Nusa Kambangan, Penjaga Tahanan Penjaga Ekosistem Lautan

Nusa Kambangan, yang sering dikenal sebagai Pulau Penjara, memiliki reputasi yang kuat karena adanya sekitar empat lembaga pemasyarakatan yang menampung narapidana kelas berat, tersebar di beberapa titik kepulauan ini dan dikelola Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pulau ini terletak di wilayah Jawa Tengah Terkenal sebagai pulau penjara, Nusa Kambangan juga memiliki keunikan tersendiri dalam hal ekosistem alamnya.

Salah satu daya tarik utama dari Nusa Kambangan adalah ekosistem hutannya yang kaya dan beragam. Cagar Alam Nusakambangan Timur menjadi kawasan cagar alam berdasarkan Besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 34 Staatsblad. No. 369 tanggal 4 Juni 1937, seluas 277 Ha. Status tersebut diperkuat dengan SK Penunjukan Menteri Kehutanan No . SK.359/Menhut-II/2004 tanggal 1 Oktober 2004. Setelah di tata batas pada tahun 2009, luas kawasan ini menjadi 210,90 Ha, yang menyediakan habitat bagi berbagai flora dan fauna yang khas. Selain itu, pulau ini juga dikenal dengan keindahan pantai-pantainya yang menakjubkan. Pantai-pantai di Nusa Kambangan memiliki pasir putih dan air laut yang jernih, menawarkan pemandangan yang memukau serta suasana yang tenang dan alami.

Satu aspek penting dari keanekaragaman hayati di Nusa Kambangan adalah keberadaan kawasan mangrove terbesar di Pulau Jawa. Kawasan mangrove ini dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKNSDA) Jawa Tengah. Mangrove ini memainkan peran vital dalam menjaga keseimbangan ekosistem pesisir, melindungi pantai dari abrasi, serta menyediakan tempat berkembang biak bagi berbagai jenis ikan dan satwa liar lainnya.

Menjadi Pulau yang dikenal mengerikan tak lantas menjadikan Pulau ini terbebas dari permasalahan lingkungan di dalamnya kerusakan mangrove mulai santer terdengar seiring pembukaan lahan tambak di sekitar. Laporan kompas Separuh Hutan Mangrove Nusakambangan Rusak (kompas.com) 2012 bahwa di 25 tahun lalu luasan mangrove mencapai 15.000 ha yang kini tersisa 8.000 ha dan dari yang tersisa 4.000 ha di antaranya berada dalam kondisi rusak.

Padahal ekosistem mangrove di Nusa Kambangan menjadi sangat penting untuk meredam potensi gelombang tsunami yang rawan terjadi di selatan pulau jawa.

Dalam penelitiannya pasca tsunami Pangandaran 2006 silam, BNPB Badan Nasional Penanggulangan Bencana (bnpb.go.id) menemukan bukti sisa kerusakan ranting pohon yang diduga terhantam gelombang tsunami pada ketinggian 15 hingga 22 meter di beberapa titik Pulau Nusakambangan. Kendati banyak pohon yang rusak, namun energi gelombang diyakini menjadi melemah.

Permasalahan lain yang dirasa serius di wilayah Nusa Kambangan adalah pertumbuhan jumlah penduduk di wilayah Segara Anakan sebagai bagian dari Pulau Nusa Kambangan dan kelestarian wilayah konservasi, kemudian diperparah sedimentasi yang terus terjadi.

Masyarakat Segara Anakan atau masyarakat Kampung Laut adalah penduduk asli yang mendiami wilayah Nusa Kambangan, keturunan Wiratama kesultanan Mataram yang diutus untuk menjaga Segara Anakan dari Bajak Laut. Sehingga masyarakat tersebut disebut Pejagan atau para penjaga. Setelah dikalahkannya bajak laut oleh utusan Mataram, didirikan kerajaan Nusakambangan namun tak bertahan lama yang kemudian diserahkannya Nusa Kambangan kepada kompeni sebagai imbal jasa mengamankan pemberontakan yang terjadi di Mataram. Kemudian kompeni mengusir Suku Pejagan dari Nusa Kambangan, yang kemudian orang-orang tersebut masih menetap di tengah Laut Segara Anakan.

Segara Anakan merupakan ekosistem estuaria terdiri dari beberapa ekosistem yang saling berhubungan erat. Ekosistem ini meliputi wilayah perairan terbuka, tanah timbul, rawa air asin dan hutan mangrove yang memberikan tempat dan habitat bagi kehidupan berbagai flora dan fauna yang sangat berharga.

Penduduk asli Nusa Kambangan setiap tahunnya mengalami erosi yang cukup tinggi sehingga material endapan semakin banyak, akibatnya terjadi penyempitan area perairan dan penyusutan kawasan mangrove.

Pada tahun 2000 sebuah penelitian menyebutkan bahwa laguna Segara Anakan tinggal 500-6000 Ha saja. Adanya tanah yang timbul karena sedimentasi dimanfaatkan masyarakat untuk berlomba-lomba mengkapling tanah timbul tersebut yang kemudian menimbulkan konflik kepada sesama masyarakat atau terhadap kawasan konservasi. Perubahan lingkungan ini juga mempengaruhi perkembangan biota laut (Merawat Mangrove Segara Anakan, Menuai Rezeki Perikanan – Mongabay.co.id).

Penelitian Wahikun yang berjudul Implementasi UU No 27 tahun 2007 dalam pengelolaan Pulau dan Perairan Nusa Kambangan, mengkritisi bahwa penanganan masalah pelestarian hutan mangrove dan perairan dalam UU no 27 tahun 2007 dan Perda no 16 dan 17 tidak dapat dijalankan karena tidak mengadaptasi aspirasi warga, dan kemiskinan serta kebodohan sehingga kesadaran akan pentingnya pelestarian rendah. Selain itu dalam penelitian tersebut juga menyarankan agar masyarakat di wilayah Nusa Kambangan memerlukan mitra bahari yang mampu melakukan pendekatan sehingga menciptakan kesadaran akan kelestarian lingkungan pada masyarakat.***

Artikel Terkait

Tanggapan