Mengapa Ikan Bisa Kuat Menghadapi Tekanan Laut Daripada Manusia?

Faktanya manusia memiliki tubuh yang sangat rapuh dan sedikit perbedaan tekanan saja sudah membuat tidak nyaman. Sebagai contoh saat berenang, kita tidak bisa menahan nafas melebihi kapasitas paru-paru untuk mempertahankan udara di tubuh kita kecuali dengan bantuan alat selam.
Ketika beraktivitas udara di sekitar kita memiliki tekanan berkisar 1 atm. Namun akan berbeda jika kita menyelam, setiap 10 meter menyelam maka tekanan air akan meningkat 1 atm. Asumsikan saja bahwa titik terdalam lautan ada di Palung Mariana dengan kedalaman 11.000 meter. Artinya tekanan yang akan kita rasakan sebesar 1.100 kali dari udara terbuka yang sering kita hirup.
Meskipun terlihat hanya meningkat satu angka tekanan hidrostatisnya, tetapi ini sudah bisa membuat kita pusing, sulit bernafas, gendang telinga pecah, bahkan kematian jika tidak ada penanganan. Meski manusia rentan akan tekanan air, ternyata banyak makhluk hidup yang mampu menahan tekanan ini seperti anemon, cacing, ikan, paus, anjing laut, kepiting, dan lainnya.
Tentunya ini tidak luput dari proses adaptasi dan evolusi yang membuat banyak makhluk hidup mengembangkan kemampuan mereka untuk menahan tekanan luar biasa ini dan bisa cukup bersantai ‘chill’ menghadapi tekanan.
Mengkompresi Paru-Paru
Beberapa mamalia bukan ikan seperti paus, cetacea, dan anjing laut memiliki paru-paru dan sistem pembuluh darah yang hampir mirip dengan manusia. Akan tetapi, mereka bisa bertahan dengan tekanan yang ekstrem bahkan paus bisa menahan tekanan pada kedalaman 3.000 meter.
Ini menjadi pertanyaan yang mengganjal bagaimana paus yang punya paru-paru bisa menghadapi tekanan laut, meski di saat bersamaan memiliki organ pernapasan yang sama seperti manusia?
Hal yang paling mendasar mengapa organ pernapasan paus dan manusia berbeda karena paru-paru mereka dapat terkompresi atau membuat paru-parunya lebih fleksibel. Artinya paus dan cetacea lainnya dapat memaksa semua gas di paru-paru masuk ke aliran darah dan otot sehingga dapat larut di bawah tekanan tersebut.
Adanya kompresi ini membuat organ-organ di tubuh mereka beradaptasi untuk menampung mioglobin (protein penyimpan oksigen dalam otot) dan hemoglobin lebih banyak. Kompresi paru-paru ini juga mencegah pertukaran gas di alveolus, sehingga mencegah nitrogen masuk ke aliran darah. Jika nitrogen masuk ke aliran darah maka nitrogen tersebut akan berubah menjadi gelembung yang dapat menghambat peredaran darah dan kondisi ini sering disebut dekompresi atau kondisi “Bends” pada para penyelam.
Kondisi dekompresi ini merupakan dampak dari perubahan tekanan air atau udara yang terlalu cepat. Penyakit ini umum terjadi pada penyelam, astronot, pendaki, dan pekerja pesawat terbang dan sangat berbahaya karena dapat mengakibatkan sesak napas, hingga pingsan. Maka dari itu pada penyelam laut dalam sering kali terdapat bilik penyesuaian tekanan untuk beradaptasi dengan udara sekitar.
Selain itu, organ pernapasan paus dan cetacea lainnya juga memiliki kapasitas penyimpanan udara yang lebih besar terutama pada paru-paru dan limpanya. Adaptasi ini juga dapat ditemui pada manusia khususnya Suku Bajo. Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa kapasitas limpa pada Suku Bajo lebih besar 50 persen dari pada manusia biasa. Hal ini yang membuat Suku Bajo dapat menyelam selama 13 menit di kedalaman 200 kaki atau kurang lebih 60 meter.
Terlebih banyak mamalia seperti paus yang secara alami telah belajar cara naik perlahan ke permukaan agar tidak terjadi bends. Mioglobin dan hemoglobin mereka juga dapat menyimpan oksigen lebih banyak dibandingkan manusia.
Kantung Udara Bukan Paru-Paru
Paus tentunya tidak termasuk ikan dan ikan di permukaan memiliki cara sendiri untuk mengatur tekanan mereka. Morfologi atau bentuk tubuh mereka juga dirancang untuk menyesuaikan dengan lingkungan tempat mereka tinggal.
Salah satu yang paling tampak adalah kandungan air pada tubuh ikan. Sebagian besar makhluk laut ditopang dengan air atau hampir 90 persen seluruh tubuh mereka terdiri dari air. Berbeda dengan sifat benda padat dan gas yang dapat terkompresi, air sebaliknya tidak dapat terkompresi. Sehingga memberikan keseimbangan terhadap tekanan air di kedalaman.
Bagi ikan di permukaan air atau dengan kedalaman tertentu banyak ikan yang memiliki kantong udara sebagai pengganti paru-paru. Kantong ini digunakan ikan untuk mengapung dan tenggelam di dalam air. Kantong udara pada ikan sama halnya dengan mamalia seperti paus yaitu dapat terkompresi dan ini membantu mereka mengatur tekanan dalam tubuh.
Akan tetapi semua makhluk hidup ini tentu memiliki batas kapasitas tekanan yang mereka dapat tahan termasuk ikan di permukaan laut dan ikan di laut dalam yang tidak memiliki kantong seperti ikan Siput Mariana.
