Kebijakan Perikanan Terukur: Apakah Nelayan Tergusur atau Masa Emas Nelayan Akan Terukir?

Kebijakan perikanan terukur adalah sebuah konsep pemanfaatan dan pengelolaan perikanan yang berbasis Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Kebijakan ini lahir dari program kerja Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono demi mewujudkan ekonomi biru (blue economy) yang merupakan pembangunan berbasis ruang kelautan dan perikanan yang berkelanjutan.

Indonesia memiliki 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) yang membentang dari Aceh sampai Papua, dimana setiap wilayah WPPNRI memiliki kapasitas sumberdaya masing-masing. Dari pemikiran tersebutlah terlahir konsep perikanan terukur sebuah kebijakan yang mengatur dan mengontrol strategi dan kegiatan perikanan tangkap di Indonesia.

Permen KP Nomor 18 Tahun 2021 tentang “Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan” menjadi salah satu terjemahan dari penangkapan ikan terukur dalam bentuk kebijakan, dimana penerapan konsep penangkapan ikan terukur ini membagi zonasi WPPNRI menjadi tiga, yaitu:

1. Zona industri terletak pada WPPNRI 572, 573, 711, 716, 717 dan 718.
2. Zona nelayan lokal terletak pada WPPNRI 571,712, 713 dan 715.
3. Zona pemijahan dan perkembangbiakan ikan (nursery and spawning ground) berada pada WPPNRI 714

Terdapat beberapa perbedaan yang signifikan antara kegiatan perikanan tangkap atau penangkapan konvensional selama ini dengan perikanan terukur. Selama ini kegiatan perikanan tangkap (konvensional) tidak ada perizinan untuk pengendalian dan tidak ada batasan kuota tangkapan kapal, sedangkan pada perikanan terukur mengatur pengendalian dengan perizinan dengan batasan kuota kapal.

Pelaku usaha dalam kegiatan penangkapan selama ini bersifat berlomba menangkap ikan sebanyak-banyaknya (race to fish), sedangkan perikanan terukur memberikan kuota kepada pelaku usaha penangkapan.

Penenerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) selama ini tidak memperhitungkan jumlah tangkapan yang didaratkan, sehingga ada kemungkinan bisa membayar PNBP terlalu banyak atau membayar PNBP terlalu sedikit, sedangkan pada perikanan terukur PNBP ditentukan berdasarkan jumlah tangkapan yang didaratkan.

Kebijakan perikanan terukur tentu memiliki tujuan, dimana tujuan tersebut terbagi dua, yaitu jangka pendek (output) dan jangka panjang (outcome).

Untuk jangka pendek (output), yaitu peningkatan lapangan kerja skala besar, pengembangan industri perikanan (seperti pengolahan ikan, pabrik es, cold storage, dan galangan kapal), pengembangan pariwisata berbasis bahari, peningkatan supply chain traceability pada produk perikanan, dan pengembangan jasa logistik.

Adapun tujuan jangka panjang (outcome), yaitu keadilan sosial dalam pemanfaatan sumber daya perikanan, kelestarian sumberdaya perikanan dan peningkatan perekonomian dari sektor perikanan tangkap.

Namun, ternyata banyak pihak yang menentang penerapan kebijakan ini, salah satunya Koalisi NGO untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) yang terdiri dari Destructive Fishing Watch (DFW), EcoNusa Foundation, Greenpeace Indonesia, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Pandu Laut Nusantara, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Yayasan Terangi.

KORAL menganggap bahwa perlu pertimbangan lanjut untuk penerapan kebijakan ini, karena KORAL merasa bahwa negara yang seharusnya memiliki peran dan fungsi dalam pengelolaan Sumber Daya Alam, namun karena konsep perikanan terukur posisi negara sudah menjadi sebagai pelaku usaha perikanan itu sendiri.

Dalam kebijakan perikanan terukur terdapat sistem kontrak antara pelaku usaha dengan negara dengan durasi waktu selama 15 tahun dan dapat diperpanjang, hal tersebut memungkinkan terjadi kegiatan penangkapan ikan selama 30 tahun lamanya oleh pelaku usaha yang diperbolehkan negara. Tentu nelayan dengan skala kecil akan tergusur jika durasi waktu yang diberikan kepala pelaku usaha cukup lama.

Disetiap kebijakan tentu ada pro dan kontra, namun ketika membahas kebijakan dengan skala nasional harus mempertimbangkan berbagai aspek dan mengedepankan nelayan skala kecil karena 90% nelayan yang di Indonesia adalah nelayan kecil yang menangkap di daerah pesisir (KKP, 2022). Semoga kebijakan ini bisa menjadi jawaban dari berbagai masalah yang ada di sektor kelautan dan perikanan Indonesia.***

Baca juga: Menghadapi Pseudo-science dan Disinformasi Krisis Iklim di Masyarakat

Editor: J. F. Sofyan

Sumber: Walhi, Situs KKP RI

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan