Hari Buruh dan Kelestarian Lingkungan

Kita baru saja merayakan Hari Buruh Sedunia di Tahun 2020 dalam suasana yang sangat berbeda. Banyak hal dipaksa berubah akibat pandemi Covid-19 yang masih berlangsung saat ini.

Sementara itu, jauh sebelum Covid-19 mewabah global, persoalan arah kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia yang sedang ditempuh pemerintah, terutama kehadiran Omnibus Law Cipta Kerja, juga telah menimbulkan kebingungan serta kegelisahan buruh dan rakyat.

Lantas, apa yang harus dilakukan bersama agar kita benar-benar berhasil belajar dan mengambil hikmah dari kondisi ini?

Hari Buruh Tolak Omnibus Law
IG Fraksi Rakyat Indonesia

Dari Masa Lampau ke Hari ini

Setiap 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Sedunia. Tetapi tidak bisa dinafikan, perayaan 1 Mei itu sendiri punya akar dan konteks yang berbeda-beda dalam lintasan sejarah.

Dilansir dari History, 1 Mei atau “May Day” awalnya diperingati sebagai hari untuk merayakan perubahan musim di belahan bumi bagian utara.

Juga diulas oleh Tirto, “May Day” dapat dipandang sebagai momentum sejumlah tradisi sakral pagan masa lampau di kalangan masyarakat Eropa untuk merayakan puncak musim semi dan datangnya musim panas.

Namun sejarah gerakan buruh di Amerika Serikat yang berujung Kerusuhan Haymarket pada 4 Mei 1886 di Chicago lah yang menjadi latar belakang mendasar dan akar rasional dari peringatan hari buruh di konteks kita hari ini.

Hari Buruh dan Desakannya

Penerapan standar 8 jam kerja sehari, hak cuti, dukungan hidup sehat dan pesangon serta jaminan kecelakaan kerja dan pensiun adalah sejumlah buah dari gerakan buruh di berbagai belahan dunia selama bertahun-tahun.

Desakan pemenuhan hak-hak buruh semakin keras menggema saat momentum Hari Buruh Sedunia tiba, sekalipun dalam kondisi pandemi Covid-19.

Meski dalam suasana berbeda, hari penting bagi gerakan buruh ini tetap dimanifestasikan dalam banyak bentuk, seperti aksi kreatif jalanan, aksi kolektif di jejaring sosial media, diskusi publik secara daring dan bakti sosial.

Jadi, meski di tengah pandemi Covid-19 saat ini, tidak serta merta membuat momentum Hari Buruh Sedunia kehilangan pesona dan kekuatannya.

Di kondisi pandemi, peringatan hari buruh lebih banyak dijalankan secara daring.

Di Indonesia, momentum hari buruh di tahun 2020 ini dimanfaatkan oleh gerakan buruh dan gerakan masyarakat sipil lainnya untuk menggemakan penolakan pembahasan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU OLCK) di jejaring sosial media.

Gema perlawanan rakyat ini sebagai bentuk desakan dan peringatan terhadap pemerintah dan parlemen untuk harusnya fokus pada penanganan pandemi Covid-19, bukan malah ngotot membahas RUU OLCK.

IG Fraksi Rakyat Indonesia

Fokus perjuangan gerakan buruh saat ini pun jelas sudah tidak lagi terbatas pada desakan terkait jatah cuti dan besaran upah yang layak saja, tetapi juga telah menyentuh dan menyasar pada isu-isu lintas sektor yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi masa depan kesejahteraan buruh dan keluarganya.

Buruh dan Gerakan Sosial Lingkungan

Peran gerakan buruh yang sentral dalam solidaritas lintas elemen masyarakat sipil untuk penolakan terhadap RUU OLCK merupakan sebuah gambaran bahwa perjuangan buruh juga memberikan dukungan yang penting terhadap gerakan penyelamatan lingkungan hidup dan ruang-ruang hidup rakyat di Indonesia.

Disadari mendalam, penguatan sinergi dan solidaritas antargerakan rakyat tetap perlu menjadi landasan dan arah bersama.

Hal tersebut menjadi kondisi pemungkin agar berbagai isu mendasar yang menjadi akar masalah dari ketidakadilan sosial dan perusakan lingkungan hidup selama ini, antara lain: disfungsi penegakan hukum, korupsi dan oligarki, dapat semakin komprehensif dan efektif ditangani serta ditemukan rumusan solusinya.

Kehadiran Fraksi Rakyat Indonesia misalnya, menjadi salah satu simpul gerakan buruh dan antargerakan masyarakat sipil di Indonesia dalam memberikan konsolidasi kritik dan narasi tandingan terhadap berbagai langkah serta kebijakan pemerintah dan parlemen terutama yang terkait dengan RUU OLCK yang sungguh sarat masalah dan sangat menyengat aroma kepentingan oligarkinya.

Angkatan Kerja Kekuatan Potensial Gerakan Rakyat

Paparan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dilansir situs Liputan6 menyebutkan per Agustus 2019 ada 133,56 juta orang angkatan kerja di Indonesia. BPS juga mengungkapkan dari 100 orang angkatan kerja di Indonesia ada 5 orang yang dalam kondisi pengangguran terbuka.

Jumlah angkatan kerja di Indonesia tersebut cukup besar. Diantaranya ada yang sudah mendapatkan kerja ataupun masih berjuang mendapatkan kesempatan pekerjaan pertamanya termasuk yang sedang mencari kesempatan dan kondisi kerja yang lebih layak. Angkatan kerja Indonesia ini berada pada berbagai sektor pekerjaan ataupun di sejumlah gerbang ketidakpastian peluang kerja.

Dari segi jumlah, angkatan kerja tersebut selalu potensial menjadi energi penggerak ekonomi bangsa dan menjadi kekuatan sosial dan moral yang besar untuk mengawal cita-cita rakyat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara.

Melangkah Maju ke Depan

Kesadaran solidaritas gerakan buruh, gerakan rakyat, gerakan mahasiswa dan gerakan lingkungan sangat penting untuk terus bersinergi dan berjalan.

Sinergi tersebut perlu mengarah pada diskursus dan upaya yang mendemonstrasikan konsep-konsep keadilan sosial, pekerjaan layak, pembangunan berkelanjutan dan ekonomi kerakyatan, sehinggga benar-benar punya daya tahan terhadap bajakan dan jebakan kepentingan para pemilik modal dan penguasa yang memang sangat lihai dalam hal bajak-menjebak.

Tidak ada keberlanjutan bisnis dan pekerjaan yang layak di planet yang rusak.

Mari jadikan semangat hari buruh hadir dalam keseharian kita bekerja untuk kesejahteraan keluarga, kemandirian bangsa dan kelestarian lingkungan hidup kita. Karena tidak ada keberlanjutan bisnis dan pekerjaan yang layak di planet yang rusak.

Ayo terus lawan keserakahan elit pemodal dan penguasa yang melanggengkan oligarki!

Semoga pula gerakan buruh selalu bersama gerakan rakyat.

Catatan Editor: foto utama diperoleh dari Fraksi Rakyat Indonesia.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan