4 Kasus Tumpahan Minyak di Perairan Indonesia

Salah satu penyebab pencemaran laut adalah tumpahan minyak (oil spill). Peristiwa ini biasanya disebabkan oleh hasil operasi kapal tanker (air ballast), perbaikan dan perawatan kapal (docking), terminal bongkar muat tengah laut, air bilga (saluran buangan air, minyak dan pelumas hasil proses mesin), scrapping kapal, dan kecelakaan/tabrakan kapal tanker.

Sejak 2018, terdapat empat kasus tumpahan minyak di wilayah perairan Indonesia yang mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat dan lingkungan. Sayangnya, keempat kasus tersebut sampai saat ini tidak memberikan hasil yang diharapkan, baik dalam hal penggantian kerugian ekonomi maupun pemulihan lingkungan.

1. Teluk Balikpapan (Maret 2018)

Tumpahan minyak di Teluk Balikpapan terjadi ketika kapal MV Ever Judger menjatuhkan jangkar yang menyeret dan memecahkan pipa milik Pertamina pada 31 Maret 2018. Akibatnya, lima ribu liter minyak tumpah dan mencemari perairan Teluk Balikpapan serta memicu kebakaran yang menyebabkan kematian lima orang nelayan.

Warga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Peduli Tumpahan Minyak (Kompak) telah mengajukan gugatan warga negara ke Pengadilan Negeri Balikpapan dengan tergugat Gubernur Kaltim, Bupati Penajam Paser Utara (PPU), Wali Kota Balikpapan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Perhubungan, dan Menteri Kelautan dan Perikanan. Gugatan tersebut kemudian dikabulkan sebagai petitum penggugat pada 18 Agustus 2020.

Sayangnya, pada September 2020, hakim menolak petitum pembuatan peraturan daerah terkait sistem informasi lingkungan hidup karena Bupati PPU telah melakukan upaya awal berupa pengajuan rancangan Peraturan Bupati (Perbup) tentang Penanggulangan Bencana dan Perbup tentang Peringatan Dini Penanggulangan Tumpahan Minyak di Teluk Balikpapan.

2. Karawang (Juli 2019)

Pada Juli 2019, sumur YYA-1 milik PHE ONWJ mengalami kebocoran dan tumpahan minyaknya mencemari wilayah perairan dan sepanjang pantai di Karawang. Tumpahan tersebut menyebabkan warga sekitar yang mayoritas bekerja sebagai nelayan kehilangan mata pencaharian mereka karena jumlah hasil tangkapan menurun drastis setelah peristiwa itu terjadi.

Sayangnya, banyak dari nelayan terdampak yang tidak terdata sehingga tidak mendapat ganti rugi dari Pertamina. Selain ganti rugi, warga perairan Karawang juga meminta Pertamina bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk segera melakukan pemulihan lingkungan karena setahun berlalu, sisa tumpahan minyak masih ada dan dampaknya masih terasa.

3. Kepulauan Seribu (Agustus 2020)

Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Kelautan (KPKP) Kabupaten Kepulauan Seribu mengonfirmasi adanya tumpahan minyak di wilayah Pulau Pari hingga kawasan perairan Pulau Tidung, Kepulauan Seribu, pada Agustus 2020.

Selain mencemari bibir pantai Pulau Pari sepanjang 2 km, tumpahan minyak tersebut juga mengakibatkan sejumlah biota laut mati dan budidaya rumput laut milik warga mengalami kerusakan.

Menurut pihak Pertamina Hulu Energi (PHE), ada dua kemungkinan penyebab tumpahan minyak tersebut, yaitu kebocoran sumur pengeboran PHE Offshore Southeast Sumatra (OSES) atau Offshore North West Java (ONWJ) dan kelalaian kapal pengangkut minyak/kapal-kapal yang nakal yang melakukan pencucian tangki di tengah laut. 

4. Kepulauan Riau (Setiap Tahun)

Tumpahan minyak di Kepulauan Riau, yang mencakup Batam dan Bintan, sudah terjadi selama puluhan tahun. Namun, sampai saat ini, pemerintah belum mengetahui sumber tumpahan minyak tersebut. Padahal, tumpahan tersebut terjadi setiap tahun dan mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat sekitar, mulai dari kerugian ekonomi di sektor perikanan, pariwisata, dan jasa, sampai lingkungan laut tercemar dan pesisirnya.

Pemerintah, melalui Kemenko Kemaritiman dan Investasi, telah membentuk Tim Oil Spill Daerah sejak 2018 dan bekerja sama dengan Malaysia dan Singapura untuk meneliti data kapal yang melintas di kawasan tersebut. Sejalan dengan itu, Kementerian Perhubungan menyatakan telah menempatkan Port State Control untuk mengawasi kapal asing di pelabuhan. Sayangnya, sumber tumpahan minyak masih belum juga diketahui.

Itulah keempat peristiwa tumpahan minyak yang hingga kini masih belum mendapat solusi. Mengingat dampak buruk yang diakibatkan oleh tumpahan minyak cukup besar, diperlukan upaya yang lebih keras dari pemerintah untuk menyelesaikannya. Beberapa langkah yang seyogyanya dilakukan antara lain adalah:

  • Melakukan pencegahan sedini mungkin dengan memastikan semua perangkat baik hardware dan software dalam setiap proses produksi dan distribusi minyak bumi berjalan sesuai regulasi dan menggunakan teknologi terbaru.  
  • Peningkatan strategi penegakan hukum yang tegas dalam pencemaran dan perusakan ekosistem laut yang terdiri atas kolaborasi antarkementerian dan lembaga, multiinstrumen penegakan hukum, serta dukungan sains dan teknologi.
  • Penerapan kebijakan terkait pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, seperti mitigasi, peringatan, pengembangan perencanaan nasional, pengembangan sistem pencemaran laut, dan pengendalian dampak sisa pencemaran di laut.
  • Penerapan sistem penanggulangan tumpahan minyak yang cepat dan tepat, serta koordinasi yang baik antarinstansi terkait dengan menerapkan 3 tingkat penanggulangan: a) Tier 1, penanggulangan oleh sarana, prasarana, dan personil yang tersedia di pelabuhan, unit pengusahaan minyak dan gas bumi, atau unit kegiatan lainnya; b) Tier 2, penanggulangan yang tidak mampu ditangani Tier 1; dan c) Tingkat 3, penanggulangan yang tidak mampu ditangani Tier 2 atau menyebar melintasi batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  • Transparansi hasil investigasi dari setiap penyebab kecelakaan tumpahan minyak sehingga bisa menjadi pembelajaran dan meningkatkan upaya pencegahan kejadian yang sama di masa depan. 

Baca juga: Terjadi lagi! Tragedi Tumpahan Minyak oleh Pertamina di Pesisir Karawang

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan