Membaca Ulang Transisi Energi: Solusi atau Ancaman Baru di Kepulauan Bangka Belitung

Membaca ulang agenda transisi energi di Kepulauan Bangka Belitung menjadi tema penting dalam pembahasan Pertemuan Daerah Lingkungan Hidup ke IV Walhi Kepulauan Bangka Belitung.

Terus meningkatnya emisi gas rumah kaca akibat langgengnya penggunaan energi fosil bertanggungjawab terhadap meluasnya krisis iklim.

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung luasnya mencapai 8,1 juta hektar, sekitar 6,5 juta hektar merupakan perairan. Bangka Belitung yang merupakan daerah kepulauan rentan terhadap bencana hidrometeorologi yang sering melanda wilayah ini.

Belum selesai krisis lingkungan yang disebabkan aktivitas industri ekstraktif, seperti pertambangan timah dan perkebunan monokultur skala besar. Pemerintah justru menambah ancaman terhadap ruang hidup dan keberlangsungan ekosistem dengan meneruskan proyek solusi palsu transisi energi di Kepulauan Bangka Belitung.

Pulau Kalimuak, Belitung. / Foto: Ariadi Damara / Walhi Kepulauan Bangka Belitung

Pada Diskusi Panel PDLH IV Walhi Kepulauan Bangka Belitung, Peneliti Isu Perubahan Iklim dan Energi ICEL, Syaharani menyebutkan agenda transisi energi haruslah bersifat adil, inklusif, dan menciptakan peluang kerja yang layak. Menciptakan kondisi dimana beban dan manfaat dari penggunaan energi bersih terbagi secara merata antar pemangku kepentingan.

Senada dengan Syaharani, pembicara lain yang juga jurnalis lingkungan, Novri Ismi menyampaikan arah kebijakan terkait energi sepertinya belum berpihak kepada masyarakat secara luas. Hal ini ditandai dengan tidak adanya keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan untuk memilih energi apa yang ingin mereka gunakan dalam memenuhi kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya, Novri menerangkan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pemerintah merencanakan pembangunan PLTT (Pembangkit Listrik Tenaga Thorium) di Pulau Gelasa.

Thorium merupakan salah satu jenis nuklir yang dinilai lebih ramah lingkungan dan diklaim sebagai nuklir hijau. Nuklir juga merupakan sumber energi yang digadang-gadang mampu menggantikan peran batu bara sebagai sumber energi masa depan.

Kendati demikian, apakah nuklir mampu menjawab berbagai permasalahan dunia di sektor energi, masih menjadi pertanyaan. Ia menjelaskan, thorium merupakan mineral ikutan bahan tambang yang jika proyek ini diteruskan akan memperpanjang catatan kerusakan lingkungan yang merupakan sumber awal dari krisis iklim global yang kita alami saat ini.

Tokoh masyarakat Dusun Tuing, Suku Mapur, Sukardi menjelaskan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, masyarakat Suku Mapur bermatapencaharian sebagai petani dan nelayan. Suku Mapur mengenal istilah pantang-larang yaitu seperangkat aturan adat yang harus dipatuhi guna mengatur pola hidup masyarakat.

Dalam tradisi orang mapur mengenal istilah hutan larang dimana kawasan tersebut tidak boleh diganggu oleh siapapun dan dipercaya sebagai tempat tinggalnya arwah para leluhur. Dan keberadaan hutan ini terus dijaga sampai saat ini.

Namun upaya masyarakat Suku Mapur kini terancam dengan keberadaan konsesi pertambangan timah di daratan dan perairan, perkebunan Hutan Tanaman Industri, dan HGU perkebunan kelapa sawit skala besar yang mengancam keberadaan hutan larang dan tradisi yang telah dijaga keberadaannya secara turun temurun.

Ariadi, Divisi Riset dan Kampanye Walhi Kepulauan Bangka Belitung menyebutkan dalam memenuhi kebutuhan energi listriknya, Bangka Belitung ditopang dua pembangkit listik tenaga uap (PLTU) yaitu PLTU Air Anyir di Pulau Bangka dan PLTU Suge di Pulau Belitung.

Kedua PLTU ini mendapat pasokan batubara dari tambang di Sumatera Selatan. Jika kita berbicara tentang krisi iklim, maka keberadaan dua PLTU di Bangka Belitung turut menambah beban bumi hari ini.

Dalam upaya mendukung target bauran energi nasional untuk energi baru terbarukan sebesar 23% pada 2025, PLN menerapkan program co-firing yakni penggunaan woodchip sebagai campuran batu bara dan diklaim mampu menghasilkan 8.205 MWh green energy di Bangka Belitung.

Pihak PLN mengklaim bahwa woodchip pada campuran batubara merupakan energi hijau dan ramah lingkungan. Namun kemudian muncul pertanyaan dari mana kayu-kayu itu didapat?

Berdasarkan keterangan dari pihak perusahaan bahwa kayu-kayu tersebut didapat dari membeli dari kebun-kebun masyarakat. Dampak dari aktivitas ini, akan ada aktivitas pelepasan karbon dari penebangan bahan baku woodchip tersebut.

Ditambah lagi ketersediaan kayu dari masyarakat yang tidak mencukupi, akan terjadi perambahan hutan alam melalui pelibatan perusahaan HTI dan memperpanjang konflik perampasan ruang hidup yang dilakukan pihak perusahaan dengan masyarakat lokal di Kepulauan Bangka Belitung.***

Baca juga: Kesan Pertama Memandang Belitong, Ada yang Biru Selain Laut | Ekspedisi Pembela Lautan 2023

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Tanggapan