Secuil Cerita Kehidupan Nelayan di Sekitar Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong
Pemandangan pantai nampak mewarnai sepanjang jalan ini. Kapal bersandar turut menjadi gradasi. Ya, inilah Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong. Pelabuhan ini lahir sejak Pemerintah Hindia-Belanda.
Saat itu tempat ini menjadi tempat nelayan Brondong untuk mendarat. Tahun 1936 tempat ini menjadi tempat wisata yaitu tenggelamnya Kapal Van Der Wijck milik perusahaan Koninklijke Paketvaart Maatschappij Amsterdam.
Dalam perkembangannya pada tahun 1987 secara resmi Pelabuhan Brondong menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kelautan dan Perikanan. Lokasinya berada di Kelurahan Brondong, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan seluas 4333,304 ha yang terdiri dari wilayah kerja daratan seluas 19,93 ha dan wilayah kerja perairan seluas 23,40 ha.
Saat ini di sekitar PPN Brondong sedang berlangsung pekerjaan pembangunan breakwater (bangunan pemecah ombak) yang di bangun oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo.
Breakwater ini nantinya sangat bermanfaat untuk nelayan karena bisa menjaga tinggi gelombang yang berada di dalam kolam pelabuhan tetap tenang, sehingga aktifitas nelayan saat bongkar muat dapat berjalan dengan tenang. Untuk masuk ke kawasan PPN Brondong harus tertib, ada portal pos satpam yang menjaga di pintu masuk dan keluar.
Beruntungnya hari itu, karena saya berkesempatan untuk mengobrol dengan Nelayan yang ada disini. Mereka bercerita tentang waktu melaut yang tidak menentu berangkatnya yang menyesuaikan situasi. “Melaut itu bisa satu minggu, 2 minggu atau 20 hari”. Betapa kagetnya ternyata melaut itu tidak cukup satu hari atau satu malam. “Hah? lama sekali” dalam hati saya berpikir bagaimana jika hujan dan lain-lain.
Dalam satu kapal terdiri dari banyak tim dari mulai nahkoda dan nelayan. Mereka sudah membawa banyak perbekalan seperti alat pancing yang beraneka jenis (Rawai, Tonda, Huhate, Usep, Jegog, Mungsing, Onawa, Tombonawa dan masih banyak lagi) tak lupa bekal es batu yg banyak untuk membawa ikan. Bekal makanan, alat mandi dan kebutuhan sehari-hari juga lengkap untuk hidup selama beberapa hari di laut.
Kapal Nelayan mulai bersandar di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) sekitar pukul 04.00. Saat adzan berkumandang aktivitas bongkar muat dimulai. Para Nelayan mengeluarkan ikan-ikan hasil tangkapannya ke daratan. Disitu sudah banyak kumpulan ibu-ibu yang siap melakukan pengecekan kualitas ikan.
Ikan-ikan yang dihasilkan di kawasan ini segar-segar sekali diantaranya adalah ikan Biji Nangka, Kapas-kapas, Kuniran, Kurisi, Swanggi, Kakap Merah, Kerapu, Kwee, Remang, Manyung, Cumi-cumi, Udang dan lain-lain.
Ikan-ikan yang sudah dipilah kemudian dijual kepada penjual yang ada di dalam TPI. Ada yang dijual untuk warga sekitar, dijual secara lokal ke luar kabupaten atau kota dan ada juga yang dijual sampai keluar negeri seperti Malaysia, Singapore dan Eropa.
Kapal Nelayan yang bersandar di lokasi ini tidak hanya nelayan lokal namun juga dari daerah lain. Hari itu kami juga berkesempatan bertemu dengan Pak Ucok, Staff PPN Brondong yang sedang jaga piket di TPI ini.
Pak Ucok bercerita bahwa setiap daerah memiliki ciri khas masing-masing seperti di Brondong ini yang ada budaya memilih ikan setelah kapal bersandar, sementara di daerah lain ada nelayan yang langsung memilih-milih ikan di atas kapal.
Menutup tulisan ini, betapa bersyukurnya menjadi warga negara Indonesia yang memiliki kekayaan alam berupa ikan yang luar biasa. Semoga kawasan ini terus hidup sehingga bisa sejahtera, sehat selamat dan sentosa.***
Baca juga: Kesaksian Deru Ombak: Identitas Maritim Sulit Dipertahankan, Laut Sudah Kelelahan
Editor: J. F. Sofyan
Tanggapan