Penyalahgunaan Wewenang Perusahaan Terhadap Hak Asasi Para Pekerja Industri Perikanan
Indonesia merupakan salah satu negara maritim yang memiliki konsep kepulauan. Dengan konsep tersebut menggambarkan bahwa Indonesia memiliki daerah perairan yang sangat luas sehingga dapat dikatakan sebagai negara dengan sumberdaya laut melimpah.
Potensi kekayaan ini paling banyak diperoleh yang berasal dari penangkapan ikan secara besar-besaran. Kegiatan ini tentu membutuhkan banyak pekerja sebagai komoditas penggerak yang saling memanfaatkan. Namun pada kenyataannya, banyak terjadi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan atasan atau pihak industri terkait terhadap penerapan keadilan kepada para ABK (Anak Buah Kapal) yang bekerja.
Penyalahgunaan wewenang ini didasari dengan adanya persaingan antara tiap industri atau perusahaan dimana tiap perusahaan menabung harap untuk bisa mendapatkan hasil dan keuntungan yang melimpah.
Perwujudan ini direalisasikan tapi dengan mengesampingkan kepedulian atas dasar kemanusiaan. Hal ini pun juga memberikan pertimbangan berat bagi nelayan-nelayan yang ingin bergabung menajdi ABK kapal.
Di satu sisi persaingan yang tinggi antara teknologi yang dimiliki perusahaan besar lebih sempurna dan lebih tangkas bial dibandingkan dengan milik nelayan-nelayan biasa yang membuat mereka harus menggantungkan separuh hidupnya untuk bergabung bersama awak kapal. Dan di sisi lainnya, mereka takut untuk menjadi korban dari tindak aksi tidak manusiawi yang bisa saja dilakukan perusahaan yang menyepakati kontrak dengan mereka (Rizqy Daru’lzain Abstrak et al., n.d.).
Keadaan yang membuat nelayan merasa asing dengan wilayah yang seharusnya menjadi sumber penghasilan mereka secara utuh adalah adanya kegiatan penangkapan ikan secara illegal yang dilakukan industri atau perusahaan yang bergerak di bidang perikanan.
Kegiatan pernagkapan ikan secara liar atau illegal ini sudah menjadi suatu hal lazim yang ditemukan dan menjadi hal yang membersamai kehidupan laut para nelayan. Kegiatan tersebut biasanya dilakukan oleh kapal yang berasal dari negara lain untuk mengambil keuntungan dari kekayaan milik Indonesia(Dwibagus et al., n.d.).
Perburuan illegal diantaranya adalah menangkap ikan menggunakan bahn peledak yang bisa merusak ekosistem perairan, melakuakan perburuan suatu spesies secara besar-besaran sehingga berpotensi mengalami kepunahan di kemudian hari, memburu jenis biota laut atau ikan yang keberadaanya telah dilindungi oleh negara, hingga pencurian atau perampasan ikan terhadap nelayan-nelayan kecil yang dilakukan melalui pembelian dengan harga yang relatif rendah dengan tujuan harga jual yang mereka keluarkan akan memberi keuntungan besar. Kegiatan licik yang dilakukan ini bisa berakibat pada hasil tangkap yang didapatkan oleh nelayan lokal sehingga nelayan harus mengupayakan kehidupan dengan menjadi bagian dari mereka (Couper et al., n.d.).
Para nelayan lokal yang sudah bergabung dengan perusahaan biasanya dijadikan sebagai para buruh industri perikanan kebanyakan merupakan pekerja pada industri yang bergerak di bidang ekspor Internasional.
Para perusahaan terkait banyak melakukan tindak tak bertanggung jawab terhadap para ABK, salah satunya dengan adanya perbudakan. Para ABK dituntut untuk bekerja dengan tidak manusiawi dan diperlakukan seenaknya. Contoh perlakuan paling melanggar yang telah ditemukan antara lain mengharuskan para ABK untuk bekerja bertahun-tahun tanpa diberi upah atau bayaran, tidak memberikan tempat tinggal yang layak huni di dalam kapal, tidak memberikan makanan sebagai sumber energi sehingga banyak ABK yang kelaparan atau sakit, tidak memulangkan ABK meski sudah habis masa kontraknya, menempatkan di lingkungan yang rentan mengalami kecelakaan dengan pertimbangan hasil yang didapatkan dan menempatkan para ABK di wilayah-wilayah yang bebas dari pantauan keamanan.
