Penyu dan Kearifan Lokal Suku Moi Melestarikan Alam

Ekspedisi Pulau Um Bagian 1. (Penyu Pulau Um)

Hai Kawan-kawan, Salam Ekspania!

Ekspania (Ekspedisi Paru-paru Dunia) adalah rekaman perjalanan saya selama tinggal di Tanah Papua.

Dalam perjalanan ini saya mencoba menyampaikan pesan-pesan pelestarian alam melalui rekaman video photo dan tulisan.

Saat ini saya juga bekerja dan dipercayakan menjadi Jurukampanye Laut di Greenpeace Indonesia.

Ayo kita kilas balik salah satu cerita perjalanan saya ini ya…

Rencana Lama

Saat ini saya sedang berada di Kabupaten Sorong, Papua Barat. Saya sedang menempuh perjalanan menuju sebuah pulau kecil di pesisir utara Kabupaten Sorong. Sebuah pulau impian saya di Tanah Papua, namanya Pulau Um.

Um adalah bahasa lokal masyarakat Suku Moi di Sorong yang berarti Kelelawar. Pulau Um adalah rumah bagi ribuan, mungkin ratusan ribu atau mungkin bahkan jutaan kelelawar pada saat siang hari.

Namun, pada malam hari pulau ini menjadi rumah bagi ribuan, mungkin ratusan ribu burung camar. Dan tidak hanya itu, Pulau Um juga salah satu tempat yang paling baik bagi Teteruga (penyu) untuk menitipkan telor mereka, Woow..!

Selain menyaksikan dan menikmati kesunyian di pulau Um. Momen yang paling saya impikan dari perjalanan ke pulau Um adalah ketika malam menjelang.

Saya menyaksikan detik-detik pergantian kekuasaan penghuni pulau dari kelelawar siang hari dan burung camar pada malam hari. Momen ini terjadi setiap sore ketika matahari terbenam. Seru!

Perjalanan ini telah saya impikan semenjak lama. Dan siang ini saya berangkat menuju Pulau Um ditemani oleh beberapa orang masyarakat asli Suku Moi sebagai Pemilik Ulayat Pulau Um.

Menuju Pulau Um

Untuk menuju Pulau Um, kami harus melakukan perjalanan dengan mobil menuju pantai utara Kabupaten Sorong dengan waktu tempuh kurang lebih 2 jam melintasi daerah perbukitan di dataran tinggi Domberai.

Domberai adalah salah satu wilayah adat di Tanah Papua yang meliputi kepala burung, membentang dari Sorong, tambraw, Manokwari, Bintuni, Wondama dan termasuk kepulauan raja ampat.

Perjalanan ini memang kami pilih sore hari, agar kami dapat menikmati momen mentari tenggelam sebagai moment terbaik di Pulau Um.

Tujuan perjalanan kami adalah ke Kampung Malaumkarta, di Distrik Makbon, Kabupaten Sorong.

Oh iya teman-teman, distrik adalah sebutan untuk kecamatan dan begitulah kami di Papua menyebutnya.

Sesampai di Kampung Malaumkarta, sekitar pukul 4 sore dan kami berhenti tepat di pantai yang mengahadap langsung ke Pulau UM yang berjarak kurang lebih 1 km dari daratan tanah besar.

Kawasan pesisir pantai Kampung Malaumkarta juga sangat indah dengan pasir putih yang ditumbuhi pohon ketapang dan beberapa pohon pelindung lainnya.

Tempat ini sangat nyaman dijadikan lokasi untuk beristirahat sambil menunggu perahu yang akan mengantarkan kami ke pulau Um.

Penyu Pulau Um

Kawan-kawan, selain menjadi lokasi konservasi, Pulau Um juga sedang dikembangkan untuk menjadi lokasi ekowisata dan dikelola oleh masyarakat Suku Moi di Malaumkarta, sehingga kita degan mudah menemukan masyarakat yang memberikan jasa antar jemput dari dan ke Pulau Um melalui Pesisir Kampung Malaumkarta.

