Penggunaan Teknologi Biorock untuk Rehabilitasi Terumbu Karang Akibat Pengaruh Logam Berat
Terumbu karang merupakan kelompok organisme yang hidup pada perairan dangkal, terutama di daerah tropis. Persebaran terumbu karang yang ada di Indonesia banyak dijumpai di bagian timur Indonesia, yang lazim nya pada wilayah yang disebut segitiga karang (Negara, 2016).
Namun sangat disayangkan, berdasarkan data terbaru Pusat Penelitian Oseanografi LIPI (dalam Negara, 2016) menyebutkan bahwa hanya sekitar 5,3% terumbu karang Indonesia yang tergolong sangat baik, sementara itu 27,18%- nya digolongkan dalam kondisi baik, 37,25% tergolong dalam kondisi cukup, sedangkan sisanya yaitu 30,45% berada dalam kondisi buruk.
Tentu saja, hal tersebut akan berdampak pada kelangsungan hidup terumbu karang itu sendiri dan bahkan akan berdampak pula pada organisme lainnya yang mendiami ekosistem tersebut.
Secara umum disebutkan bahwa faktor penyebab kerusakan terumbu karang adalah faktor alami dan faktor manusia. Faktor manusia menjadi yang paling parah dikarenakan semakin banyaknya aktivitas manusia yang dapat menghasilkan limbah logam berat. Hal tersebut jelas akan berdampak negatif terhadap ekosistem yang ada di laut, khususnya terumbu karang.
Logam berat apabila telah melampaui ambang batas baku mutu maka akan bersifat racun dan akan menyebabkan suatu ekosistem menjadi terpapar (Kennish, 1992 dalam Denirsaq dkk., 2013). Namun, disebutkan juga oleh Ambariyanto (2011) dalam (Denirsaq dkk., 2013) bahwa apabila suatu indikasi logam berat masih dibawah ambang batas toksik maka keberadaan logam berat justru akan menjadi suatu manfaat bagi kehidupan karang sebagai trace element essential.
Berdasarkan hasil penelitian Eryati (2008) dalam Denirsaq dkk., (2013) mengenai akumulasi logam berat dan pengaruhnya terhadap morfologi jaringan lunak karang diketahui bahwa akumulasi logam paling banyak ditemukan pada tepi luar dari jaringan lunak bagian tengah dan dalam karang Porites. Selain itu, karang memiliki tingkat sensitifitas yang tinggi khususnya zooxanthellae yang beraosiasi di dalamnya terhadap perubahan lingkungan.
Secara umum disebutkan bahwa pengaruh logam berat terhadap karang dapat dibagi menjadi dua yaitu pengaruh yang tidak menyebabkan kematian (sublethal) dan yang menyebabkan kematian (lethal). Oleh karena itu, saat ini sudah mulai banyak metode-metode yang dapat dikembangkan untuk menjaga kelestarian ekosistem dari terumbu karang, salah satunya yaitu dengan menggunakan teknologi biorock.
Pemilihan teknologi Biorock menjadi opsi yang terbaik karena dapat mengemukakan unsur-unsur konservasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat setempat (Negara, 2016).
Teknologi biorock merupakan sebuah upaya atau metode rehabilitasi pada terumbu karang yang ditemukan, dikembangkan, dan juga dipatenkan oleh Prof. Wolf Hilbertz dan Dr. Thomas J. Goreau (Furqan, 2009).
Teknologi biorock merupakan sebuah teknologi akresi mineral yang berlangsung di dalam laut atau dapat diartikan sebagai suatu proses deposit elektro mineral. Penerapan teknologi biorock ini menggunakan tegangan listrik searah dengan voltase yang rendah yaitu sekitar di atas 1,2 Volt dan disalurkan melalui struktur baja (Robbe, 2010 dalam Ikhsani 2014).
Dalam penggunaan teknologi biorock ini memanfaatkan proses elektrolisis dengan adanya katoda dan anoda sehingga nantinya akan menyebabkan mineral terlarut dalam air laut akan membentuk sebuah endapan padatan mineral yang menempel pada struktur kerangka.
Teknologi ini digunakan untuk mempercepat pertumbuhan karang di daerah yang rusak dan mengembalikan habitat terumbu karang yang sudah ada sebelumnya (Negara, 2016).
Sumber: Biorock Indonesia
Penelitian yang dilakukan oleh Nugroho dkk (2021) bahwa pada stasiun yang menggunakan teknologi biorock laju pertumbuhannya lebih besar, hal tersebut disebabkan karena karang mampu menyerap kalsium lebih banyak dengan adanya bantuan aliran listrik.
Aliran listrik terjadi karena adanya arus searah yang menyebabkan reaksi oksidasi pada anoda dan reaksi reduksi pada katoda. Akibatnya, terjadi akumulasi kalsium dan magnesium pada katoda yang nantinya reaksi reduksi akan menyebabkan unsur kalsium dan magnesium dapat diendapkan di sekitar katoda.
Pertumbuhan karang yang ditransplantasi pada biorock akan tiga sampai lima kali lebih cepat daripada karang normal dan akan merambat pada substrat dalam waktu yang singkat.
Selain itu, pada penelitian yang dilakukan oleh Twinandia dkk (2011) diperoleh data yang menunjukkan bahwa kondisi pertumbuhan terumbu karang yang menggunakan teknologi biorock pada daerah Pemuteran, Bali bisa dikatakan optimal.
Pertumbuhan yang maksimal tersebut akan bisa menyebabkan adanya kondisi yang menjadikan daerah tersebut memiliki kelimpahan karang. Kelimpahan karang erat kaitannya dengan jumlah dan jenis ikan yang ada pada wilayah tersebut, karena dengan pertumbuhan karang yang baik akan menarik beberapa organisme perairan khusunya ikan karang untuk mendapat habitat yang baru.
Sumber: Bartzap.com
Maka dari itu, dapat diambil kesimpulan bahwa terbukti dengan pemanfaatan teknologi ini, mampu menghasilkan nilai pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan dengan teknik yang lainnya (Nugroho dkk, 2021).
Dengan pemanfaatan teknologi biorock pula dapat menjadikan habitat baru bagi berbagai jenis ikan. Adanya terumbu karang buatan mampu menjadi sumber makanan yang berupa algae, krustacea, dan ikan kecil lainnya bagi ikan yang ada di sekitar lokasi biorock (Munandar 2018).***
Baca juga: Terumbu Karang Kesakitan: Krisis Iklim Menjadi Salah Satu Faktor Kritisnya Ekosistem Laut
Editor: J. F. Sofyan
Tanggapan