Tuna dan Tambang: Tragedi Laut Sangihe di Ujung Nusantara

Di ujung utara Nusantara, pulau kecil Sangihe menjadi panggung bagi drama epik lautan. Dulu, air lautnya biru cerah seperti hati anak-anak yang baru dapat uang jajan. Tuna-tuna melompat riang, bak penari di pesta pernikahan. Tapi kini, mereka seperti karakter utama dalam film tragedi, menghadapi dua musuh besar: manusia serakah yang mengeksploitasi alam dan krisis iklim yang makin menggila.

Indonesia, tanah dengan kekayaan laut tak tertandingi, menyimpan segudang sumber daya ikan. Tuna, bersama cakalang dan tongkol trio primadona lautan menjadi andalan ekspor yang selalu dibanggakan. Negeri ini bertekad menjadi raksasa penghasil tuna, dengan angka produksi 1,49 juta ton setahun. Bahkan, hampir 18 persen kebutuhan tuna dunia lahir dari laut Indonesia. Namun, mimpi besar itu perlahan jadi mimpi buruk. Laut yang semakin panas dan tangan-tangan serakah membuat angka tersebut terasa seperti istana pasir yang siap tergerus ombak.

Di atas perahu kecilnya, Sanimong nelayan muda dengan kulit legam dan senyum yang mirip senja duduk termenung. “Tuna sekarang seperti mantan, jauh di mata, sulit digapai,” keluhnya kepada angin laut yang makin panas.

ikan tuna tangkapan nelayan
Ilustrasi ikan tuna hasil tangkapan nelayan. (Foto via Pixabay)

Di perairan sangihe, sebenarnya tuna masih menjadi harta karun yang tak ternilai, Laut Tahuna dikenal sebagai surga tuna, menyuplai ikan yang dikirim ke kota-kota besar Bitung, Manado, Surabaya, hingga Jakarta. Tak hanya itu, tuna-tuna terbaik dari Sangihe juga menembus pasar internasional, mendarat di meja makan Jepang dan Filipina dengan nilai jual yang menggiurkan. “Tuna dari sini itu kualitas premium. Makanya, negara lain mau bayar mahal,” Kata Gerik Bhayangkara Lumiu, Kepada Badan Pengendalaian dan Pengawasan Mutu Hasil Kelautan dan Perikanan Tahuna.

Namun, di balik cerita gemilang ekspor tuna, ada awan gelap yang mengintai perairan Sangihe, Ancaman pertambangan  mulai menebar bayang-bayang suram di tempat yang selama ini menjadi sumber kehidupan para nelayan. Sejak izin tambang emas diberikan untuk mengeksploitasi kawasan ini, banyak pihak khawatir ekosistem laut sangihe akan runtuh. “Kalau tambang bergulir terus, habislah tuna kami,” keluh Sanimong, sambil meminum kopi arabica dan memandangi laut yang kini terasa lebih asing dari biasanya.

Debu tambang dan limbah logam berat bisa merusak kualitas air, membunuh plankton, dan mengusir ikan-ikan besar seperti tuna ke perairan yang lebih jauh. Nelayan kecil seperti Sanimong tidak mungkin mengejar tuna sampai ke laut dalam dengan perahu kecilnya. “Ini bukan cuma soal ikan, tapi soal hidup dan mati kami,”lanjutnya dengan nada getir.

Kisah Sangihe adalah cermin dari dilema besar: mempertahankan tradisi dan alam yang menjadi jantung kehidupan, atau menyerah pada industri yang menjanjikan keuntungan cepat tapi merusak jangka panjang. Tuna-tuna terakhir di Sangihe mungkin masih berenang di bawah sana, tapi sampai kapan mereka bisa bertahan? Mungkin mereka hanya menunggu waktu, seperti halnya orang-orang Sangihe yang menanti keajaiban untuk menyelamatkan laut mereka.

Artikel Terkait

Tanggapan