Kabarnya setiap hari libur, cukup banyak masyarakat yang berkunjung ke kampung Malaumkarta dan perjalanan ini sengaja saya lakukan di luar hari libur, agar saya benar-benar merasakan suasana pulau Um yang tenang dan damai.

Karena saya berangkat bersama masyarakat lokal Suku Moi, saya mendapatkan banyak kemudahan, terutama akses dan kontak dengan masyarakat Kampung Malaumkarta.

Untuk meyeberang ke Pulau Um, Kami diantarkan oleh motoris salah seorang Pemuda dari Kampung Malaumkarta, kaka Rambo, begitu masyarakat memanggilnya.

Kami menyeberang ke Pulau Um di bawah cuaca yang sangat bersahabat, gelombang laut yang ramah serta langit yang cerah.

Kearifan Lokal Suku Moi

Dalam perjalanan saya menyempatkan diri untuk barbagi cerita dengan motoris yang mengantarkan kami dan ternyata salah satu pewaris ulayat Pulau Um.

Kaka Rambo bercerita bahwa Pulau Um sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka semenjak nenek moyangnya dan dijaga secara turun-temurun.

Saat ini masyarakat Kampung Malaumkarta adalah tameng pertama yang akan selalu menjaga Pulau Um dari berbagai aktivitas manusia yang akan merusak keseimbangan alam di Pulau Um.

Masyarakat adat suku Moi di Malaumkarta sangat menjunjung tinggi kearifan lokal mereka sehingga tidak ada yang berani merusak ekosistem di Pulau Um.

Saya merasa sangat beruntung sekali bisa berbincang sejenak dengan Kaka Rambo karena saya mendapatkan informasi langsung dari masyarakat adat pemilik ulayat Pulau Um.

Sambutan Alam

Perjalanan menyeberang ke Pulau Um tidak terlalu lama, kurang dari 30 menit. Ketika mendekati pulau ini, kami disambut oleh pemandangan menakjubkan.

Salah satu pemandangan terbaik yang pernah saya saksikan, dan bahkan di Manokwari pun saya tidak bisa menemukan pemandangan sebaik ini. Air laut biru yang bening dan hamparan pasir putih disapu obak di bibir pantai siap menyambut kami.

Semakin menepi, pemandangan dibawah lautpun semakin terpapar, gerombolan ikan-ikan kecil berenang di air yang dangkal dan bening dan memantulkan pasir putih.

Pulau Um ditutupi pohon cemara yang masih rindang dan rapat, membuat suasana di pulau ini semakin menakjubkan dan eksotis. Akan tetapi di bagian selatan pulau Um terdapat beberapa pohon tumbang karena abrasi dan disapu ombak.

Kami mendarat di sisi timur Pulau Um yang teduh dan sejuk karena matahari sudah mulai turun condong di bagian barat. Setelah kami turun, kaka Rambo meninggalkan kami dan dia berjanji akan menjemput kami setelah matahari tenggelam.

Mendarat di Pulau Um adalah sebuah momen yang luar biasa buat saya. Sangat sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata karena momen ini sudah lama saya impikan.

Selama ini saya melihat Pulau Um dari beberapa video di Youtube dan juga dari cerita orang-orang tentang keberadaan pulau yang menakjubkan ini dan saya merasa benar-benar seperti berada di surga kecil yang jatuh ke bumi.

Deburan ombak pelan-pelan menyapu pasir putih dengan perlahan dan kesejukkan pemandangan hutan cemara dengan keriuhan suara kelelawar yang dari kejauhan mulai terdengar.

Sejenak saya mencoba menikmati suasana pulau yang luar biasa ini sambil bersyukur atas karunia yang maha hebat.

Alhamdulillah saya masih diberikan kesempatan untuk berada di sini.

Mengitari Pulau Um

Kawan-kawan, setelah terkagum sejenak, akhirnya kami memulai petualangan di pulau yang garis pantainya tidak lebih dari satu kilometer.

Hal pertama yang kami lakukan adalah berjalan kaki berkeliling pulau sambil mengenal Pulau Um lebih dalam.

