Kelelawar dan Camar yang Berbagi Ruang Waktu

Ekspedisi Pulau Um Bagian 2. (Kelelawar dan Camar)

Hai kawan-kawan, salam Ekspania!

Saat ini saya masih berada di Pulau Um, salah satu pulau impian saya di Tanah Papua, Surga Kecil yang jatuh ke Bumi.

Dalam cerita sebelumnya (Bagian 1.) kita sudah merapat di sisi timur Pulau Um yang sejuk. Kita sempat menyusuri pesisir pantai menuju sisi utara pulau Um. Di sinilah kita menemukan puluhan kayu pancang sebagai penanda lokasi tersimpannya ribuan telur penyu yang diselamatkan oleh masyarakat suku Moi di kampung Malaumkarta.

Setelah puas berkeliling dan mengabadikan lokasi penyimpanan telur penyu di sisi utara Pulau Um, kami bergerak menuju sisi barat pulau ini yang berhadapan langsung dengan matahari sore yang mulai menguning.

Kelelawar Bergelantungan

Dari sisi barat saya menyaksikan ribuan kelelawar sedang bergelantungan di ranting pohon cemara yang tumbuh rapat memenuhi Pulau Um. Mereka seperti berjemur menikmati sore sambil menunggu matahari tenggelam.

Kelelawar Bergelantungan
Kelelawar Pulau Um bergelantungan menunggu matahari tenggelam

Kawan-kawan, seperti yang kita ketahui bahwa kelelawar adalah binatang unik. Hewan ini hidup aktif di malam hari dan walaupun dalam kegelapan, mereka bisa menemukan makanannya. Makanan utamanya adalah serangga dan mereka bisa memakan lebih dari seribu ekor nyamuk dalam satu jam sehingga kelelawar berkontribusi besar terhadap keseimbangan ekosistem.

Kita bisa bayangkan jika tidak ada kelelawar, maka populasi nyamuk akan meningkat, apalagi di Tanah Papua sebagai daerah endemik nyamuk malaria yang menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi di Papua.

Selain itu, ada juga kelelawar yang memakan buah-buah dan bunga-bunga, sehingga hewan ini juga mempunyai peranan penting membantu proses penyerbukan serta penyebaran benih di muka bumi ini.

Selain jumlahnya yang ribuan, ukurannya kelelawar di Pulau Um, menurut saya juga luar biasa besar dan mungkin sebesar kucing dewasa dengan rentang sayap hampir 1 meter.

Menyaksikan mereka bergelantungan di ranting pohon merupakan pemandangan terbaik di Pulau Um dan saya tidak merasa menyesal jauh-jauh datang ke tempat ini.

Berdasarkan cerita dari Kaka Rambo, salah satu pemuda lokal yang menjadi pewaris adat Pulau Um, kelelawar tersebut sudah menghuni pulau ini semenjak nenek moyang mereka tinggal di Pulau Um dan tidak ada cerita pasti sejak kapan kelelawar tersebut menjadikan pulau tersebut sebagai rumah mereka.

Masyarakat lokal yang tinggal di sekitar Pulau Um juga mejaga pulau ini agar selalu aman untuk dihuni oleh kelelawar pada siang hari dan burung camar pada malam hari.

Wajib Basah

Sambil menunggu matahari tenggelam, kami menyempatkan diri berendam di hangatnya pantai pulau Um. Menikmati air laut bersama teman-teman adalah bagian yang tidak bisa saya lewatkan dari setiap ekspedisi ke pulau manapun, apalagi di pulau yang eksotis yang terbebas dari polusi, apalagi polusi sampah plastik.

Berenang di Pantai pulau Um dengan air yang jernih dan bebas polusi

Kawan-kawan, ternyata tingkat salinitas atau kadar garam air laut di Pulau Um tidak terlalu tinggi sehingga kami cukup leluasa untuk berenang walau tanpa kacamata renang atau snorkel.

Momen menunggu matahari terbenam, kami menikmati makanan yang kami bawa dari kota dan sambil tertawa mendengarkan cerita mob (lucu) khas Tanah Papua.

Berbagi dan Berganti

Tepat pukul 6 sore, ketika ufuk barat mulai berwarna jingga, saya kembali menyiapkan kamera di sisi barat pulau utuk merekam detik-detik pergantian penghuni pulau dari kelelawar dengan berganti dengan burung camar. Beberapa saat, akhirnya momen yang saya tunggu-tunggu itu datang.

Di mulai dari beberapa ekor kelelawar mulai keluar dan terbang rendah berputar-putar di antara pepohonan sambil berkicau, menyebabkan suasana di Pulau Um menjadi berisik.

Beberapa ekor kelelawar tersebut terbang berkeliling seperti membangunkan kelelawar yang lain dan menyampaikan pesan bahwa sudah saatnya bagi mereka untuk keluar mencari makan dan memberikan tempat bagi burung camar beristirahat.

Benar adanya, satu-persatu kelelawar mulai bergerak dan diikuti oleh ratusan dan ribuan kelelawar lainnya. Mereka terbang berbaris ke arah barat menuju daratan besar tanah papua meninggalkan Pulau Um seiring matahari mulai menghilang.

Menyaksikan Kelelawar keluar dari Pulau Um

Saya begitu terpana dan terkagum luar biasa menyaksikan fenomena yang baru kali ini saya saksikan melalui mata dan kepala saya langsung.

Hampir 30 menit berlalu, barisan kelelawar itu tidak habis-habis terbang meninggalkan pulau. Saya tidak bisa membayangkan berapa jumlahnya.

Keasyikan menyaksikan kelelawar terbang meninggalkan pulau, tanpa saya disadari, jauh di atas langit sana, ratusan dan mungkin ribuan ekor burung camar terbang berputar-putar. Mereka seperti menunggu giliran untuk mendarat di Pulau Um, sambil menunggu ratusan ribu kelelawar keluar meninggalkan pulau tersebut.

Menunggu malam dan gelap mulai datang, kelelawarpun mulai menghilang. Samar-samar dalam kegelapan, burung camar mulai turun mendekat.

Sayangnya karena keterbatasan cahaya dan sudah terlalu gelap sehingga kami tidak bisa menyaksikan secara jelas burung camar turun menghinggapi pohon-pohon cemara yang menutupi Pulau Um.

Berdasarkan saran dari Kaka Rombo, akhirnya kami bergegas meninggalkan Pulau Um yang mulai gelap, tetapi meninggalkan cerita dan pelajaran yang pantas untuk dikenang sepanjang hidup saya.

Pulau Um memberikan pelajaran ekologi yang berharga bagi Manusia
Alam Sebagai Guru

Kawan-kawan…

Dari pulau kecil di utara Tanah Papua yang terpencil ini saya mendapatkan pelajaran berharga dari masyarakat suku Moi tentang bagaimana kita seharusnya manusia berperilaku sebagai bagian kecil saja dari sebuah sistem ekologi di muka bumi ini.

Pulau Um mengajarkan kita bahwasanya tidak hanya kita saya yang memiliki bumi ini, ada mahkluk lainnya yang juga mempunyai hak yang sama dengan kita manusia, mulai dari mahkluk yang tidak tampak sekalipun, hingga yang kasat mata dan bahkan sering kita abaikan dan bahkan kita eksploitasi.

Masyarakat suku Moi di Kampung Malaumkarta mengajarkan saya untuk salaing menjaga dan melestarikan bumi dan mahluk lainnya. Sedangkan kelelawar dan camar mengajarkan kita semua tentang pentingnya berbagi ruang tanpa perlu menciptakan persaingan atau konflik diantara sesama makhluk tuhan.

Hal ini mengingatkan saya pada sala satu filosofi hidup orang Minang:

“alam terkembang menjadi guru”.

Alam telah mengajarkan kita kawan-kawan, tergantung bagaimana kita meresapinya.

Bagi kawan-kawan yang semakin penasaran cerita-cerita video seru lain dari rangkaian perjalanan Ekspania bisa langsung berkunjung di Channel Youtube afdillah chudiel ya, Terima kasih!

Editor: AN.

Artikel Terkait

Tanggapan