Laut adalah Ibu bagi Mereka
Pekan lalu, saya mengais cerita dari suku bajo di Mekko. Belum puas saya kemudian memutuskan bercengkerama dengan pikiran sendiri. Saya berusaha untuk menemukan lebih banyak informasi tentang kearifan lokal bajo dalam menjaga dan merawat laut.
Kali ini saya menelusuri kearifan lokal suku Bajo di Wakatobi. Rasa penasaran dengan budaya bajo dalam menjaga dan merawat laut telah mamaksa saya untuk terus memperdalam informasi kearifan lokal tentang suku bajo. Beberapa waktu lalu, saya sudah menelusuri paper terbitan Universitas Negeri Jakarta tentang kearifan lokal suku bajo di Wakatobi itu dengan seksama.
Pembahasan interaksi antara suku Bajo dengan laut di Wakatobi cukup sungguh menarik. Siapa yang tidak mengenal Wakatobi? Sebuah daerah yang terkenal dengan keindahan bawah lautnya? Banyak literatur mengatakan keindahan bawah laut Wakatobi adalah syurga yang tersembunyi. Secara administrasi wilayah, Wakatobi berada di kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Lantas mengapa keasrian ekosisem laut di Wakatobi tetap terjaga? Laut adalah ibu bagi suku Bajo di sana. Begitu segaris tulisan di halaman jurnal itu. Hampir setiap hari, mereka mencari penghidupan di laut. Tidak hanya mengambil hasil laut, tapi mereka juga melestarikan laut dengan kearifan lokal yang diamanahkan oleh leluhur mereka. Kearifan lokal tentang hal apa yang boleh mereka lakukan dan tentang hal apa yang tidak boleh mereka lakukan.
Jurnal terbitan Universitas Negeri Jakarta itu mengisahkan, dalam suatu masa tertentu, mereka suku bajo memberi laut makanan. Itu adalah cara mereka mengucapkan syukur atas sumber kehidupan yang terus berkecukupan dari laut. Setelah memberi laut makanan, mereka dilarang beraktivitas selama beberapa waktu tertentu. Upaya ini bertujuan memberi waktu dan kesempatan pada laut untuk menyembuhkan sendiri dirinya.
Nelayan Bajo di Wakatobi melakukan Tuba Dikatutuang dan Parika. Tuba Dikatutuang berarti larangan penangkapan ikan dalam jumlah besar dan dilarang menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Sedangkan Parika berarti suatu sistem kelembagaan yang bertindak sebagai penentu waktu penangkapan dan tempat penangkapan.
Secarik laman Universitas Negeri Jakarta itu mengatakan, suku bajo di Wakatobi memiliki budaya konservasi yang dituangkan dalam bentuk kearifan lokal. Mereka melakukan seremoni untuk persembahan sesajen.
Resensi paper itu memberi pengetahuan tentang nilai-nilai konservasi dalam Tradisi Suku Bajo yang patut kita pelajari dari suku Bajo :
- Duata Sangal : Upacara Sangal dilakukan saat musim paceklik ikan dan spesies laut lainnya. Ritual mengambil mereka akan melepas spesies yang populasinya tengah menurun saat bersamaan , spesies yang dilepas itu diharapkan bisa mengundang spesies lainnya untuk berkumpul dan hidup bersama. Contohnya: melepas penyu saat populasi penyu berkurang, melepas tuna saat tuna berkurang, dan semacamnya.
- Parika : yaitu memberi ruang bagi ikan untuk bertelur dan beranak serta membatasi penangkapan berdasarkan ketentuan waktu tertentu yang disepakati oleh pemuka adat dan tokoh komunitas.
- Pamali : “Daerah terlarang” yang ditetapkan ketua adat Bajo untuk menangkap ikan di suatu kawasan. Biasanya disertai sanksi tertentu bagi yang melanggar.
- Maduai Pinah : Ritual yang dilakukan saat nelayan Bajo akan turun kembali melaut di lokasi pamali.
Jurnal itu terus bercerita tentang hal hal asli yang dilakukan masyarakat suku bajo di wakatobi. Dalam halaman berikutnya, penulis yang menulis di jurnal itu mengatakan ada 4 kategori waktu suku bajo dalam melakukan tradisi di laut diantaranya :
- Palilibu : melaut jarak dekat dalam sehari
- Pongka : melaut agak jauh dengan waktu 1-2 minggu
- Sakai : Melaut jauh dengan lama waktu minimal sebulan
- Lama : melaut sangat jauh hingga berbulan-bulan dan biasanya melintasi negeri asing.
Suku Bajo di Wakatobi juga memiliki kearifan lokal dalam melaut dan mengambil hasil laut. Di dalam masyarakat Bajo tumbuh suatu keyakinan terhadap adanya suatu mantra yang memberi peranan penting dalam kehidupan mereka, keyakinan tersebut berkaitan erat dengan kegiatan mereka sebagai nelayan di laut.
Sebagai masyarakat nelayan yang mata pencahariannya di laut, mereka selalu mengutamakan keselamatan, mereka melakukan kegiatannya dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Mulai berangkat melaut maupun pulang ke rumah.
Dalam akhir tulisan itu, dikatakan, mereka memiliki bekal pengetahuan yang cukup baik mengenai keadaan laut, cuaca, perahu yang bagus, cara melaut yang baik, dan sebagainya. Itu semua karena pengalaman melaut yang mereka punya, sudah terlatih sejak kecil.
Sebuah kebiasaan yang bagus ialah, mereka selalu selektif dalam mengambil ikan yang usianya sudah matang. Mereka membiarkan ikan-ikan yang masih kecil/muda untuk tumbuh dewasa. Pantang bagi mereka untuk mengambil jenis ikan yang tengah memasuki siklus musim kawin maupun ikan yang sedang bertelur. Bagi mereka, itu adalah cara mereka untuk menjaga keseimbangan populasi dan regenerasi spesies yang ada.
Selesai membaca jurnal itu saya merasa nilai konservasi laut sebenarnya sudah lengkap dalam ajaran kearifan lokal suku bajo.
Melengkapi dengan mencantumkan pada salah satu bagian buku Biologi Konservasi, pengantar Emil Salim mengatakan, Ilmu konservasi tradisional harus dikolaborasikan dengan ilmu konservasi modern yang ada di pendidikan formal.
Konservasi yang lebih efektif adalah konservasi yang dilakukan oleh masyarakat tradisional setempat di daerah atau wilayahnya. keasrian alam yang mereka punya tetap terjaga lestari dari generasi ke generasi melalui kearfian lokal yang mereka lakukan dan lestarikan. Salah satu contohnya konservasi laut ala bajo di Wakatobi.
Sementara ilmu konservasi modern yang ada di kurikum pendidikan di Indonesia tepatnya di sekolah-sekolah adalah kebanyakan mengambil pemahaman yang di bawah oleh bangsa eropa. Sehingga implementasinya kerap kali tidak selalu sesuai.
Pada bagian ini, saya mengakui bahwa, guru terbaik dalam pelestarian laut adalah kearifan lokal konservasi Suku Bajo Wakatobi. Selamat hari laut sedunia. Laut yang sehat, masyarakat akan berdaya.***
Tanggapan