Di kesempatan lain, bila ditemukan nelayan yang memberontak atau berusaha kabur untul membela hak-hak yang mereka miliki, sadisnya mereka akan dibunuh. Atasan di perusahaan itu tak segan-segan untuk membunuh dan membuang jasadnya di laut untuk menutupi rekam jejak kejahatan mereka (Dwibagus et al., n.d.).
Menurut terjadinya masalah atau penyelewengan yang terjadi terhadap penghormatan hak asasi pekerja di industri perikanan atau ABK dapat disebabkan karena adanya sistem Letter of Guaratee (LG) yang digunakan dalam penempatan ABK terkait.
Sistem ini memiliki kebijakan yang menyimpang dari perjanjian yang sudah dilakukan sebelumnya. Di sistem ini para ABK yang dalam perjanjian ditempatkan di negara A, bisa jadi realitasnya ditempatkan di negara C. Dengan sistem ini, para ABK sangat dirugikan sebab hilangnya pantauan yang dilakukan pihak keamanan nasional (Ajeng & Putri, 2019).
Meningkatnya permasalahan ABK dari tahun ke tahun menjadi tugas yang perlu diselesaikan dan diputus akar permasalahan terkait. Hal ini juga dapat diakibatkan karena kurang kuatnya proses perjanjian laut yang disepakati dengan minimnya kebijakan dan pengawasan yang dapat pemerintah lakukan.
Banyak dari ABK yang menggunakan calo-calo untuk memamalsukan dokumen-dokumen yang mereka butuhkan sebagai syarat keberangkatan. Dalam hal ini, peran petugas keamanan juga dipertimbangkan keberadaanya. Seharusnya sebelum adanya surat keputusan terkait ABK yang dapat ikut berlayar bersama perusahaan kontraknya, para ABK harus sudah memiliki kartu tenaga kerja luar negeri (KTKLN) dengan data yang sesuai dan dapat dipertanggung jawabkan terlebh dahulu (Amalia et al., n.d.).
Sebenarnya, perlindungan hak pekerja dan perlindungan keberadaan para pekerja di negara lain telah diatur pada Undang-Undang No39 Tahun 2004. Dalam pasal ini disebutkan bahwa negara wajib menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya yang sedang bekerja di dalam amupun luar negeri yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemanusiaan.
Prinsip yang terkait paal ini meliputi persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial,kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, dan anti pedagangan manusia. Perlindungan terhadap keberadaan para ABK yang merupakan penduduk lokal atau penduduk nasional juga diatur secara tegas dalam passal 35 A UU No.45 Tahun 2009.
Pada pasal ini pemerintah meminimalisir terjadinya penculikan terhadap ABK dengan menurunkan kebijakan bahwa bilamana kapal berbendera Indonesia dan melakukan penangkaoan ikan di wilayah Indonesia, maka wajib menggunakan ABK yang berkebangsaan Indonesia (Amalia et al., n.d.).
Perlindungan terhadap hak asasi para anak buah kapal sebenarnya sudah banyak diatur dalam kebijakan Undang-Undang yang dikeluarkan pemerintah pusat. Namun dalam realisasinya, hal ini jarang digunakan sebagai acuan, dan tak jarang banyak nelayan lokal atau masyarakat pesisir yang hendak bergabung dengan industri ekspor perikanan terkait seolah-olah mengabaikan kebijakan-kebijakan yang sudah diatur. Dengan alasan bahwa mereka harus segera melakukan perubahan pada hidup mereka. Padahal peraturan-peraturan ini dibuat untuk melindungi mereka sendiri.
Menanggapi permasalahan-permasalahan tersebut, peran pemerintah dan aparat keamanan wilayah pesisir dsangat diperlukan untuk memperkuat cara berfikir mereka. Beberapa kegiatan sosialisasi juga bisa menjadi solusi positif yang bisa dilakukan.***
Baca juga: Overfishing Dan Kekeringan Laut
Editor: J. F. Sofyan
Tanggapan