Bukan Lagi Pasir Perawan: Kisah Tragis Pulau Pari yang Terancam Tenggelam dan Terkikis Investasi Nakal

Pulau Pari, salah satu permata wisata di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, belakangan ini tengah menghadapi ancaman serius. Pulau yang dulu dikenal karena pasir putihnya dan laut yang tenang, kini digerus oleh krisis iklim dan pembangunan yang tak terkendali. Pantainya terkikis habis, banjir pasang (rob) semakin sering datang, dan naiknya permukaan laut membuat lingkungan pesisir makin tak bersahabat.
Warga setempat mencatat bahwa abrasi telah merusak tiga pantai utama, yakni Pasir Perawan, Pantai Bintang, dan Rengge, dengan mundurnya garis pantai sejauh enam sampai delapan meter. Situasi ini jelas menekan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat yang sebagian besar menggantungkan hidup dari laut dan pariwisata.
Krisis Iklim dan Dampaknya
Sebagai pulau kecil, Pari berada di barisan terdepan menghadapi dampak perubahan iklim. Sejak 1980-an, permukaan laut di kawasan Kepulauan Seribu tercatat naik rata-rata 4,17 mm setiap tahun. Cuaca ekstrem, badai, dan banjir menjadi lebih sering terjadi. Bahkan, beberapa pulau kecil di sekitar Jakarta telah tenggelam, seperti yang tercatat pada tahun 1999.

Di Pulau Pari sendiri, warga kini harus bersiap menghadapi banjir rob setiap musim hujan. Hujan yang tidak menentu memperparah krisis air bersih, dan air laut yang merembes ke daratan mulai merusak lahan pertanian warga. Nelayan pun mengeluh hasil tangkapan mereka semakin sedikit. Rumput laut sulit tumbuh, tanaman pangan ikut terdampak, dan sektor wisata pun ikut lesu akibat pantai-pantai yang makin menyempit.
Reklamasi Ilegal dan Pengerukan Pasir
Kerusakan lingkungan tak berhenti di situ. Aktivitas reklamasi dan pengerukan pasir yang dilakukan oleh perusahaan swasta makin memperparah kondisi. Pemerintah menemukan bahwa PT Central Pondok Sejahtera (CPS) melakukan pengurukan laut secara ilegal, di luar izin yang mereka miliki. Seharusnya, izin tersebut hanya digunakan untuk membangun cottage apung dan dermaga wisata. Namun kenyataannya, mereka mengeruk pasir dalam skala besar tanpa izin tambahan.

Dampaknya langsung terasa padang lamun dan terumbu karang rusak berat karena tertutup sedimentasi. Mangrove yang baru ditanam pun kini terancam tenggelam. Nelayan kembali jadi korban, karena wilayah tangkap mereka berkurang drastis dan daya tarik wisata bahari menurun karena rusaknya ekosistem laut.
Menurut warga, hingga tahun 2025 alat berat masih terus dioperasikan di sekitar pulau, menghancurkan dasar laut yang sebelumnya kaya akan kehidupan. Aktivitas seperti ini bukan hanya merusak alam, tetapi juga memicu konflik dengan masyarakat lokal yang merasa terpinggirkan.
Konflik Agraria Pulau Pari
Pulau Pari tak hanya digempur dari sisi ekologi, tapi juga mengalami tekanan dari sisi agraria. Sejak beberapa tahun terakhir, muncul klaim sepihak dari PT Bumi Pari Asri, anak perusahaan dari Grup Bumi Raya Utama, yang menyebut menguasai hampir seluruh wilayah pulau bahkan mencapai 92%. Ini bertentangan dengan kenyataan bahwa sebagian besar warga telah menempati lahan itu secara turun-temurun.
Sejak 2015, beberapa warga menerima somasi dan bahkan ada yang sampai dijatuhi hukuman penjara karena dianggap menyerobot lahan yang diklaim milik perusahaan. Sebagai bentuk perlawanan, warga menancapkan bambu runcing di depan rumah mereka tanda bahwa mereka tak akan menyerah begitu saja.
Ombudsman Jakarta pun menemukan indikasi kuat adanya mal administrasi dalam penerbitan puluhan sertifikat tanah atas nama perusahaan. Warga menuntut hak ruang hidup mereka diakui kembali oleh pemerintah. Namun hingga kini, konflik itu belum menemui titik terang, dan nasib warga tetap menggantung.
Dampak pada Masyarakat dan Ekonomi Lokal
Kondisi ini menekan berbagai sisi kehidupan masyarakat Pulau Pari. Nelayan kehilangan spot melaut karena laut dangkal makin rusak, sementara para petani rumput laut kesulitan berproduksi. Pendapatan mereka menurun tajam. Warga yang bergantung pada wisata seperti pemilik warung, penginapan, dan penyedia jasa transportasi wisata pun ikut merugi.

Pantai yang rusak, lingkungan yang tak lagi sejuk, dan laut yang keruh membuat wisatawan enggan datang. Pari bukan lagi destinasi tropis yang memesona seperti dulu. Jika konflik tanah terus dibiarkan dan lingkungan tak diselamatkan, pulau ini bisa kehilangan seluruh identitas sosial, ekonomi, dan budayanya.
Pulau Pari adalah bagian penting dari wajah Jakarta yang mesti kita jaga bersama. Ini bukan sekadar isu lingkungan, tapi soal keadilan dan hak hidup. Pemerintah harus tegas menghentikan aktivitas ilegal, meninjau ulang izin yang bermasalah, serta memulihkan hak masyarakat.
Restorasi lingkungan perlu dilakukan segera tanam kembali mangrove, perbaiki padang lamun, dan dukung nelayan lokal. Aktivitas wisata pun harus diarahkan ke jalur yang berkelanjutan. Dan yang terpenting: ruang hidup warga tidak boleh dikorbankan atas nama investasi. Menyelamatkan Pulau Pari bukan hanya tugas warga pulau, tapi tugas kita semua. Karena jika satu pulau kecil bisa diselamatkan, kita juga punya harapan menyelamatkan pulau-pulau lainnya dari nasib serupa.
Sumber:
- Memperkuat Ketahanan Iklim Pulau Pari dan Pulau-Pulau Kecil Lainnya – Green Network Asia – Indonesia
- Reklamasi Ilegal di Kepulauan Seribu: Dampak dan Tantangan – Marine and Coastal Policy Research
- Masyarakat Pulau Pari, Bertahan di Tengah Berbagai Tantangan [2]
- Sengketa Tanah, Sebagian Warga Pulau Pari Pasang Bambu Runcing
- Kembalikan Hak Konstitusi dan Hak atas Tanah kepada Warga Pulau Pari !!! | WALHI
- ORI nyatakan SHM dan SHGB PT. Bumi Pari Asri Maladministrasi
Tanggapan