Mengungkap Kisah Dibalik Seafood Yang Kita Makan

Di zaman yang semakin modern ini, beragam bahan makanan menjadi kebutuhan bagi manusia. Mulai dari bahan mentah hingga makanan siap saji. Kita tentu cukup familiar dengan berbagai olahan makanan dengan bahan dasar yang berasal dari laut kita, makanan ini biasa kita sebut Seafood.

Seafood sangat diminati banyak orang karena kenikmatan dan rasa yang khas untuk menjadi bahan santapan bersama keluarga dan orang tercinta. Tetapi, sesungguhnya proses dibaliknya tidak senikmat rasa yang kita nikmati.

Lantas ada apa dibalik Seafood yang biasa kita makan?

Dalam diskusi daring melaui siarang langsung di youtube  pada 22 Mei 2020 yang digelar Greenpeace Indonesia bersama Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), dengan menghadirkan beberapa mantan Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia yang pernah bekerja di atas kapal penangkap ikan asing.

Mereka memberikan kesaksian bagaimana praktik kotor rantai perbudakan di kapal ikan asing (Modern Slavery At The Sea) dan praktek penangkapan ikan ilegal, tidak diatur, dan tidak dilaporkan (Illegal, Unregulated and Unreported/IUU Fishing).

Hadir sebagai narasumber dalam diskusi ini mantan ABK: Fredy S dan Toni. Tidak hanya mantan ABK, hadir juga Sustoti (keluarga ABK), Zaenuddin yang mewakili SBMI DPC Tegal serta Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah.

Diskusi bertajuk “Mengungkap Kisah Dibalik Seafood yang Kita Makan” bertujuan tidak hanya mengungkap praktek bisnis kotor rantai perbudakan di kapal penangkap ikan asing jarak jauh. Diskusi ini juga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran publik akan perbudakan modern di industri perikanan tangkap.

Diskusi yang dimoderatori Sapariah Saturi dari Mongabay ini juga menjadi bahan tekanan ke pemerintah dan industri untuk menyelesaikan persoalan terkait termasuk pelaksanaan kebijakan, penegakan hukum hingga penyelesaian kasus secara tuntas .

Bagaimana Kesaksian Mantan ABK Kapal Ikan Asing?

Dalam penjelasannya, Fredy mendapatkan informasi tentang rekrutmen ABK kapal penangkap ikan asing dari rekannya di Malang, Jawa Timur. Rekannya memberikan informasi perekrutan melalui sponsor yang berada di Tegal, Jawa Tengah. Perusahaan perekrut tidak mempersulit proses perekrutan dengan melengkapi surat-surat yang dibutuhkan sebelum berlayar.  Fredy mendapatkan tugas sebagai ABK di Mauritius.

Setibanya di atas kapal, Fredy mengatakan bahwa pihak kapal memerintahkan untuk langsung bekerja. Kejadian memilukan menimpa Fredy beserta ABK lainnya, seperti waktu bekerja hingga 30 jam tanpa istirahat. Dalam mengonsumsi makan pun juga terdapat cerita pedih. Fredy mengatakan, waktu makan dilakukan secara shift setiap enam jam sekali, dengan masing-masing waktu makan selama 15 menit.

Bahan makanan yang tersedia pun sudah banyak yang kadaluarsa, minuman yang ada juga tidak layak minum. Tidak hanya  itu, obat-obatan pun banyak yang sudah tidak layak dikonsumsi.  Jangankan berharap fasilitas kesehatan dasar atau untuk pertolongan pertama.

ABK asal Indonesia pun tidak tinggal diam melihat banyaknya perlakuan yang dilakukan oleh pihak kapal. Mereka pun melakukan perlawanan sebagai bentuk protes akibat salah satu ABK yang dipukul pada bagian wajah oleh sang mandor. Meskipun pihak kapal akhirnya tidak menggunakan kekerasan fisik, ABK Indonesia masih saja mendapatkan kekerasan verbal.

