Peringkat Pengalengan Tuna Asia Tenggara 2020: Keberlanjutan dan Keadilan di Laut Lepas

Tahun 2020 adalah tahun keempat Pemeringkatan Perusahaan Pengalengan Tuna yang dilakukan oleh Greenpeace Asia Tenggara.

Ada sembilan merek tuna kaleng di Thailand, lima perusahaan pengalengan tuna di Indonesia, dan enam perusahaan pengalengan tuna di Filipina.

Dalam kurun waktu lima tahun, perusahaan-perusahaan ini telah membuat kemajuan besar dalam mengupayakan aspek keberlanjutan dan ketertelusuran penangkapan tuna. Namun demikian, langkah-langkah menuju industri tuna kaleng yang ramah pekerja, yakni bebas dari perlakuan yang kejam, sangat membutuhkan komitmen sehingga pencapaiannya bisa diukur. 

ikan laut
Greenpeace Ocean Director, John Hocevar membandingkan tuna kalengan di rak toko. / Foto: Tim Aubry / Greenpeace

Jumlah insiden pelanggaran ketenagakerjaan yang tercatat masih sangat tinggi dan ini terus menghantui industri pengalengan tuna di Asia Tenggara dan penangkapan tuna di Asia Timur sebagai pemasok utama pengalengan tuna di Asia Tenggara.

Hal ini mendorong Greenpeace untuk memasukkan kembali aspek ketenagakerjaan menurut indikator Hak Asasi Manusia berdasarkan kerangka penilaian yang ada, untuk memastikan bahwa tindakan kekerasan terhadap tenaga kerja dan kelestarian lingkungan mendapatkan penilaian yang adil.

Secara global, stok tuna terus mengalami penurunan akibat praktik penangkapan ikan yang merusak dan berlebihan, serta penangkapan ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan dan Tidak Diatur (IUU).

Illegal transshipment di perairan internasional yang dekat dengan ZEE Indonesia. / Foto: Shannon Service / Greenpeace

Perbudakan modern di laut dan pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan juga terus terjadi di armada penangkapan ikan jarak jauh yang ditemukan di berbagai belahan dunia. 

Pemberantasan perbudakan modern tidak cukup hanya dengan menulis kode etik pemasok dan kalimat perlindungan tenaga kerja di kebijakan perusahaan, serta dengan adanya audit pihak ketiga,  tetapi hanya sebagai formalitas di atas kertas.

Perusahaan harus melakukan uji kelayakan pada hak asasi manusia dan keberlanjutan, melebihi apa yang diperlukan di sektor lain, karena penangkapan tuna masih merupakan industri yang beresiko sangat tinggi. 

rantai ekspor perikanan
Penyelam kompressor di industri perikanan tuna. / Foto: Alex Hofford / Greenpeace

Untuk mencapai industri perikanan yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan sosial, Greenpeace Asia Tenggara selalu menyerukan kepada perusahaan untuk mengambil dari kapal ikan yang menggunakan alat tangkap  yang berkelanjutan dalam mematuhi tanggung jawab perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia dan menghentikan praktik IUU fishing dan transhipment

Kami selalu berharap di masa depan bisa menjadi lebih baik untuk terciptanya industri perikanan yang berkeberlanjutan serta yang ramah terhadap tenaga kerja.*** 

Lampiran:

–  Laporan Lengkap:  https://bit.ly/CanneryReport2020

– Siaran Pers:  https://www.greenpeace.org/southeastasia/press/43789/greenpeace-demands-sustainability-and-due-diligence-on-human-rights-for-tuna-industries-in-southeast-asia/

– Publication Post: https://www.greenpeace.org/southeastasia/publication/43793/sustainability-and-justice-on-the-high-seas-2020-edition-southeast-asia-canned-tuna-ranking/

– Blog: https://www.greenpeace.org/southeastasia/story/43808/better-normal-in-the-seafood-industry/

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan