Kok Air Laut Jakarta Warnanya Hitam Ya?

Pertanyaan itu muncul dipikiranku ketika pada bulan Januari lalu, aku berkesempatan jalan-jalan ke Pulau Seribu, tepatnya disekitar perkampungan nelayan Kamal Muara.

Perjalanan ini dimulai tepatnya pukul 08.00 WIB dengan menaiki kapal nelayan dari pelabuhan Kamal Muara menuju beberapa pulau di Pulau Seribu.

Sebelum menaiki kapal, aku juga sempat sedikit mengobservasi kondisi perkampungan nelayan di sekitar dermaga Kamal Muara ini. Keadaannya dapat dikatakan kurang bersih dan sanitasinya kurang baik.

PhotoGrid_1552319313849.jpg

Sepanjang perjalanan dari dermaga, yang kutemui hanyalah air laut berwarna hitam dan langit yang gelap. Akan tetapi, langit yang gelap ini bukanlah karena cuaca yang mendung.

Setelah beberapa menit berlayar, dari kejauhan aku melihat daratan yang terhampar luas namun masih kosong. Aku pun mengajak driver kapal nelayan ini berbincang.

Dugaanku benar. Dataran yang kulihat itu adalah hasil dari reklamasi teluk Jakarta, tepatnya Pulau G.

PhotoGrid_1552319492908.jpg

Rasa penasaran membuatku tergelitik untuk banyak bertanya kepada driver kapal ini (Mas B), seorang nelayan yang berusia 26 tahun. Usianya masih muda dan tidak terlalu beda jauh denganku, namun dia sudah menjadi nelayan sejak usia 9 tahun.

Aku pun mengajaknya berbincang seputar reklamasi teluk Jakarta ini. Terlebih, ketika aku melihat pemandangan reklamasi yang belum rampung ini.

Di kampus, aku memelajari seputar problematika antara nelayan dan reklamasi di Teluk Jakarta ini dan relevansinya dengan Ilmu Kesejahteraan Sosial yang aku tekuni.

Kebetulan, dosenku mengangkat kasus tersebut sebagai disertasinya. Ini adalah pengalaman pertamaku menyaksikan langsung hasil reklamasi di Teluk Jakarta secara dekat.

Berdasarkan informasi yang aku dapatkan dari Mas B, ternyata pada awal mula pembangunan reklamasi ini tidak meminta izin kepada masyarakat sekitar. Masyarakat pun kaget dan heran karena secara tiba-tiba terbentuk sebuah pulau di area mereka mencari ikan.

Aku merasa sangat sedih ketika Mas B menceritakan pada waktu itu, pihak pembangun reklamasi dengan seenaknya mencabuti bagan, sero, dan terna milik nelayan yang terpasang di berbagai titik.

Bagan, sero, dan terna milik nelayan itu merupakan alat yang berasal dari bambu dan dirakit untuk mendapatkan ikan dan kerang. Dengan mudahnya, pihak pembangun reklamasi mencabuti sumber penghidupan nelayan ini demi pembangunan sebuah pulau.

Bahkan ternyata, awalnya urukan pasir reklamasi ini sampai ke pelabuhan Kamal Muara, tempat kami menaiki kapal tadi.

Hal ini membuat masyarakat sekitar sangat marah karena mereka tidak mendapatkan pemberitahuan apapun. Pihak pembangun dapat dikatakan dengan seenaknya “mengambil” lahan mereka.

Atas perjuangan masyarakat bersama beberapa pihak, akhirnya pasir hasil urukan tersebut diangkut lagi dan tidak sampai pelabuhan Kamal Muara tersebut.

Pembangunan ini pun dikatakan tidak sesuai dengan AMDAL.

Pembangunan reklamasi ini jelas merusak lingkungan dan berdampak ke kehidupan sosial masyarakat sekitar.

Salah satu bukti nyata hasil reklamasi ini adalah air laut yang menghitam. Padahal, proses reklamasi sudah ditangguhkan (dihentikan) ketika Pak Anies naik sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Mas B mengatakan kepada saya bahwa ketika proses konstruksi reklamasi ini sedang berjalan, air laut Jakarta jauh lebih berwarna hitam pekat dibandingkan dengan kondisi sekarang saat reklamasi sudah diberhentikan.

Selain itu, keadaan udara juga dapat dikatakan kurang baik dan dapat dilihat dari kondisi langit yang terlihat gelap. Padahal, kondisi saat itu tidak mendung, bahkan cenderung cerah.

Dampak negatif terhadap lingkungan lainnya akibat pembangunan reklamasi ini adalah matinya ikan-ikan yang berada di sekitar kawasan reklamasi.

Hal ini menyebabkan nelayan harus melaut sangat jauh, demi mendapatkan ikan. Penghasilan mereka pun cenderung menurun dan ongkos yang mereka keluarkan untuk membeli bahan bakar solar kapal pun bertambah. Akibatnya, terjadi juga penurunan jumlah nelayan.

Paradigma pembangunan yang dilakukan pemerintah, dapat dikatakan masih belum berpihak terhadap lingkungan dan juga tidak memerhatikan dampak sosial bagi masyarakatnya.

Pembangunan gedung-gedung pun masih dilanjutkan di atas pulau-pulau hasil reklamasi yang sudah terbentuk. Kondisi ini dapat dilihat dari mesin-mesin traktor yang sedang bekerja.

Mungkin, dengan kebijakan Gubernur DKI Jakarta saat ini melalui Peraturan Gubernur No. 58 tahun 2018, proses konstruksi reklamasi Teluk Jakarta dihentikan.

Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan ketika pergantian Gubernur selanjutnya, proses konstruksi tersebut akan dilanjutkan.

Apakah manusia harus selalu mengorbankan bahkan merusak lingkungannya demi memenuhi kebutuhannya?

Artikel Terkait

Tanggapan