Catatan Lautan Tahun 2022 Bagian 2: Pulau-Pulau Kecil, Ruang Hidup Masyarakat Lokal, dan Keanekaragaman Hayati Laut
Indonesia sebagai negara lautan tentu tidak bisa dilepaskan dari keberadaan pulau-pulau kecil yang tersebar. Ribuan pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia merupakan ruang tumbuh dari keanekaragaman hayati laut sekaligus menjadi ruang hidup masyarakat pesisir.
Tahun 2022 kami mencatat ada berbagai persoalan yang mengancam kelestarian pulau-pulau kecil, mulai dari pulau-pulau kecil yang secara geografis terletak dekat ibu kota Jakarta hingga pulau kecil yang berada di garis terluar negara Indonesia.
Pulau Tunda, Ruang Hidup Masyarakat yang Tertinggal dan Keanekaragaman Hayati yang Terancam
Relawan dan aktivis Greenpeace Indonesia dalam unit Ocean Defender Indonesia pada tahun 2022 ini sempat megunjungi Pulau Tunda, Serang, Banten yang letaknya tidak jauh dari pusat pemerintahan negara yaitu Jakarta.
Tim menyaksikan berbagai ancaman terhadap pulau kecil ini. Kerusakan ekosistem laut secara signifikan, mulai dari pesisir, mangrove, lamun dan terumbu karang yang merupakan efek dari krisis iklim terlihat di sini.
Persoalan pengelolaan sampah dan berserakannya sampah plastik yang tentu saja sulit terurai di atas pulau dan bawah laut pulau ini.
Tidak hanya itu, masalah sosial dan kesejahteraan juga menjadi masalah yang tidak luput dari perhatian untuk pulau ini. Fasilitas dasar seperti akses listrik, akses internet hingga pendidikan untuk masyarakat lokal di sini merupakan isu penting yang patut diperhatian para pemimpin.
Kepulauan Widi, Maluku Utara Dilelang Kepada Investor
Tahun 2022 ini temuan mengejutkan datang dari Kepulauan Widi yakni Kepulauan Widi muncul di situs lelang elit Sotheby’s Concierge Auction atau Balai Lelang Sotheby’s New York. Sontak peristiwa ini ramai mendapat sorotan dari publik.
Pemerintah Indonesia telah melakukan kelalaian koordinasi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Pihak Pengembang.
Hal ini membuktikan bahwa pemerintah Indonesia condong menggunakan model pemanfaatan kepada penyerahan penuh (privatisasi) pulau-pulau kecil terhadap korporasi namun abai terhadap pemberdayaan masyarakat lokal yang ada.
Model pembangunan demikian tentu menjadi pertanyaan besar bagi kita, karena fakta dan sejarah yang tercatat bahwa model pemanfaatan secara besar-besaran telah dominan merusak laut dan keuntungan ekonomi yang tidak adil bagi masyarakat lokal.
Konflik Masyarakat Pulau Sangihe dengan Perusahaan Tambang Emas
Tidaklah mudah bagi warga Pulau Sangihe memperjuangkan ruang hidupnya sesuai janji Pasal 28.H ayat (1) UUD 1945. Hingga tahun 2022 ini mereka tetap berjuang dengan tidak memilih jalur perang fisik tetapi melalui perang argumen hukum di Pengadilan dengan menggugat Izin Operasi Produksi PT Tambang Mas Sangihe di PTUN Jakarta.
Sekarang, perkara Izin Operasi Produksi dan perkara Izin Lingkungan secara bersamaan memasuki tahap kasasi di Mahkamah Agung. Ke-Agung-an dan kemuliaan lembaga ini menjadi tumpuan dari harapan terakhir Warga Pulau Sangihe sebagai Pencari Keadilan.
Masyarakat Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan Masih Berjuang untuk Keadilan Lingkungan
Tahun 2020 kemarin, publik masih mengingat bagaimana perjuangan dan penderitaan yang dialami oleh nelayan dan perempuan di Kepulauan Spermonde, khususnya Pulau Kodingareng akibat aktivitas tambang pasir laut untuk keperluan reklamasi MNP.
Hal ini terjadi dikarenakan wilayah tangkap nelayan Spermonde ditetapkan dan dilegalisasi sebagai wilayah tambang pasir laut berdasarkan peraturan daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) tahun 2019 dan kemudian tahun ini telah diintegrasikan ke dalam peraturan daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2022-2041.
Selama tambang pasir laut berlangsung, nelayan dan perempuan Pulau Kodingareng mengalami penderitaan sosial-ekonomi dan wilayah tangkap nelayan rusak parah, seperti pendapatan nelayan menurun drastis hampir 90%.
Utang semakin menumpuk akibat pendapatan tidak ada, banyak perempuan yang menggadaikan emasnya untuk bertahan hidup, beberapa nelayan memilih untuk meninggalkan pulaunya untuk mencari penghidupan, banyak anak sekolah yang harus putus sekolah, dan Banjir rob semakin mengancam.
Perubahan arus dan kedalaman laut, air laut menjadi keruh, terumbu karang rusak dan mengalami pemutihan (bleaching) akibat sedimentasi tambang pasir laut.
Hingga pada Oktober 2022 lalu, koalisi Save Spermonde bersama masyarakat nelayan khususnya perempuan melakukan unjuk rasa sekaligus peringatan hari anti oligarki di kantor Gubernur Sulawesi Selatan yang merupakan respon keras dari perempuan nelayan Pulau Kodingareng yang merasakan dampak langsung dari aktivitas tambang pasir laut di wilayah tangkap nelayan untuk keperluan mega proyek Makassar New Port.
Semangat untuk Perjuangan Hingga Keadilan Tiba!
Kawan-kawan, catatan lautan tahun 2022 yang telah diuraikan hanya merupakan segelintir catatan dari berbagai persoalan yang megancam kesehatan laut, kesejahteraan dan kesetaraan umat manusia di planet biru ini.
Di mana pun Anda berada di planet biru yang besar ini, siapa pun Anda dan bagaimanapun Anda menjalani hidup, satu kebenaran bersifat universal yang harus selalu kita ingat: Bumi adalah rumah, dan itu milik kita semua.
Saat 2022 hampir berakhir dan 2023 mulai terlihat, mari tetap hargai hal-hal penting.
Untuk tantangan ke depan: keberanian. Untuk perjuangan di dalam: kedamaian.
Dan untuk kita semua yang memimpikan, mendambakan, dan berjuang untuk masa depan yang lebih hijau, lebih damai, dan lebih adil untuk semua.***
Tanggapan