Hutan Mangrove dan Padang Lamun Selamatkan Indonesia dari Pemanasan Global
Pemanasan global menjadi satu diantara masalah besar umat manusia saat ini. Salah satu satu penyebab terjadinya pemanasan global adalah emisi gas karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan dari aktivitas manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan fosil dan kegiatan alih guna lahan.
Gas karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan dalam jumlah yang banyak akan tertahan di atmosfer dan menangkap energi panas matahari kemudian dipantulkan kembali ke bumi. Semakin banyak gas karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan, maka semakin banyak energi panas yang dipantulkan ke bumi sehingga menjadikan suhu bumi semakin panas.
Indonesia masuk dalam daftar sepuluh negara dengan emisi gas karbon dioksida (CO2) terbesar di dunia. Mengutip data dari Forbes.com (23/07/2021), China berada di urutan teratas menjadi negara yang paling banyak menyumbang emisi gas karbon sebanyak 9,9 miliar metrik ton atau seatara 30,7% emisi gas karbon dunia. Sementara Indonesia menempati urutan ke sepuluh dengan menyumbang emisi gas karbon 0,5 miliar metrik ton atau setara 1,7% emisi gas karbon dunia.
Sejatinya gas karbon dioksida merupakan bahan baku proses fotosintesis pada tumbuhan dengan menyerap gas karbon dioksida (CO2) dan menghasilkan oksigen.
Gas karbon yang diserap akan tersimpan pada akar, batang, dan daun. Namun gas karbon akan kembali ke udara ketika terjadi proses dekomposisi. Maka dari itu, manusia harus menjaga eksistensi hutan sebagai paru-paru dunia untuk kelangsungan hidup.
Sebagian besar diantara kita mungkin meyakini bahwa hutan menjadi pengikat emisi gas karbon dioksida (CO2) terbesar di dunia melalui proses fotosisntesis dalam mengurangi efek pemanasan global. Namun faktanya terdapat entitas lain yang mampu mengikat gas karbon dioksida (CO2) dalam jumlah yang besar dibandingkan hutan yang ada di negara manapun.
Entitas tersebut terdiri dari hutan mangrove dan padang lamun yang disebut dengan “Vegetasi Laut”. Hutan mangrove dan padang lamun merupakan komunitas tumbuhan yang ada di wilayah pesisir. Indonesia memiliki luas hutan mangrove sekitar 22,4% dari luas hutan mangrove di dunia atau sekitar 3,22 juta ha sedangkan luas Padang Lamun Indonesia mencapai 293,464 ha pada tahun 2018 (oseanografi.lipi.go.id).
Sama halnya dengan tumbuhan yang ada di daratan, hutan mangrove dan padang lamun juga menyerap karbon dalam proses fotosintesis. Namun, pada proses dekomposisi yang terjadi di dalam sedimen yang tergenang air, gas karbon dioksida (CO2) yang diserap akan terperangkan di dalam sedimen dan jaringan akar akan mengunci gas karbon agar tidak kembali menguap ke udara.
Penyerapan emisi gas karbon dioksida (CO2) menjadi lebih maksimal karena keduanya memiliki sistem akar napas dan keunikan struktur tumbuhan pesisir.
Hutan tropis mampu menyerap karbon dioksida (CO2) sekitar 9,17 ton/ha/tahun. Di Indonesia hutan mangrove menyerap rata-rata karbon dioksida 52,82 ton /ha/tahun dan padang lamun mampu menyerap karbon dioksida (CO2) 24,13 ton/ha/tahun (oseanografi.lipi.go.id).
Ini menunjukkan kemampuan hutan mangrove dan padang lamun menangkap karbon dioksida (CO2) 2 sampai 5 kali lebih efektif dibandingkan hutan yang ada di daratan. Karbon yang terserap akan mengendap di sedimen dalam bentuk biomassa selama ribuan tahun.
Hutan mangrove mampu menyimpan hingga 1.500 ton karbon/ha lahan dan padang lamun mampu menyimpan 293 ton karbon/ha lahan pada sedimen. Jumlah ini lebih banyak 6 – 7 kali dibandingkan dengan hutan di darat yaitu maksimal 215 ton/ha lahan (Sullivan at al, 2017) atau setara dengan emisi 59 sepeda motor per tahun atau 1,6 juta batang rokok setiap tahunnya.
Dari data yang disajikan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa hutan mangrove dan padang lamun mampu selamatkan Indonesia dan juga dunia dari perubahan iklim dan pemanasan global. Proses pengikatan gas karbon pada vegetasi laut dapat berlangsung selama ribuan tahun selama kita menjaga eksistensi hutan mangrove dan padang lamun agar terlestarikan dengan baik.***
Baca Juga: Kebijakan Perikanan Terukur: Apakah Nelayan Tergusur atau Masa Emas Nelayan Akan Terukir?
Editor: J. F. Sofyan
Tanggapan