Sampah Kita, Bencana Mereka: Kisah dari Kepulauan Seribu

Semasa hidup, manusia pada hakikatnya akan menghasilkan suatu buangan, baik diinginkan maupun tidak, baik bisa diatur maupun tidak. Sampah, limbah, atau buangan-buangan lain akan terus ada sampai manusia dan makhluk hidup lain tiada. Dengan kata lain, sampai manusia terakhir tiada, sampah akan terus ada dan kita hasilkan. Tetapi, ada satu kuasa menarik yang kita punya sebagai manusia, kita punya kuasa akan kita buat pergi ke mana dan selanjutnya akan diapakan sampah yang kita hasilkan dalam kehidupan sehari-hari tersebut, sebuah kuasa untuk mengendalikan.

Akhir pekan kemarin, aku bersama teman-teman Ocean Defender Indonesia berkesempatan untuk mengunjungi Pulau Pari, satu dari banyaknya pulau di Kepulauan Seribu. Tidak sengaja melihat tumpukan botol-botol plastik dan kardus-kardus bekas yang terkumpul dengan sangat rapi, aku teringat dengan pemandangan bank sampah yang seringkali dikunjungi Ibuku di dekat rumah. Ingatan tersebut membawaku untuk berbincang dengan salah satu Ibu di Pulau Pari yang mengumpulkan botol-botol plastik dan kardus-kardus bekas tersebut.

Perbincanganku dengan beliau terbawa hingga kepada satu topik menarik, mengenai satu musim tambahan yang dimiliki oleh Pulau Pari, musim limbah. Musim limbah di Pulau Pari ini biasa terjadi bersamaan dengan musim timur atau musim angin timur. 

Kenapa disebut sebagai musim limbah? Mungkin ada yang sudah bisa menebak jawabannya.

Yang terjadi pada musim ini adalah pesisir Pulau Pari kedatangan tamu dari kota-kota di Jakarta berupa sampah-sampah hasil buangan warga kota Jakarta. 

Keberadaan dan jumlah sampah yang ada di laut salah satunya dipengaruhi oleh angin muson yang memengaruhi gerakan arus permukaan laut. Ada banyak nama dan sebutan untuk fenomena yang menyebabkan musim limbah di Pulau Pari; angin muson timur, angin musim timur, musim timur, musim angin timur, dll. Semuanya punya konsep yang sama, yaitu fenomena dimana angin bertiup dari wilayah timur ke wilayah barat. 

Musim timur ini memungkinkan sampah-sampah dari kota Jakarta terbawa dan terdampar ke pulau-pulau di Kepulauan Seribu, Pulau Pari salah satunya.

Warga-warga pulau yang terdampak sudah menyadari apa yang diberikan warga dari daerah lain dan dibawakan kepada mereka, tapi bagaimana dengan warga yang menghasilkan sampah tersebut? Yang tidak menyadari bahwa kelalaian mereka yang dibarengi dengan sistem pengelolaan sampah yang buruk justru memberikan dampak buruk kepada orang lain di seberang tempat tinggalnya yang dipisahkan oleh lautan.

Aku teringat oleh salah satu kalimat yang diucapkan seorang siswi sekolah menengah di Kepulauan Seribu, Ia memberikan kritik atas slogan “Laut sehat, dari kita, untuk kita” yang pernah aku utarakan. Ia mempertanyakan siapa “kita” yang dimaksud pada slogan tersebut jika mereka yang sudah berusaha menjaga laut malah merasakan dampak “untuk kita” yang diberikan oleh pihak yang merusak laut.

Akan kita buat pergi ke mana dan selanjutnya akan diapakan sampah yang kita hasilkan dalam kehidupan sehari-hari kita, kita punya kuasa akan hal tersebut, jika tidak sepenuhnya, setidaknya sedikit bagian yang bisa mengurangi kerusakan yang kita buat terhadap lingkungan kita. Memilah sampah dari rumah, mengirim sampah hasil rumah tangga kita ke bank sampah, mengolah kembali apa yang masih bisa diolah dan ditingkatkan nilainya, dan mendesak pemerintah untuk menyediakan sistem pengelolaan sampah yang lebih baik. Hal-hal tersebut adalah beberapa dari banyaknya cara kita mencegah kerusakan dari diri kita sendiri.

Kembalinya aku dari Pulau Pari, aku terpikirkan akan satu hal. Mungkin, ada pertanyaan-pertanyaan yang harus ditanyakan masyarakat kota ketika ingin membuang sampahnya dengan sembarangan, yang salah satunya bisa berbunyi, “Siapa yang akan terdampak dari hal ini?” Mungkin segenggam empatilah yang akan membantu kita mewujudkan laut yang benar-benar sehat bagi kita semua, karena di balik laut yang tidak sehat, tersimpan ketidakadilan yang justru seringkali paling dirasakan oleh mereka yang menghasilkan dampak negatif lebih sedikit.

Artikel Terkait

Tanggapan