Kami berjalan santai sambil menikmati kesejukkan air laut menyusuri sisi timur pulau yang teduh. Kami berjalan menuju sisi utara Pulau Um yang mulai terpapar sinar matahari senja.

Di sebelah utara pantai Pulau Um, terdapat hamparan pasir putih yang lebih luas dan sedikit padang rumput di sisi atasnya. Hamparan pasir putih yang menyilaukan mata karena terpapar sinar matahari yang mulai jatuh di sebelah barat.

Penyu Pulau Um

Sarang Siapa?

Ketika melayangkan pandangan ke arah rerumputan di atas punggung pasir putih, mata saya tertuju pada beberapa ranting kayu yang tertancap di atas pasir.

Ranting dengan tinggi kurang lebih 50 cm dengan label plasti berwarna putih diujungnya. Karena penasaran, saya mendekat dan mencoba untuk mencari tahu tulisan yang tertulis di label tersebut.

“ tgl : 24-5-2019 jenis: Lekang”

Tidak hanya satu, semakin saya berjalan mengitari gundukan pasir tersebut,  saya menemukan dua kayu tertancap dengan label putih.. kemudia ada tiga.. empat dan seterusnya.. dan akhirnya saya menemukan sebidang pasir putih yang dipagari dengan tali kira-kira berukuran 5 x 10 meter. Di dalam pagar tersebut terdapat puluhan kayu pandang dengan label putih.

Ternyata kayu pancang ini adalah penanda bahwa tepat di bawah kayu ini terdapat telur penyu. Label tersebut menjelaskan jenis penyu, jumlah telur dan tanggal telur-telur tersebut di telurkan oleh induknya.

Artinya, dibawah pasir tersebut terdapat ratusan dan mungkin ribuan telur penyu yang sedang dalam proses pengeraman.

Woow teman-teman.. ini luar biasa sekali dan saya benar-benar bahagia bisa berada di pulau ini.

Setelah saya konfirmasi kepada kaka Rambo, ternyata telur-telur penyu tersebut sengaja di kumpulkan oleh masyarkat di satu lokasi yang labih aman.

Sebagian besar telur yang di relokasi tersebut dipindahkan karena ditelurkan di daerah pasang surut sehingga rentan hanyut terbawa oleh ombak.

Agar telur-telur penyu tersebut aman, masyarakat mengumpulkan di tempat yang lebih tinggi sehingga dapat ditetaskan dengan cara alami. Sedangkan telur penyu yang tersebar secara acak di beberapa titik adalah telur yang disimpan secara alami oleh induknya.

Menyaksikan puluhan kayu pancang tersusun cukup rapi dan lengkap dengan petunjuk jumlah telur, waktu bertelur dan juga jenis penyu ini menjadi pengalaman dan pelajaran yang luar biasa buat saya.

Dari pulau ini kecil yang terpencil ini saya belajar bagaimana harmonisnya hubungan manusia dengan alam.

Masyarakat Suku Moi di Kampung Malaumkarta menunjukkan kepada kita semua betapa mereka sangat menghargai alam dan berdiri tegak sebagai benteng penjaga alam dan ini sudah berlangsung selama ratusan tahun.

Kawan-kawan, tidak hanya tentang penyu dan manusia, cerita dari Pulau Um berlanjut tentang bagaimana hebatnya relasi antara burung camar dan kelelawar dalam berbagi ruang dan waktu untuk hidup dengan damai.

Bersambung ke Ekspedisi Pulau Um Bagian 2.

Cerita berikutnya (Bagian 2) kita akan mengeksplor pulau Um lebih dalam. Kita akan menyaksikan ribuan ekor kelelawar bergelantungan di Pulau Um. Kita bisa merasakan hangatnya laut di bawah mentari senja. Terakhir yang tidak kalah seru, menikmati momen langka saat terjadinya pergantian kekuasaan antara kelelawar di siang hari dan burung camar di malam hari, ditemani matahari yang sedang tenggelam di ufuk barat, di Tanah Papua.

Editor: AN.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan