Di Balik Konservasi Penyu Tanjung Benoa

“Kalau di sini yang paling tua umurnya sekitar 45 tahun,” ujar Pak Made, seorang pemandu wisata saat saya berkunjung ke Pulau Penyu, Tanjung Benoa, Agustus tahun 2019 lalu sembari menjelaskan perihal penyu dan sejarahnya yang lama lekat dengan masyarakat Tanjung Benoa, Bali.

Destinasi yang dikenal dengan nama Pulau Penyu ini berjarak sekitar 15-20 menit dari bibir pantai Tanjung Benoa dan hanya bisa diakses mengunakan boat warga yang memang diberdayakan untuk wisatawan.  Pulau Penyu merupakan wisata edukasi dan cocok untuk keluarga, dimana dapat memperkenalkan tentang satwa laut penyu yang sudah termasuk langka dan di lindungi .

Bulih Bali Turtle Park, atau biasa kita kenal dengan nama Pulau Penyu adalah tempat konservasi penyu di bawah Dinas Perikanan Badung dengan ijin BKSDA Bali yang dikelola sendiri oleh warga sebagai tujuan pariwisata. Di sini kita tidak hanya menemukan penyu dalam bermacam ukuran namun juga beberapa satwa lain seperti ular, iguana, burung rangkong serta burung hantu.

Pic by Luhde Suryani/Mongabay

LuhdeSuryani/Mongabay

Namun keadaan yang dijumpai di sana adalah habitat yang kurang terawat seperti air yang keruh dan  terlalu dangkal yang didiami beberapa penyu berukuran dewasa atau keadaan satwa lain yang cenderung kurang aktif.  Sembari berjalan, Pak Made juga bercerita bahwa warga sekitar dahulu terbiasa mengkonsumsi daging penyu, baik untuk kepercayaan meningkatkan vitalitas atau keperluan upacara adat.

“Kalo dulu sih, masyarakat kami itu juga konsumsi dagingnya mbak, apalagi waktu ada upacara adat dan lainnya itu sudah lumrah warga mengkonsumsinya. Tapi semenjak kita tahu ini dilindungi, pelan-pelan warga mulai meninggalkan kebiasaan itu, termasuk saya. Sekarang malah saya ikut mengelola tempat ini bersama dengan warga lainnya.”  tambah Pak Made.

Beliau lalu menambahkan banyak warga yang dulu terdampak dengan bom Bali banting setir mengelola pekerjaan yang sangat berbeda dari yang pernah ditekuni sebelumnya. Termasuk Pak Made, beliau bercerita lebih jauh bagaimana peristiwa bom Bali itu sendiri sangat berdampak kepada masyarakat Bali pada umumnya.

Saya dulu kerja di hotel, di Kuta terus setelah ada bom Bali banyak teman saya juga kehilangan pekerjaannya termasuk saya, ya akhirnya saya sempat nganggur lama juga. Akhirnya saya ikut mengelola di sini, yang dulu saja saya ga tahu apa-apa soal penyu, malah ikut memakannya”, ujar beliau sambil sedikit tertawa.

Interaksi saya dengan penyu di sana sebatas memberi makan dan mengelus cangkangnya saja, tidak lebih. Menjawab pertanyaan saya yang tersirat lewat ekspresi wajah saya pak Made berujar, “jika mau foto boleh tapi dari jauh dan tidak bisa foto dengan penyunya ya. Kasih makan saja boleh, kalo mau foto sambil pegang kita ada replikanya. Jadi fotonya sama ini,” katanya sambil menunjukkan replika penyu dari kayu.

Regulasi ini ternyata baru ditetapkan hanya dua bulan berselang dari saat Aaron Gekoski, seorang fotografer lingkungan yang mengabadikan perlakuan tak pantas terhadap satwa-satwa di sana yang diterima dari para turis yang berkunjung, atau masalah habitat yang kurang layak dan lainnya.

Sebanyak 23 foto yang diunggah di laman jejaring sosialnya lantas membuat heboh dan mengundang kemarahan netizen menuntut pihak terkait untuk segera mengusut dan menerapkan kebijakan baru terkait hal ini. Kini kita masih bisa mengunjungi Pulau Penyu dan melihat penyu ataupun tukik yang diberdayakan di sana, namun hanya sebatas itu.

Tidak lagi dengan menginjak cangkangnya, atau mengangkatnya tinggi-tinggi hanya untuk kebutuhan estetika semata tanpa mengindahkan etika.  Tentu saja penyu merupaka hewan yang sangat di lindungi oleh Undang-undang terutama ada beberapa jenis penyu yang semakin terancam keberadaan spesiesnya .

Merunut lebih jauh, Pulau Penyu ini adalah area konservasi yang dikelola oleh warga dan banyak petugas di sini berasal dari korban bom Bali 2002 yang kehilangan pekerjaannya dan melakukan apa saja untuk menyambung hidup. Apa yang diposting oleh Aaron memang benar dan cara penyampaian kritiknya mengenai perlakuan satwa di sana, namun tak serta merta ini hanya kesalahan warga.

Pembinaan dari pihak terkait dan sinergi dari segala lini diperlukan di sini. Pembinaan intensif mengenai cara yang layak dalam penangkaran, atau edukasi terhadap setiap wisatawan yang berkunjung juga menjadi keharusan. Tidak bisa hanya satu pihak saja yang bekerja namun saat satu masalah muncul semua mulai lepas tangan dan saling menyalahkan.

Melihat bagaimana masyarakat Tanjung Benoa khususnya dan Bali pada umunnya bergantung pada sektor pariwisata hendaknya menjadi perhatian lebih pemerintah daerah maupun pusat untuk selalu mendampingi dan menerapkan kebijakan yang berpihak pada warga namun tetap memperhatikan isu lingkungan dan dampaknya.

Editor : Annisa Dian N .

Artikel Terkait

Tanggapan