Ikan Laut Dalam Tidak Punya Kantong Udara
Untuk waktu yang lama, ilmuwan percaya kehidupan di laut dalam seperti di Palung Mariana mustahil ada karena kondisi tidak bersahabat ini. Tetapi sejak tahun 1977 ekspedisi laut dalam pertama kali dilakukan memberikan warna baru bagi penelitian laut karena mengungkap kehidupan di laut dalam.
Salah satu pertanyaan besar bagi para ilmuwan adalah bagaimana adaptasi makhluk hidup laut dalam terhadap tekanan. Tahun 2017, ilmuwan akhirnya mengungkap penemuan ikan di perairan terdalam yang diberi nama Mariana Snailfish atau Ikan Siput Mariana (Pseudoliparis swirei) pada kedalaman 8.200 meter. Perbedaan paling mencolok antara ikan ini dengan ikan di permukaan adalah tidak adanya kantung renang untuk menghadapi tekanan.
Studi dari Nature Ecology & Evolution tahun 2019, para peneliti dari China meneliti anatomi dan genetika ikan Siput Mariana ini. Mereka menemukan banyak keanehan pada ikan ini untuk menghadapi tekanan salah satunya adalah ikan tersebut memiliki celah di tengkoraknya dan tanpa kantung renang.
Menurut Kun Wang, sebagai penulis pertama studi tersebut adanya rongga atau celah ini dapat membantu menyeimbangkan tekanan internal dan eksternal. Dengan kata lain, jika ikan tersebut memiliki tengkorak yang utuh dan menyatu, ikan tersebut akan hancur karena tekanan.
Menariknya tulang mereka tidak sepenuhnya terbuat dari tulang sejati melainkan sebagian besar tulang rawan. Selain itu tim ini menemukan bahwa ikan tersebut memiliki mutasi pada gen utama yang bertanggung jawab atas kalsifikasi penumpukan kalsium untuk mengeraskan tulang. Mutasi ini membuat gen tersebut sebagian tidak berfungsi. Wang mengatakan hal ini membuat tulang mereka lebih fleksibel dan kemungkinan lebih mampu menahan tekanan.
Selain itu beberapa anatomi mendukung mereka untuk bertahan di tekanan, seperti tidak memiliki mata yang berfungsi dan tidak merespons cahaya dari wahana pendarat tim, sesuai dengan penelitian sebelumnya. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh kekurangan beberapa gen fotoreseptor kunci, menurut penelitian tersebut. Karena mereka hidup dalam kegelapan total, mereka tidak perlu mendeteksi cahaya yang tidak akan pernah mereka lihat.
Enzim Piezolit TMAO Pengatur Tekanan
Selain kerangka tubuh yang unik, salah satu yang paling memungkinkan ikan laut dalam seperti Mariana Snailfish dan Crustacea dapat hidup di laut dalam adalah peran molekul organik atau zat yang disebut piezolit trimetilamina N-oksida (TMAO). Nama ini berasal dari kata Yunani “piezin ” yang berarti tekanan.
Menariknya molekul ini yang akan membantu menghentikan membran sel dan protein makhluk hidup laut dalam seperti crustacea, amphipoda raksasa, dan ikan siput Mariana agar tidak hancur di bawah tekanan yang sangat tinggi.

Selain itu spesies perairan di lautan dangkal juga memiliki molekul ini, namun dalam jumlah sedikit dan semakin bertambah kedalaman perairan maka akan meningkat pula konsentrasi zatnya. Kepekatan molekul ini juga yang akhirnya memberikan bau amis pada ikan.
Peneliti dari Universitas Leeds dalam studinya tahun 2022 memvisualkan zat TMAO yang bertindak sebagai jangkar dalam jaringan molekul air dengan membentuk ikatan hidrogen yang kuat dengan moleku air sehingga memisahkan tekanan dari luar.
Begitu pula dengan ikan Siput Mariana yang memiliki kadar TMAO yang tinggi untuk menstabilkan protein. Diketahui dari penelitian tersebut setidaknya ikan Siput Mariana memiliki lima salinan gen ini yang membuatnya berbeda dari kebanyakan ikan lainnya yang hanya memiliki satu salinan gen piezolit ini. Spesies laut dalam juga tidak membutuhkan sinar matahari untuk fotosintesis untuk sumber energi. Mereka cenderung memanfaatkan proses kemosintesis untuk menghasilkan gula menggunakan energi dari reaksi kimia pada area hidrotermal dasar laut.
Referensi
- https://www.popsci.com/found-worlds-newest-deepest-dwelling-fish/
- https://www.nationalgeographic.com/animals/article/how-deep-sea-snailfish-survive-mariana-trench
- https://www.earth.com/news/how-do-fish-survive-the-intense-pressure-of-deep-water/
- https://www.scienceabc.com/nature/animals/deep-sea-fishes-not-get-crushed-pressure-sea-floor.html
- https://theconversation.com/bagaimana-makhluk-yang-hidup-di-laut-dalam-bisa-tetap-hidup-di-bawah-tekanan-212766
- Wang, K., Shen, Y., Yang, Y. et al. Morphology and genome of a snailfish from the Mariana Trench provide insights into deep-sea adaptation. Nat Ecol Evol 3, 823–833 (2019). https://doi.org/10.1038/s41559-019-0864-8
- Papini CM, Pandharipande PP, Royer CA, Makhatadze GI. Putting the Piezolyte Hypothesis under Pressure. Biophys J. 2017 Sep 5;113(5):974-977. doi: 10.1016/j.bpj.2017.07.012. Epub 2017 Aug 10. PMID: 28803626; PMCID: PMC5611670.
Tanggapan