Dalam pengakuannya, Fredy bersama ABK lainnya mendapatkan kontrak kerja sesaat sebelum diterbangkan ke Mauritius. Dengan demikian, mereka tidak memiliki waktu untuk mempelajari kontrak tersebut, sehingga banyak poin dalam kontrak kerja tidak disetujui oleh para ABK. Freddy tidak sanggup dengan resiko besar bekerja di atas kapal ikan asing yang tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh.

Gerah dengan perlakuan terhadapnya, Fredy akhirnya memutuskan untuk berhenti sebagai ABK di kapal ikan jarak jauh dengan alasan sakit, meskipun kontrak kerja berjalan 15 bulan. Di mata perusahaan perekrut, ia dianggap “memutuskan kontrak secara sepihak”. Hingga saat ini, Fredy masih memperjuangkan hak-haknya, dan masih menunggu perkembangan lebih lanjut.

ABK lainnya, Toni yang berasal dari Brebes Jawa Tengah mengatakan bahwa ia berlayar menuju Italia dengan gaji sekitar 450 Euro, dengan pembayaran 9 Juta kepada perusahaan untuk pemberangkatan dari Indonesia. Ia mengeluhkan gaji yang dijanjikan semula dibayarkan tanpa biaya administrasi setiap bulannya oleh agen perekrut.

Namun, kenyataan yang dihadapi Toni gaji yang dibayarkan selalu tidak tepat waktu. Tidak hanya gaji, Toni mengakui selama di dalam kapal tidak mendapat kesempatan untuk menghubungi keluarga. Nahkoda kapal juga tidak memberikan kartu telepon kepadanya untuk berkomunikasi.

Ia menilai masih banyak kebijakan yang diberikan agen secara sepihak, meskipun ia telah menandatangani kontrak tersebut secara sadar. Tony mengatakan bahwa penandatanganan kontrak merupakan sebuah dilema besar yang harus ia hadapi. Di sisi lain, apabila Toni tidak menandatangani kontrak tersebut maka ia akan kehilangan uang 9 juta yang dibayarkan kepada agen.

Sejalan dengan apa yang dihadapi Fredy, makanan yang diterima Toni pun juga tak layak untuk dikonsumsi. Tidak hanya makanan, pihak kapal juga tidak menyediakan obat-obatan kepada awaknya, bahkan pihak kapal melepaskan tangan kepada anak buahnya yang sakit.

Perbudakan dan kerja paksa yang dihadapi juga melanda enam ABK asal Indonesia yang bekerja pada kapal yang sama dengan Toni. Toni dalam kesaksiannya mendesak PT. Nurcahya Gemilang sebagai agennya untuk bertanggung jawab, tidak sampai memasukkan ABK ke dalam kapal asing yang sama dengan Toni.

Tidak hanya sang agen, Toni juga mendesak pemerintah untuk memperhatikan hak dan nasib buruh migran, dalam hal ini ABK yang bekerja di kapal asing. Toni tidak ingin orang lain mengalami nasib buruk yang sama dengan dirinya di atas kapal ikan .

Pilu Keluarga ABK yang Menjadi Korban di Uruguay 

Sustoti, ibu dari (alm.) Anda Musli, ABK Indonesia yang meninggal di Perairan Uruguay bercerita bahwa ia mengizinkan Anda untuk berlayar dengan kapal asal Taiwan. Ia dikabarkan bahwa sang anak meninggal dari PT. RNT Utama Indonesia yang merupakan agen dari Anda Musli. Dari pengakuan sang agen, kapal yang ditumpangi terkena badai, dan Anda meregang nyawa karena mengalami benturan keras di kepala.

Ditambahkan Sustoti, keluarga mendapat uang 5 juta sebagai uang duka dari agen. Tidak hanya uang duka, keluarga mendapatkan kompensasi 60 juta Rupiah termasuk gaji dan dipotong 19 juta Rupiah. Zaenuddin mewakili SBMI Tegal memandang bahwa pemerintah harus melakukan klarifikasi hak-hak ABK untuk diterbitkan.

