Perikanan yang Berkeadilan Tak Kunjung Diwujudkan Pemerintah Indonesia
Apa kamu sudah pernah menonton film dokumeter Seaspiracy (2021)? Kira-kira apa saja poin penting yang bisa kamu dapatkan?
Fenomena dalam film Seaspiracy patut menjadi perhatian bersama. Banyak masalah serius di sektor perikanan kita yang memerlukan kehhadiran pemerintah yang punya kuasa dan sumberdaya.
Film Seaspiracy mengugkap fenomena perilaku korporasi perikanan transnasional (lintas negara) dengan jaringannya di seluruh dunia yang memainkan peran ganda.
Satu sisi mereka seolah mempromosikan penangkapan ikan secara ramah lingkungan, akan tetapi pada saat yang sama mereka masih melakukan praktik perikanan ilegal dan destruktif yang megancam masa depan laut bahkan pelanggaran kemanusiaan pada insutri perikanan.
Praktik-praktik semacam ini masih luput dari pemeberitaan media sehingga bagi sebagian orang fenomena ini tak terasa nyatanya.
Praktik IUU Fishing semacam itu sangat berdampak pada kondisi perikanan nasional yang tak kunjung memenuhi harapan publik yakni menjadi penopang utama perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat yang merata.
Perikanan tangkap menjadi salah satu sumberdaya ekstraktif yang potensial untuk dikapitalisasi selain pertambangan dan kehutanan.
Desain kebijakan pembangunan perikanan nasional belum mengarah pada pencapaian kemandirian dan belum bisa keluar dari zona subordinasi kekuatan ekonomi pasar seafood global yang turut melanggengkan ketidakadilan dan ketergantungan yang merugikan masa depan perikanan Indonesia.
Perkembangan industri perikanan dunia menunjukan bahwa pada beberapa dekade lalu hingga kini, kekuatan industri seafood khususnya pengalengan tuna belum ergese dari dominasi “the big three”, yaitu perusahaan – perusahaan seafood raksasa transnasional yang berasal dari Amerika: Van Camp, Star Kist, dan Bumble Bee; Eropa: French Saupiquet, Italian Trinity Alimentari, dan Spanish Calvo; serta Asia: Thai Union dan Sea Value.
Sementara pelaku usaha perikanan Indonesia belum menjadi pemain utama dengan hanya berperan menyuplai kebutuhan bahan baku industri seafood dan peyuplai awak kapal perikanan yang rentan bagi negara lain seperti Thailand, Tiongkok, Jepang, Amerika, dan negara-negara di Eropa.
Indonesia sebagai negara produsen penangkapan hasil laut nomor tiga terbesar di dunia di bawah Tiongkok dan Peru, akan tetapi kontribusi Indonesia di pasar ekspor hanya 3,19 persen, tertinggal oleh Thailand (4,12 persen), Vietnam (6,25 persen) dan India (4,97 persen).
Tata Kelola Perikanan Indonesia Belum Memiliki Arah yang Jelas
Tata kelola perikanan nasional yang belum memiliki arah jelas menimbulkan ketidakadilan dan menjadi faktor yang berpengaruh mengapa industri perikanan nasional menjadi lambat berkembang dan cenderung jalan di tempat.
Orientasi kebijakan pembangunan perikanan selama ini masih sangat kuat mendasarkan pada kepentingan pertumbuhan ekonomi. Ini dilakukan dengan mengkapitalisasi potensi sumber daya alam perikanan Indonesia yang besar, serta mengikuti kekuatan pasar (supply-demand).
Namun kebijakan pembangunan perikanan abai dalam mendistribusikan manfaat secara adil, serta belum sungguh-sungguh mendorong tumbuhnya pelaku-pelaku ekonomi perikanan baru yang tangguh dan mandiri.
Dengan orientasi kebijakan yang demikian, sulit akan terjadi perubahan serta lompatan perkembangan industri perikanan yang signifikan di Indonesia yang mampu mengubah posisi Indonesia dari pinggiran menjadi pusat industri perikanan dunia.
Ketidakadilan perikanan tergambar dari tak terdistribusinya manfaat dari hasil perikanan yang begitu besar untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Nilai kontribusi dari hasil perikanan untuk penerimaan negara sangat kecil, yaitu Rp 521,94 milyar pada 2019, dan sangat kontras dengan pencapaian produksi seafood dari penangkapan sebesar 6,71 juta ton yang setara dengan Rp 261,3 triliun (FAO, 2020).
Demikian juga kegiatan perikanan yang menimbulkan bahaya kerusakan sumberdaya dan lingkungan serta fenomena pelanggaran HAM perikanan berupa kerja paksa dan kekerasan pada anak buah kapal (ABK) ikan termasuk ABK migran, dan juga pekerja anak masih terjadi dan luput dari perhatian.
Ada sekitar 23.346 nelayan ABK migran Indonesia yang tersebar di kapal-kapal ikan Jepang, Korea, Malaysia, dan Taiwan yang rentan mengalami praktik pelanggaran HAM, dan belum mendapat jaminan perlindungan dan keselamatan (Kompas.id).
Struktur penguasaan modal dan kepemilikan kapal ikan serta sebaran kapal di wilayah pengelolaan perikanan masih timpang.
Kepemilikan kapal dengan tonase di atas 30-60 GT masih didominasi oleh kepemilikan privat dan korporasi, sedangkan distribusi kapal ikan masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Struktur perikanan yang timpang ini belum mengalami perubahan sejak dua dekade lalu. Peran koperasi dan usaha mikro kecil menengah terhadap nelayan kecil belum maksimal dan seimbang dengan pelaku usaha perikanan korporasi skala besar.
Selain itu, orientasi pembangunan perikanan masih mengandalkan pada keunggulan komparatif dan belum beralih ke memaksimalkan keunggulan kompetitif.
Pembangunan perikanan digerakkan mencapai tingkat pertumbuhan produksi perikanan yang diarahkan untuk memenuhi permintaan bahan baku pada industri perikanan dunia.
Hal ini tercermin pada komposisi ekspor produk perikanan Indonesia yang didominasi oleh produk raw material dalam bentuk segar dan beku.
Dunia usaha perikanan belum dapat keluar dari ketergantungan dan pengaruh pasar seafood dunia yang terkonsentrasi pada kekuatan korporasi transnasional tertentu yang dominan, dan belum beralih menciptakan dan menumbuhkan kekuatan pasar alternatif baik di dalam negeri maupun di luar negeri melalui diplomasi perdagangan kerja sama antar negara dan kawasan.
Pembangunan perikanan dengan ciri sumber dayanya yang dinamis dan lintas batas memerlukan kebijakan negara yang powerfull, visioner, serta didukung oleh kuatnya kesadaran nasional bahwa sumberdaya perikanan dapat mendatangkan manfaat ekonomi yang besar dan bernilai strategis.
Sebab ikan selain menjadi sumber daya yang diperebutkan sebagai sumber protein dan pangan dunia yang diharapkan tidak akan punah hingga akhir jaman.
Tanpa adanya reformasi kebijakan perikanan yang mendasar dan struktural, akan sulit mengatasi permasalahan di atas dan keluar dari jebakan dan cengkeraman kekuatan pasar seafood dunia yang cenderung eksploitatif dan menguntungkan kepentingan perusahaan-perusahaan perikanan raksasa transnasional.
Hal ini tentu akan memperparah situasi ketidakadilan perikanan yang mengakibatkan ketimpangan, dan ketergantungan serta terjadinya krisis ekologi dan kemanusiaan.***
Tanggapan