Dampak Krisis Iklim di Pesisir dan Laut

Penelitian yang dipublikasikan Nature Climate Change menemukan bahwa lebih dari setengah pantai berpasir di dunia diperkirakan akan hilang pada akhir abad ini, jika emisi gas rumah kaca tidak segera diatasi.

Meski sudah ada upaya untuk mengatasi krisis iklim, emisi global diprediksi memuncak pada 2040 dan sekitar 37 persen pantai di dunia diperkirakan akan tenggelam pada 2100.

Dalam penelitian tersebut, para peneliti menganalisis data satelit yang memperlihatkan perubahan garis pantai sejak 1984 sampai 2016 dan menemukan sekitar seperempat pantai berpasir di seluruh dunia sudah tererosi dengan tingkat kerusakan 0,5 meter per tahun dan menyebabkan sekitar 28.000 kilometer persegi daratan tenggelam.

Sementara itu, para peneliti dari Nanyang Technological University (NTU) Singapura mengemukakan bahwa permukaan laut akan naik lebih dari satu meter pada 2100 dan meningkat menjadi lima meter pada 2300 jika target emisi global tidak tercapai. Proyeksi gelombang kenaikan air laut ini diprediksi akan menghancurkan wilayah pesisir.

Di Indonesia, abrasi akibat ombak yang mengikis garis pantai telah lama terjadi. Di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa, misalnya, banyak tambak bandeng yang musnah secara perlahan akibat abrasi sejak 1970-an.

Begitu juga di Muara Gembong, Bekasi, belasan hektar tambak bandeng kini rata dengan air sehingga sumber pendapatan masyarakat setempat hilang dan sekitar 2.000 kepala keluarga harus mengungsi ke dataran yang lebih tinggi. 

Hal serupa terjadi di Demak, Jawa Tengah. Sementara di Tuban, Jawa Timur, wilayah daratan habis ditelan ombak secara perlahan dan mengakibatkan garis pantai sepanjang 13.682 km persegi rusak.

Ancaman Tenggelamnya Wilayah Pesisir di Indonesia

krisis iklim

Kemusnahan tambak ikan bandeng tentu bukan satu-satunya ancaman akibat krisis iklim. Studi Climate Central memperkirakan bahwa air laut akan meninggi 20 hingga 30 cm pada 2050 dan menenggelamkan pemukiman di kawasan pesisir Indonesia yang dihuni oleh 23 juta penduduk, termasuk Jakarta.

Peneliti geodesi dan geomatika dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Heri Andreas, mengungkapkan bahwa ancaman tersebut bukan hanya disebabkan oleh kenaikan air laut, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor penurunan muka air tanah yang disebabkan ulah manusia. 

Misalnya saja, eksploitasi terumbu karang, ikan laut, dan penambangan pasir secara besar-besaran yang berdampak besar terhadap ketimpangan ekosistem laut sehingga mengakibatkan abrasi. 

Lebih lanjut lagi, ia juga mengatakan bahwa ancaman tenggelam tidak hanya tertuju pada wilayah Jakarta dan pesisir utara Pulau Jawa, tapi juga pesisir timur Sumatra, Kalimantan, dan Papua bagian selatan.

Hal ini disebabkan oleh hampir seluruh wilayah pesisir di Indonesia merupakan dataran rendah yang berpotensi mengalami penurunan tanah sehingga potensi banjir laut pun sangat mungkin terjadi.

Hilangnya Keanekaragaman Hayati Secara Mendadak

Berdasarkan skenario kenaikan emisi gas rumah kaca paling tinggi, setidaknya 50 persen spesies di dunia akan kehilangan habitat mereka akibat krisis iklim. Proyeksi suhu dan curah hujan tahunan sejak 1850 hingga 2100 terhadap lebih dari 30.000 spesies memprediksi terjadinya kehilangan keanekaragaman hayati secara mendadak.

Kenaikan suhu akibat krisis iklim mengakibatkan sejumlah spesies tidak mampu bertahan hidup. Meski ada beberapa spesies dengan siklus hidup pendek yang mampu beradaptasi, sebagian besar spesies dengan siklus hidup panjang seperti halnya burung dan mamalia kemungkinan besar tidak dapat menyesuaikan diri sehingga hanya akan ada sedikit generasi dari spesies-spesies tersebut yang bertahan.

Kemusnahan keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh gelombang pasang laut yang memutihkan terumbu karang bahkan sudah terjadi di laut tropis. Hilangnya keanekaragaman hayati secara mendadak ini tentu berdampak besar terhadap kesejahteraan manusia, terutama mereka yang hidupnya bergantung pada alam.

Oleh karena itu, mata pencaharian yang hilang, tempat tinggal yang tergerus, stabilitas ketahanan pangan dan ekosistem di wilayah pesisir yang rusak akibat krisis iklim menjadi catatan penting bagi kita semua agar sesegera mungkin melakukan upaya pencegahan.

Siapkah Indonesia Menghadapi Dampak Krisis Iklim?

Beberapa upaya telah dilakukan Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim. Mulai dari peningkatan kapasitas untuk beradaptasi bagi masyarakat pesisir, pengembangan sektor wisata bahari, sampai penggunaan solusi hybrid untuk melindungi pantai. Sayangnya, mitigasi (upaya untuk mengurangi risiko bencana) masih kurang optimal.

Padahal, berbagai forum global sudah menekankan pentingnya fungsi laut dalam mitigasi. Misalnya, pengurangan emisi dapat dilakukan dengan memanfaatkan energi terbarukan dari laut. Apalagi, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan potensi laut yang sangat besar sehingga bisa memanfaatkan energi dari pasang surut dan gelombang laut serta konversi energi dari panas laut sebagai energi terbarukan.

Selain itu, perhatian masyarakat maupun pemerintah dalam hal ini juga masih tertuju pada peluang ekosistem kunci, yaitu terumbu karang, mangrove dan padang lamun. Padahal, laut lepas dapat menampung banyak ekosistem dan organisme laut yang berfungsi menyerap karbon dalam jangka panjang.

Baik terumbu karang, mangrove maupun padang lamun memang memiliki potensi mitigasi yang cukup tinggi. Namun, potensi keduanya dalam melepaskan emisi juga akan menjadi besar jika terjadi degradasi lingkungan. Apalagi, konversi alih guna lahan menjadi lahan tambak di Indonesia masih cukup banyak terjadi.

Kearifan Lokal Sebagai Bekal

Masyarakat adat merupakan salah satu kelompok paling rentan terhadap berbagai isu, termasuk krisis iklim. Meski hanya 5 persen dari populasi dunia, kelompok ini telah memberikan kontribusi nyata dalam perlindungan keanekaragaman hayati. Praktik kebudayaan yang dilakukan masyarakat adat terbukti mampu menjaga keseimbangan ekosistem alam.

Misalnya, kebudayaan berpindah mengikuti perubahan musim tahunan pada orang suku laut dilakukan untuk mengurangi ancaman kemarau panjang dan badai laut. Selain itu, ada juga praktik kebudayaan untuk memperkirakan cuaca dengan melihat tanda-tanda alam, arah angin, pergerakan hewan, observasi langit, serta arus dan suhu laut.

Dalam mengatasi perubahan iklim, kearifan ekologi lokal tersebut sebenarnya sangat bisa dilakukan dan diadaptasi oleh kelompok lain yang bukan masyarakat adat.

Sementara itu, kepercayaan adat yang melarang masyarakat untuk menebang pohon, menangkap spesies tertentu, atau melakukan hal-hal yang merusak sering kali dianggap tabu. Padahal, upaya tersebut tidak hanya bermakna spiritual, tapi juga penting untuk menjaga ekosistem lingkungan adat itu sendiri.

Dengan demikian, seyogianya kita tidak memandang sebelah mata berbagai macam praktik kearifan lokal karena sejak dulu, jauh sebelum adanya teknologi, masyarakat adat sudah lebih dulu bercengkrama dengan alam dan melindunginya untuk generasi mendatang.

Saat ini, arah kebijakan pemerintah masih belum memperhatikan kearifan lokal tersebut sebagai upaya mitigasi berbasis masyarakat. Selain itu, diperlukan juga riset mendalam lintas disiplin ilmu terkait masyarakat adat dan perubahan iklim sehingga nantinya, hasil riset tersebut dapat digunakan sebagai acuan atau bekal menghadapi perubahan iklim.

Pelibatan masyarakat, baik adat maupun nonadat, juga menjadi sangat penting dalam upaya pencegahan dampak krisis iklim karena setiap elemen masyarakat memiliki hak untuk ikut merumuskan kebijakan pembangunan, terutama yang berhubungan dengan wilayah adat dan lingkungan tempat mereka tinggal.***

Baca juga: Muara Gembong: Sisi “Segar” Bekasi

Artikel Terkait

Tanggapan