Produksi Ruang).

Ruang baru ini hanya ada dua kemungkinan; memperkecil wilayah pemukiman, terutama di pesisir, artinya warga akan terusir (urban sprawl), atau menimbun laut, artinya direklamasi. Dan kedua metode ini sering dipakai secara bersamaan.

Pemukiman pinggir pantai Boulevard II Kota Manado. / Foto: Manado Pictures

Dalam tulisan ini saya ingin fokus pada dorongan pembangunan kota, yang utamanya kawasan kota yang berada di tepi laut, menyebabkan dirampasnya dua hak yang berkaitan dengan pesisir dan laut.

Pertama, hak masyarakat yang tinggal, baik itu hak untuk tetap tinggal di rumah yang telah menjadi sejarah hidupnya, hak untuk tetap dekat dengan akses mencari nafkah (misalnya nelayan), maupun hak untuk menikmati kebahagiaan menghadap laut.

Kedua, hak yang dirampas adalah ekosistem laut sebagai kehidupan dan penyangga kehidupan.

Di poin pertama, pembangunan wilayah pesisir harus memperhatikan hak masyarakat yang tinggal di pesisir, terutama dia yang berprofesi sebagai nelayan, atau yang menggantungkan ekonomi hidupnya di sekitar wilayah pesisir.

Hak masyarakat yang tinggal merupakan hak sejarahnya, hak memorinya sebagai pribadi yang terbentuk dari lingkungan rumahnya.

Hak yang lain adalah hak untuk menikmati kebahagiaan tinggal di wilayah pesisir yang berhadapan langsung dengan laut.

Hak ekonomi adalah aksesibilitas ke tempat kerja, apalagi jika seorang nelayan. Jika terusir dari wilayah pesisir, laut menjadi jauh, perahu tidak terkontrol, dan hidup dalam kecemasan profesi.

Hak asasi manusia di sini adalah segala yang berkaitan dengan cara dia hidup dan menikmati kehidupan dengan aman dari rasa cemas.

Pelabuhan Kota Manado. / Foto: id.pinters.com

Kita tahu bahwa dorongan pembangunan kawasan kota di tepi laut hanya akan membuat kota ramah terhadap pembelanja namun tidak perlu ramah dengan masyarakat sekitar yang menggantungkan hidupnya sehari-hari di laut, bahwa kota bukan tempat bermukim, kota adalah tambang ekonomi pemerintah.

Masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir jika dihadapkan dengan program pemerintah, program oligarkis, harus mengalah karena pemerintah bersembunyi di balik wacana “demi kepentingan publik”.

Pada poin kedua, laut mempunyai ekosistem yang di dalamnya ada kehidupan dan sumber kehidupan. Di laut ada kehidupan yang membuat siklus kehidupan berjalan stabil menjaga alam, termasuk manusia.

Laut sama pentingnya karena ada kehidupan di dalamnya tidak hanya kehidupan manusia melainkan juga kehidupan makhluk hidup pada umumnya yang harus dihormati haknya dan dijaga kelestariannya.

Dari penjelasan di atas, poinnya: model pembangunan haruslah berbasis hak asasi (right bassed approach).

Pembangunan berbasis hak asasi artinya pembangunan yang partisipatif dan berciri keberlanjutan. Melibatkan masyarakat dan memperhitungkan lingkungan yang menjadi basis kehidupannya.

Inilah yang perlu didorong, bukannya pembangunan top down yang jelas teknokratis dan meminggirkan hak asasi, manusia maupun lingkungan, yang menjadi tujuan pembangunan.

Pendekatan berbasis hak asasi adalah sebuah kerangka kerja konseptual untuk proses perencanaan pembangunan, terutama pembangunan dalam kota yang berada di tepi laut.***

Baca juga: Hak Asasi Terabaikan? Bagaimana dengan Suara Rakyat Masalembu yang Terabaikan?

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan