Hasil Laut Indonesia yang Diekspor ke Luar Negeri

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia tentu memiliki potensi hasil laut yang tidak sedikit. Apalagi, 30 persen dari total 70 persen perikanan Asia Pasifik ada di Indonesia. Potensi lestari sumber daya ikan laut yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan zona ekonomi eksklusif (ZEE) diperkirakan mencapai 12,54 juta ton per tahun.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat adanya kenaikan sebesar 10,8 persen nilai ekspor hasil perikanan Indonesia pada 2019, yaitu sebesar Rp73,6 miliar. Sayangnya, nilai tersebut masih kalah dari Vietnam. Padahal, hasil perikanan Vietnam jauh lebih sedikit ketimbang Indonesia.

Hal ini terjadi karena Vietnam sudah lebih dulu membeli ikan dari Indonesia, Thailand, dan Malaysia untuk kemudian diekspor ke Amerika dan Eropa. Artinya, pengolahan hasil laut Vietnam lebih baik ketimbang Indonesia.

lobster
Lobster di ekosistem terumbu karang. / Foto: Ricard Barnden / Greenpeace

Dengan kualitas yang baik, hasil laut Indonesia sebenarnya sudah diterima oleh 158 negara di dunia dengan pasar utamanya di Amerika Serikat, China, Jepang, Malaysia, Taiwan, Thailand, Singapura, Vietnam, Italia, dan Hong Kong. Sementara itu, komoditas utama ekspor hasil laut Indonesia antara lain adalah udang, tuna dan jenis ikan pelagis lainnya, cumi-cumi/gurita, rajungan, ikan demersal, tilapia, dan rumput laut.

Di tengah situasi pandemi sekalipun, Indonesia berhasil mengekspor 3.200 ton atau senilai Rp194,6 miliar hasil laut ke 13 negara, yaitu Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Mauritius, Reunion, Taiwan, Thailand, AS, Vietnam dan Lithuania.

Kepiting yang hidup di area mangrove. / Foto: Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Komoditas yang diekspor tersebut terdiri atas 28 jenis hasil laut, yaitu udang, cumi, paha kodok, sotong, cunang, cakalang, tuna, kakap merah, kerupuk ikan, bawal putih, kepiting kaleng, udang asin, tepung ikan, minyak ikan, keong kaleng, tempura udang, loin tuna, ikan kakak tua, ikan layaran, ikan kerapu, marlin, kepiting salju, ikan gulama, barakuda, cobia, ikan sebelah, dan tepung udang.

Sayangnya, meski volumenya terus naik, nilai ekspor hasil laut Indonesia baru mencapai 4% dari total produksi. Padahal, data Food and Agriculture Organization (FAO) 2020 menyebutkan kalau Indonesia adalah negara ke-3 dengan potensi perikanan tangkap laut terbesar di dunia setelah China dan Peru. Bahkan, Indonesia menyumbang 8% produksi perikanan dunia.

Skipjack tuna di Larantuka, Flores, Indonesia. / Foto: Paul Hilton / Greenpeace

Oleh karena itu, pemerintah menargetkan ekspor hasil laut bisa naik sebesar USD 1,5 miliar pada 2024. Untuk mencapainya, Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia (Perindo) Risyanto Suanda mengatakan bahwa Indonesia perlu melakukan langkah-langkah berikut:

  • Meningkatkan penjaminan kesehatan ikan, mutu, dan keamanan hasil perikanan melalui penerapan cara karantina ikan yang baik (CKIB) di unit usaha pembudidaya ikan, sistem hazard analysis and critical control points (HACCP) di unit pengolahan ikan, dan penerbitan health certificate (HC) untuk menjamin produk aman dikonsumsi manusia.
  • Memperbaiki sistem pengolahan ikan sampai mendapat sertifikasi HACCP untuk bisa mengekspor ikan di kawasan Asia, sertifikasi Food and Drug Administration (FDA) untuk kawasan Amerika Serikat, dan British Retail Consortium (BRC) untuk kawasan Eropa.
  • Mengintegrasikan operasi kapal untuk disebar di beberapa titik paling potensial, termasuk produksi budidaya di hulu.

Yuk, dukung peningkatan potensi ekonomi hasil laut Indonesia dengan menjaga laut supaya tetap lestari!***

Baca juga: Kebijakan Perikanan Terukur: Apakah Nelayan Tergusur atau Masa Emas Nelayan Akan Terukir?

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Overfishing dan Kekeringan Laut

Peningkatan suhu global menyebabkan peningkatan penguapan air dari permukaan laut, yang pada gilirannya meningkatkan konsentrasi garam dalam air laut. Kekeringan laut terjadi ketika air laut menguap lebih cepat daripada yang dapat digantikan oleh aliran air segar, seperti dari sungai-sungai atau curah hujan. Akibatnya, air laut menjadi lebih asin dan volume air laut berkurang.

Tanggapan