Hak Asasi Terabaikan? Bagaimana dengan Suara Rakyat Masalembu yang Terabaikan?

Tahukah kalian tentang salah satu Pulau Masalembu yang berada di Provinsi Jawa Timur?

Pulau Masalembu merupakan salah satu pulau terpencil di Indonesia, tepatnya di Kabupaten Sumenep Provinsi Jawa Timur.

Tidak banyak yang tahu tentang pulau kecil ini, karena selain pulaunya yang kecil, minimnya transportasi yang masih menggunakan transportasi kapal dari Pelabuhan Surabaya (Perak) ke Masalembu yang biasa ditempuh sekitar 16-18 jam atau dari Pelabuhan Kalianget ke Masalembu ditempuh dengan 14-16 jam.

Terlalu banyak isu yang terjadi di Pulau Masalembu terutama tentang fasilitas yang kurang memadai, tempat sampah yang belum disediakan, jaringan yang masih 2G, dan juga lampu PLTD yang udah hampir  2 tahun mengalami pemadaman.

Lantas di mana keadilan bagi masyarakat terpencil seperti mereka? Pernahkah kalian merasakan berada di posisi mereka?

Menjadi masyarakat yang tidak memiliki hak suara yang biasanya kita lakukan untuk membela kebenaran, tetapi di sini terlalu banyak hak asasi manusia yang tidak lagi diperjuangkan.

Padahal yang kita ketahui, setiap individu di Indonesia memiliki hak asasi dan kebebasan bersuara untuk berpendapat tanpa ada batas cela.

Banyaknya masyarakat di Pulau Masalembu memproduksi sampah yang akan terus bertambah setiap harinya, entah itu sampah organik ataupun sampah non anorganik.

Tempat pembuangan sampah masyarakat Pulau Masalembu yaitu pesisir atau pinggir laut atau kadang dilautnya, dimana hal itu bisa membahayakan ekosistem terumbu karang dan mencemari lingkungan.

Seperti halnya sampah plastik yang tidak mudah terurai akan dibawah ke laut lalu dikembalikan lagi ke pesisir sehingga sampah itu menumpuk di pinggir pantai.

Meskipun di pinggir pantai sudah disediakan tempat sampah dan sampahnya dibakar, tapi tidak mencukupi karena sampah yang dibakar tidak ikut terbakar semuanya melainkan hanya beberapa dari sekian banyaknya sampah tersebut.

Sampah yang hanyut oleh air ke tengah laut akan dimakan oleh biota laut dan jika sampah plastic yang dimakannya akan berbahaya pada ikan ataupun manusia yang mengonsumsinya.

Jika di perkotaan ada pengangkutan sampah, dan jika di daerah lain dibakar di halaman belakang rumah mereka, lantas dimanakah rakyat Masalembu harus membuang sampah tersebut agar tidak membahayakan biotanya ataupun lautnya?

Selain tempat sampah yang kurang memadai, sisi Pendidikan yang masih tergolong rendah dikarenakan minimnya fasilitas berupa koneksi internet yang tidak memadai dan juga lampu PLTD yang masih padam.

Bagaimana mereka bisa belajar jika tidak ada penerangan di malam harinya, padahal mereka benar-benar butuh lampu tersebut. Bukan hanya untuk sekolah melainkan juga untuk mengaji, dimana mereka mengaji dari jam 17.00-19.00 dan jam 04.30-05.30 yang otomatis membutuhkan cahaya lampu dan darimana mereka mendapatkan cahaya jika lampunya saja tidak nyala.

Bayangkan saja pada saat Covid-19 melanda, mereka harus belajar online, tapi mereka tidak memiliki koneksi internet yang memadai yang ada hanya wifi di warung, apakah tidak berbahaya bagi mereka berkerumun hanya demi belajar, padahal pemerintah menyuruh untuk jaga jarak? Bagaimana mereka beajar dengan baik, jika fasilitas kecil saja belum memenuhi.

Sehingga pada akhirnya mereka tidak ada istilah belajar melainkan mereka bermain atau menggunakan waktu kosong tersebut untuk mancing, berenang, dsb.

Sekolah online tidak memadai atau tidak efisien bagi anak-anak Pulau Masalembu, karena koneksi internet yang benar-bbenar tidak memadai, bagaimana mereka harus belajar dengan tenang apabila mereka tidak tahu apa yang mereka akan pelajari!

Salah satu contoh kurang tegasnya peraturan yaitu masih ada masyarakat luar yang datang untuk mencari ikan di Pulau Masalembu dengan cara yang salah seperti ppenggunaan boma tau alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.

Padahal yang kita ketahui biota akan tercemar dengan adanya sampah, melainkan juga biota terancam dengan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Bagaimana cara mereka melindungi lautnya, jika perundang-undangan yang ditetapkan saja belum sepenuhnya ditegakkan melainkan kadang diabaikan.***

Baca selengkapnya: Laut Desa Lumpur, Cantik sih, tapi kok

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan