Ekosistem Mangrove: Pelindung Pesisir Hidup yang Merupakan Bagian Karbon Biru
Karbon sangat berkaitan erat dengan kehidupan kita. Rantai backbone DNA kita tersusun oleh karbon (lebih tepatnya 5 karbon penyusun gugus gula Deoxyribose), Karbohidrat pada makanan yang kita makan, sarana transportasi yang kita gunakan, perekonomian, semuanya tidak terlepas dari unsur karbon.
Terbaru, pada tahun 2022 dalam presidensi G20, Indonesia akan mengangkat tiga isu penting berkaitan dengan menjaga kelestarian lingkungan laut. Satu diantaranya berkaitan dengan jenis karbon yang disebut karbon biru atau blue carbon. Tapi tahukah anda apa itu blue carbon?
Istilah blue carbon mengacu pada karbon yang tersimpan di ekosistem mangrove, rawa garam di daerah intertidal, dan padang lamun, dalam bentuk biomassa hidup seperti batang, cabang, daun (di atas permukaan tanah) dan akar (biomassa hidup di bawah tanah), maupun biomassa tidak hidup seperti serasah dan kayu mati (Fourqurean et al. 2019).
Karbon biru menjadi prioritas karena berkaitan erat dengan peranannya dalam konservasi perairan laut dan mitigasi perubahan iklim. Ekosistem-ekosistem yang terlingkupi dalam karbon biru memberikan sumbangsi kebermanfaatan bagi banyak komunitas-komunitas pesisir lainnya.
Di antara ekosistem-ekosistem yang termasuk dalam coastal blue carbon ecosystems, mangrove merupakan ekosistem yang mampu menyimpan karbon terbanyak dibandingkan ekosistem bervegetasi lainnya terutama dalam bentuk biomassa di permukaan dan bawah tanah. Stok karbon ini akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan dan penambahan usia, akan tetapi bergantung pada lokasi tempat hidupnya (Schile et al. 2017).
Mangrove adalah kelompok tumbuhan yang tumbuh dikawasan intertidal dan memberikan pengaruh besar terhadap Kesehatan biota terestrial-laut (biotik) dan substrat perairan (abiotik) bagi sosial ekonomi masyarakat (Dharmawan et al. 2020).
Umumnya kawasan mangrove di Indonesia yang selalu tergenang bahkan saat air surut di domininasi oleh jenis mangrove Avicennia alba atau Sonneratia alba, sedangkan spesies mangrove yang terendam oleh pasang suruh sedang di dominasi oleh Rhizophora sp. dan jenis yang tergenang hanya pada saat air pasang umumnya didominasi oleh Bruguiera sp. dan Xylocarpus granatum (Sukuryadi et al. 2021).
Indonesia merupakan negara yang memiliki luasan ekosistem mangrove terbesar (sekitar 20% dari total mangrove dunia) dan keanekaragaman jenis tertinggi di dunia, dengan 2,67 juta Ha mangrove yang berada dalam kondisi baik (80,74%) dan 637 ribu Ha (19, 26%) dalam kondisi kritis (BRGM, 2021).
Mangrove sebagai Penghalang Hidup Pesisir
Saat ini, penggunaan istilah mangrove mulai dikenal oleh masyakakat seiring dengan banyaknya kegiatan konservasi mangrove dalam bentuk ekowisata (wisata yang berbasis ekosistem tertentu), yang dahulunya masyarakat hanya mengenal istilah vegetasi mangrove dengan istilah bakau, dimana penyebutan bakau tidaklah tepat untuk berdeskripsikan mangrove.
Istilah bakau hanya mengacu pada satu genus mangrove yakni kelompok Rhizophora. Adanya ekowisata mangrove tidak hanya memberikan ruang untuk rekreasi dan pengetahuan terkait mangrove namun juga memberikan jasa ekologi dari eksistensi mangrove terutama bagi masyarakat pesisir yang merasakan dampak langsung dari kehadirannya.
Secara garis besar fungsi ekonomis dari adanya ekosistem mangrove yakni berdampak pada perikanan di daerah pesisir yang merupakan salah satu produk yang dihasilkan oleh adanya ekosistem mangrove tersebut.
