Ninjutsu di Dunia Nyata? Ini Dia Rahasia “Ninja” Lautan, Sang Cephalopoda!

Bagi pembaca manga atau penonton anime Naruto sudah tidak asing mendengar kata ‘Ninjutsu’. Ninjutsu sering kali menjadi teknik dalam seni ninja, seperti melakukan penyamaran, beradaptasi di lingkungan baru, bahkan untuk menumpas musuh di kegelapan malam.
Tapi bagaimana jika ninjutsu ini dilakukan oleh hewan di kehidupan nyata? Bahkan hewan ini memiliki berbagai macam ninjutsu yang lebih menakjubkan daripada ninja.
Menurut Smithsonian National Museum of Natural History para hewan ini tergabung dalam kelas yang terkenal karena memiliki strategi dan berevolusi menjadi penguntit, penyergap, hingga ahli dalam penyamaran di lautan dan disebut kelas Cephalopoda.
Jutsu Adaptasi Cephalopoda
Teknik adaptasi adalah kunci bagi Cephalopoda untuk bertahan dari tragedi lima kepunahan masal. Mulai era Palezoikum sekitar 541 juta tahun yang lalu hingga memasuki era Kenozoikum yang dimulai 66 juta tahun yang lalu hingga sekarang.
Kelas Cephalopoda memiliki kelompok besar pada masanya, kelompok ini terbagi dalam Cephalopoda Nautiloid, Ammonoids, dan Belemnites.
Meskipun diketahui kelas Cephalopoda bisa bertahan sampai sekarang, akan tetapi hanya dua kelompok yang bisa bertahan dari kepunahan masal. Antara lain kelompok Nautiloids, yakni Cephalopoda dengan cangkang eksternal seperti spesies Nautilus dan kelompok Belemnites, Cephalopoda tanpa cangkang atau sekarang kekerabatannya dekat dengan cumi-cumi, sotong, dan gurita. Sayangnya kelompok Ammonoids mengalami kepunahan pada masanya.
Menurut peneliti kelompok Nautiloids dan Belemnites yang cenderung hidup dan bergerak di laut dalam sehingga memungkinkan mereka untuk menyelamatkan diri ketika kepunahan masal terjadi.
Sedangkan kelompok Ammonoids yang cenderung mendiami permukaan laut untuk berkembang biak hingga mencari makan, membuat mereka terkena dampak yang sangat besar saat kepunahan masal.
Faktor seperti kadar keasaman dari perubahan iklim ekstrem di permukaan laut dan atmosfer, jatuhnya meteor dan peristiwa alam lainnya membuat kadar CO2 dan gas-gas lain meningkat drastis termasuk di permukaan laut hingga membuat kepunahan pada kelompok ini.
Menariknya kelompok Nautiloids dan Belemnites setelah kepunahan masal, membuat mereka mendapatkan kadar oksigen yang cenderung melimpah dan minim predator yang berukuran besar. Ini membuat mereka bisa bertahan hidup hingga sekarang.
Kelompok Nautiloid, salah satunya spesies Nautilus yang kebanyakan hidup di Samudera Pasifik Barat Daya termasuk Indonesia dan Filipina. Bahkan cangkang Nautilus pernah ditemukan di perairan Bangka Belitung.
Maka dari itu tidak mengherankan melihat cumi-cumi atau bahkan gurita terlihat di lautan terdalam di dunia dan membuat gigantisme terus terjadi pada mereka.
Gigantisme di Laut Dalam
Gigantisme masih dapat dirasakan sampai sekarang, salah satunya dari spesies cumi-cumi raksasa atau Giant Squid. Nama yang menyesuaikan bentuk tubuhnya ini pernah ditemukan total panjangnya hingga 14 m dengan bobot 500 kg.
Ilmuwan percaya bahwa kemungkinan cumi-cumi raksasa dapat mencapai 20 meter. Walaupun belum pernah terekam penampakan aslinya secara hidup, akan tetapi bangkai dan ikan-ikan laut dalam, yang dimakan cumi-cumi raksasa ini memberikan pengetahuan baru bahwa mereka kemungkinan hidup di laut dalam di sekitar 1000 meter hingga lebih.
Kemampuan tinggal di lautan terdalam tentunya masih mengalir dalam genetik mereka. Penemuan terbaru dari para peneliti Caladan Oceanic, Amerika Serikat mendapati hal yang menakjubkan di Palung Filipina yang merupakan palung terdalam ketiga di dunia.
Peneliti menemukan cumi-cumi sirip besar atau Bigfin Squid di kedalaman 6.200 meter atau hampir mendekati titik terdalam Palung Filipina di 10.540 meter. Cumi-cumi ini memiliki morfologi yang unik yaitu dengan lengan dan tentakel yang sangat panjang, bahkan berkali-kali lipat dari panjang mantelnya yang hanya 20 – 30 cm.
Penemuan ini akhirnya dinobatkan sebagai penemuan cumi-cumi di kedalaman laut terdalam sepanjang penelitian.
“Adaptasi yang dilakukan pada lengan dan tentakelnya ini kemungkinan besar sangkut pautnya dengan cara mereka mendapatkan makanan,” jelas Alan Jamieson, profesor dan ilmuwan laut dalam dari University of Western Australia pada Live Science, (26 September 2024).
Melihat makhluk sejarah hidup ini yang terus berjalan di laut dalam dengan suhu dan tekanan yang ekstrem. Menimbulkan pertanyaan tentang rahasia dari ninjutsu adaptasi ini dan ternyata para ilmuwan mengetahui asalnya dari darah biru yang sudah ada secara turun temurun.
Jutsu Darah Biru
Cumi-cumi adalah salah satu dari keberhasilan nenek moyang mereka Cephalopoda mempertahankan darah biru yang diwariskan kepada penerusnya. Bukan seperti orang-orang yang mengakui darah biru pada masa kerajaan di Eropa, tapi memang mereka memiliki darah yang berwarna biru.
Manusia memiliki hemoglobin sebagai protein yang mengangkut oksigen hingga membuat sel darah berwarna merah. Sebaliknya Cephalopoda memiliki hemosianin sebagai protein pengangkut oksigen yang berwarna biru dan efektif di lingkungan dingin dengan tekanan dan oksigen rendah. Sistem hemosianin ini membantu cumi-cumi mempertahankan pengangkutan oksigen yang efisien di lingkungan dengan tingkat oksigen yang bervariasi dan membuat darah dari mereka berwarna biru.
Namun penelitian terbaru yang berjudul RNA Recording in Cephalopods Tailors Microtubule Motor Protein Function tahun 2022 oleh K. Rangan dan S. Reck-Peterson. Mengungkapkan bahwa adaptasi perubahan suhu pada Cephalopoda tidak sesederhana pengangkutan oleh hemosianin.
penelitian mereka mengungkap, 60% protein cumi-cumi sebenarnya dikodekan ulang kembali. Lebih tepatnya mereka mengkodekan ulang RNA-nya atau biasa disebut epigenetik.
Epigenetik adalah proses perubahan RNA makhluk hidup yang dapat diwariskan ataupun tidak dapat diwariskan tanpa mengubah urutan DNA tersebut. Hal ini membuat cumi-cumi dapat hidup di suhu dan lingkungan ekstrem sekalipun di laut dalam.
Pengkodean ulang RNA inilah yang memungkinkan hewan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan harian atau musiman, merespon tekanan lingkungan, atau mentoleransi tekanan lain, seperti suhu atau tekanan ekstrem.
Jika dibandingkan mengubah DNA, proses mengubah RNA ini jauh lebih cocok bagi cumi-cumi karena lebih bisa leluasa untuk menyesuaikan diri dengan suhu laut yang berfluktuasi atau berubah-ubah.
Akan tetapi ketika lautan menjadi hangat dan lebih asam, Cephalopoda kesulitan mengedarkan oksigen yang cukup melalui darah dengan hemosianin ini. Sehingga banyak Chepalopoda terutama kelompok Belemnites (sekarang keturunannya para cumi-cumi, gurita dan sotong) lebih memilih berenang ke lautan yang sangat dalam.
Tekanan laut dalam tentunya bukan menjadi hal yang masalah bagi cumi-cumi. Menurut Dr. Helen Scales seorang marine biology dan seorang penulis sains dalam Sciencefocus.com. Cumi-cumi memiliki cara untuk juga untuk menjaga agar sel-sel mereka tetap bekerja. Mereka memanfaatkan Trimetilamina oksida (TMAO) untuk mengisi tubuh mereka serta mempertahankan bentuk dari molekul-molekul seperti protein dalam membran sel dan enzim agar tidak tertekan karena tekanan laut dalam.
Menurutnya bagi banyak hewan laut dalam, semakin dalam mereka hidup, semakin banyak TMAO yang mereka miliki di dalam tubuhnya. TMAO juga menimbulkan bau amis yang khas pada banyak makhluk laut dan ketika semakin dalam suatu spesies hidup maka semakin berbau.
Hal ini juga didukung dari penelitian berjudul Trimethylamine oxide counteracts effects of hydrostatic pressure on proteins of deep-sea teleosts oleh P H Yancey dan kawan-kawan.
Studi kasus pada ikan Teleost juga didapatkan bahwa Ikan Teleost laut dalam, jumlah TMAO cenderung lebih tinggi jika dibandingkan ikan Teleost laut dangkal.
TMAO yang tinggi digunakan untuk bergerak menstabilkan protein dan melawan penghambatan protein karena adanya tekanan hidrostatik dan ini berlaku sama halnya dengan cumi-cumi.
Jutsu Pengakhir Hidup
Selain bertahan di laut dalam, yang membuat banyak Cephalopoda masih bertahan sampai sekarang adalah karena kemampuan mengakhiri hidupnya setelah kawin. Bagi para Cephalopoda termasuk cumi-cumi, setelah terjadinya perkawinan antara jantan dan betina maka mereka akan siap dengan kematian mereka.
Berdasarkan Smithsonian National Museum of Natural History Jika ditarik garis keturunannya dalam kelompok Cephalopoda, kegiatan kawin hanya dilakukan sekali seumur hidup, baik jantan maupun betina karena setelah perkawinan mereka akan mati.
Kematian ini pun berlaku untuk cumi-cumi raksasa. Walaupun terlihat memiliki ukuran yang besar nyatanya umur mereka bahkan tidak lebih dari 5 tahun. Hal ini diketahui dari bukti Statolith, sebuah mineral kecil yang membantu penyeimbangan diri seekor cumi-cumi.
Statolith ini dapat mengakumulasi pertumbuhan cumi-cumi dan dapat mengukur usia dari bangkai cumi-cumi raksasa.
Sayangnya, waktu yang secepat itu dapat diartikan bahwa cumi-cumi raksasa tumbuh dengan sangat cepat untuk mencapai 30 kaki atau 9 meter hanya dalam beberapa tahun saja.
Menurut peneliti bahwa untuk tumbuh dengan cepat seperti itu cumi-cumi harus hidup di daerah lautan yang punya persediaan makanan yang melimpah untuk menyediakan energi yang cukup.
Ilmuwan bahkan pernah menemukan banyak bangkai cumi-cumi di lepas pantai California dan setelah mereka teliti bahwa ketika cumi-cumi betina berhasil bereproduksi, mereka akan mati dan tenggelam ke dasar lautan hingga lebih dari 1000 meter.
Selain dari umur pendek, predator sangat mempengaruhi umur mereka. Bahkan untuk cumi-cumi raksasa predator utama mereka adalah paus sperma. Hal ini diketahui dari adanya bekas bangkai cumi-cumi raksasa di dalam perut paus sperma.
Rentang kehidupan yang pendek ini membuat mereka bisa leluasa menghasilkan keturunan. Karena cumi-cumi raksasa terkenal memakan segalanya bahkan bangkai dari paus sperma pernah digerogoti oleh cumi-cumi ini.
Faktor-faktor seperti kemampuan adaptasi dari genetik yang menakjubkan hingga kemampuan reproduksi dan kematian yang cepat. Menjadikan mereka invertebrata yang tahan terhadap segala kekuatan di lautan hingga membuat mereka bertahan dari kepunahan.
Referensi:
- https://www.livescience.com/animals/squids/watch-extremely-rare-footage-of-a-bigfin-squid-walking-on-long-spindly-arms-deep-in-the-south-pacific
- https://www.livescience.com/worlds-deepest-squid-philippine-trench
- https://oceanconservancy.org/blog/2024/02/22/what-we-know-about-bigfin-squid/
- https://schmidtocean.org/scientists-discover-three-new-hydrothermal-vent-fields-on-mid-atlantic-ridge/
- https://www.1ocean.org/ocean-tales/squids-can-edit-their-genes-to-rapidly-adjust-to-temperature-swings
- https://www.sciencenews.org/article/squid-edit-rna-cold-adaptation
- Rangan and S. Reck-Peterson. RNA recoding in cephalopods tailors microtubule motor protein function. Cell Bio 2022, Washington, D.C., December 5, 2022.
- https://ocean.si.edu/ocean-life/invertebrates/giant-squid
- https://newsroom.carleton.ca/story/jumbo-squids-survival/#:~:text=These%20aggressive%20two%2Dmetre%2Dlong,genes%20that%20promote%20their%20survival.
- https://www.sciencefocus.com/nature/how-do-squid-survive-extreme-water-pressure-in-the-deep-sea
- https://www.montereybayaquarium.org/stories/deep-sea-cephalopod-mbari-interview#:~:text=On%20the%20other%20hand%2C%20squids,%2C%20therefore%2C%20go%20much%20deeper.&text=The%20Humboldt%20squid%20is%20an,well%20as%20to%20the%20surface
- https://ocean.si.edu/ocean-life/invertebrates/cephalopods
- Yancey PH, Fyfe-Johnson AL, Kelly RH, Walker VP, Auñón MT. Trimethylamine oxide counteracts effects of hydrostatic pressure on proteins of deep-sea teleosts. J Exp Zool. 2001 Feb 15;289(3):172-6. doi: 10.1002/1097-010x(20010215)289:3<172::aid-jez3>3.0.co;2-j. PMID: 11170013.
Tanggapan