Permasalahan perbudakan dimulai dari melihat bagaimana perusahaan perekrut melakukan perekrutan kepada calon ABK. Pemerintah juga diminta untuk tegas dalam menghadapi perbudakan yang dialami ABK asal Indonesia, karena belum ada yang berani mengungkap perbudakan kepada ABK. SBMI juga memperjuangkan hak mantan ABK yang masih belum dipenuhi, baik ABK yang pulang juga ABK yang kontraknya telah berakhir.

Afdillah, Juru Kampanye Greenpeace Indonesia memandang bahwa perbudakan tidaklah lepas dari industri perikanan yang merupakan “ladang uang”. Banyak pihak bisa bermain dalam bisnis ini, baik dari perusahaan perekrutan hingga pengalengan.

Ditambah masalah IUU fishing tidak hanya terjadi pada perbudakan ABK semata, namun juga penangkapan sampingan ikan yang menjanjikan keuntungan. Ditambahkan Afdillah, Indonesia merupakan negara yang memiliki regulasi lemah, pejabat yang korup dan lemahnya pengawasan. Dengan demikian, Indonesia menjadi lahan bagi ABK yang bergaji murah.

Audiens tak lupa memberikan beberapa pertanyaannya perihal perbudakan yang dialami oleh Toni dan Fredy. Pertanyaan pertama muncul terkait pelatihan sebelum bertugas di kapal. Dalam pemaparannya, Toni yang juga didampingi koleganya mengakui tidak ada pelatihan ataupun persiapan sebelum diberangkatkan menuju kapal tempat ia bertugas.

Hal ini kontras dengan yang didapatkan Fredy. Fredy mendapatkan pelatihan kemampuan dasar dalam sebuah mess sebelum akhirnya diterjunkan ke atas kapal asing. Fredy menambahkan, tidak ada pelatihan bahasa asing yang diperolehnya.

Penangkapan Ikan Ilegal Juga Terjadi di Kapal

Audiens lainnya mempertanyakan apakah terjadi penangkapan ilegal di atas kapal tempat Toni dan Fredy bekerja. Fredy mengakui, selain ikan Tuna yang ditangkap, kapal seringkali menangkap hiu untuk diambil siripnya.

Sementara itu, Toni seringkali mendapati penyu dalam tangkapannya. Meski demikian, penyu tersebut langsung dilepas kembali. Senada dengan Fredy, Toni menjelaskan seringkali terjadi pengambilan sirip hiu di atas kapalnya.

Erni, salah satu audiens mengatakan bahwa standar dan norma kerja harus ditingkatkan. Dalam kesempatan yang sama, ia mempertanyakan bagaimana jumlah hasil tangkapan, proses bongkar muat, interaksi dengan pembeli.

Desak Perlindungan  dan Penegakan Hukum untuk kasus ABK Indonesia

Menutup diskusi, Freddy mengingatkan kepada calon ABK Indonesia yang hendak bekerja di atas kapal asing untuk lebih cermat melihat sistem perusahaan untuk mengatasi perbudakan di atas kapal. Perlindungan Indonesia dan pihak internasional sangatlah penting agar tidak terjadi lagi perbudakan modern di atas kapal.

Sementara Zaenuddin mendesak pemerintah untuk segera meratifikasi Perlindungan Hak ABK dan menegakkan hukum bagi pelanggarnya. Usut tuntas kasusnya hingga tidak ada lagi terjadi perbudakan buruh migran terutama di atas kapal ikan asing .

Terakhir, Afdillah memandang pemerintah harus mendalami masalah ini seterang-terangnya dan lakukan penindakan hukum seadil-adilnya untuk oknum yang memanfaatkan kesempatan dalam bisnis perbudakan. Tidak hanya itu, Afdillah berpendapat bahwa masyarakat perlu membuka mata bahwa ada cerita kelam dari proses bagaimana sebuah tuna kaleng dari laut hingga sampai di meja makan.

Dukung terus kampanye ini, mari bersama kita mendesak pemerintah untuk serius mendalami masalah ini dan melakukan penindakan hukum seadil-adilnya kepada para pelaku bisnis kotor perbudakan ini serta terus memperkuat perlindungan ABK Indonesia. Demi berakhirnya perbudakan modern di laut.

Editor : Annisa Dian N.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan