Paradoks Tanah Surga: Nestapa Nelayan di Negeri Maritim
Di negeri yang sering dielu-elukan sebagai “tanah surga”, tempat tongkat dan batu konon bisa jadi tanaman, ada ironi yang mengiris hati. Nelayan, para penjaga laut, yang setiap hari menantang ombak demi sejumput rezeki, justru menjadi kelompok yang paling sering terlupakan. Mereka yang dulu bisa tersenyum lebar hanya dengan hasil tangkapan seadanya kini dipaksa menunduk lesu di hadapan kenyataan yang pahit.
Ikan-ikan tak lagi melimpah seperti cerita-cerita para leluhur. Laut yang dulu penuh berkah kini dirampas rakus oleh tangan-tangan besar para kapitalis birokrat. Kapal-kapal raksasa dengan jaring yang tak kenal ampun menyapu bersih, meninggalkan sisa-sisa kecil untuk para nelayan kecil yang hanya berbekal perahu kayu dan mimpi yang kian memudar.
Di tengah riuhnya slogan “tanah surga”, para nelayan itu diam, berjuang dalam senyap. Mereka yang seharusnya menjadi tuan di lautnya sendiri justru merasa seperti tamu tak diundang di perairan tempat mereka lahir dan besar. Surga itu ada, tapi tak lagi ramah bagi mereka.
Namun, di balik janji manis negeri yang dijuluki “tanah surga”, suara para nelayan kian tenggelam, terpinggirkan oleh gemuruh ekonomi yang tidak berpihak. Dalam narasi panjang perjalanan bangsa ini, mereka yang menggantungkan hidup pada gelombang laut dan perairan darat adalah kelompok yang paling sering dilupakan.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan bahwa jumlah nelayan di Indonesia meningkat hingga 400 ribu orang dalam lebih dari satu dekade, mencapai 3,03 juta jiwa pada tahun 2022. Dari angka itu, mayoritas sekitar 2,40 juta jiwa-mengais rezeki di laut, sementara sisanya, 632 ribu orang, menggantungkan hidup dari perairan darat seperti sungai, rawa, dan danau, meski terdengar besar, jumlah ini sebenarnya hanya mencakup 1,10% dari total penduduk Indonesia. Profesi nelayan, dalam kenyaataanya, bukanlah pilihan mayoritas.
Lalu, bagaimana nasib mereka? Data menunjukkan cerita yang tidak seindah harapan. Nilai Tukar Nelayan (NTN), indikator kesejahteraan para nelayan, terus merosot sepanjang tahun 2023. Pada akhir tahun, angka ini menyentuh 102,51-pencapaian terendah dalam setahun. Penurunan ini menggambarkan betapa pendapatan para nelayan tak mampu lagi mengimbangi biaya hidup yang terus melambung.
Ironisnya, ini terjadi di negeri dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, di perairan yang akan kayak biodiversitas laut. Mengapa profesi yang menjadi tulang punggung sektor kelautan ini malah seperti berjalan di atas karang tajam?
Angka NTN yang berada di atas 1 sejatinya menandakan bahwa pendapatan nelayan masih cukup untuk menutup kebutuhan konsumsi mereka. Namun, tren penurunan NTN sepanjang telah menjadi alarm keras. Pendapatan nelayan yang terus menurun bukan hanya berdampak pada kemampuan mereka memenuhi kebutuhan harian, tetapi juga melemahkan daya beli masyarakat pesisir secara keseluruhan.
NTN sendiri adalah tolak ukur penting untuk menilai kesejahteraan para nelayan. Indikator ini menggambarkan kemampuan mereka untuk menukar hasil tangkapan dengan barang dan jasa yang diperlukan untuk hidup. Ketika NTN merosot, itu berarti keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran semakin berat sebelah. Nelayan harus berjuang lebih keras untuk memenuhi kebutuhan dasar, sering kali mengorbankan banyak hal demi bertahan.
Ironisnya, di balik data ini tersimpan kenyataan yang lebih getir. Dari total 2,7 juta nelayan di Indonesia, mereka menyumbang hingga 25% angka kemiskinan nasional. Artinya, seperempat dari seluruh penduduk miskin di Indonesia adalah nelayan atau keluarga nelayan. Lebih dari separuh keluarga nelayan sekitar 53% tinggal di wilayan pesisir dengan kondisi yang tidak jauh lebih baik.
Bagi banyak nelayan, utang yang tidak mampu dilunasi jerat yang tak terhindarkan. Laut yang dulu mereka pandang sebagai sumber kehidupan kini berubah menjadi medan perjuangan yang tak hanya melawan alam, tetapi juga tekanan ekonomi.
Kisah para nelayan adalah cerita tentang individu-individu tangguh yang terus melawan ombak, bukan hanya di laut tetapi juga dalam kehidupan. Sayangnya, perjuangan mereka sering kali berujung pada dilema yang menyakitkan: memilih bertahan dengan keterbatasan atau meninggalkan profesi yang telah menjadi identitas mereka selama berabad-abad.
Laut Indonesia yang kaya raya seharusnya menjadi berkah, tetapi bagi banyak nelayan, itu justru menjadi sumber nestapa. Mereka yang dulu berlayar dengan harapan pulang membawa berkah kini kembali dengan kantong kosong dan hati yang letih, Di negeri “tanah surga”, kemiskinan para nelayan menjadi pengingat bahwa kemakmuran belum menyentuh semua.
Tanggapan