Posisi ekosistem mangrove yang menjadi pembatas antara perairan dan darat menjadikannya memiliki peran sebagai penyangga yang essensial dalam melindungi pesisir (Gambar 1) .
Secara ekologi, adanya perputaran nutrien menjadikan mangrove sebagai habitat berbagai jenis biota dengan menyediakan daerah feeding ground dan nursery.
Mangrove menjadi solusi alami untuk melindungi pesisir dari adanya abrasi, instrusi air laut bahkan tsunami, seperti yang dijelaskan oleh Alongi (2008) bahwa mangrove yang memiliki lebar minimal 100 m secara signifikan dapat mengurangi tekanan aliran gelombang tsunami.
Yanagisawa et al. (2021) yang melakukan investigasi mitigasi bencana tsunami terkait dengan keberadaan hutan mangrove dengan menggunakan model numerik dan survei lapangan mendapatkan hasil bahwa tinggi gelombang tsunami menurun dari 3.2 m menjadi 1.9 m pada luas mangrove 50 m.
Meskipun hutan mangrove yang berada dibagian depan barisan hutan dihancurkan oleh arus tsunami yang kuat, namun hanya terlihat kerusakan kecil 10 m dari tepi hutan dan tidak ditemukan kerusakan yang terjadi pada jarak 40 m di dalam hutan. Hashim dan Catherine (2013) menambahkan bahwa pada hari normal, hutan mangrove terbukti dapat mengurangi dampak gelombang pada pesisir pantai.
Sistem perakaran mangrove juga berperan dalam menahan laju sedimentasi dan masukan seperti sampah plastik yang terbawa dari daratan ke ekosistem perairan laut.
Mangrove mampu menyerap karbon dioksida dengan cepat kemudian menyimpannya. Hal ini dapat mengurangi jumlah karbon yang terlepas langsung ke atmosfer.
Karbon-karbon yang terlepas ke atmosfer inilah yang mempengaruhi terjadinya perubahan iklim. Hutan mangrove sangat produktif dengan tingkat produksi karbon setara dengan hutan hujan tropis.
Mangrove secara proporsional menyimpan lebih banyak karbon di bawah tanah dan memiliki rasio karbon yang lebih banyak dari bawah hingga keatas permukaan tanah tanah jika dibandingkan dengan pohon terrestrial (darat).
Karbon-karbon ini sebagian besar disimpan dalam kumpulan besar di dalam tanah dan akar-akar yang mati (Alongi 2012).
Apabila ekosistem-ekosistem yang tergabung dalam ekosistem karbon biru mengalami degradasi atau rusak maka karbon yang telah tersimpan akan terlepas dalam bentuk karbon dioksida yang akan berkontribusi pada terjadinya perubahan iklim secara global.
Dharmawan et al. (2020) menyatakan bahwa dalam beberapa dekade terakhir, hutan mangrove mengalami penurunan luasan yang cukup signifikan disebabkan adanya alih guna lahan dalam kegiatan reklamasi dan pembukaan tambak.
Kita mengetahui, kita tidak bisa secara penuh dapat menghentikan terjadinya perubahan iklim, akan tetapi kita bisa melakukan langkah preventif untuk mengurangi dampak perubahan iklim untuk masa depan yang lebih baik.***
Baca juga: Lamun Melamun: Hiraukan Aku Kini, Bersedihlah Kemudian
Editor: J. F. Sofyan
Sumber:
Alongi, Daniel M. 2008. “Mangrove Forests: Resilience, Protection from Tsunamis, and Responses to Global Climate Change.” Estuarine, Coastal and Shelf Science 76(1):1–13. doi: 10.1016/j.ecss.2007.08.024.
Alongi, Daniel M. 2012. “Carbon Sequestration in Mangrove Forests.” Carbon Management 3(3):313–22. doi: 10.4155/cmt.12.20.
Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). 2021. PPT. Rehabilitasi Mangrove Menbangun Destinasi Ekowisata Mangrove Berkelanjutan di sampaikan oleh Gatot Soebiantoro – Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat BRGM 6 Desember 2021.
Dharmawan, I. Wayan Eka, Suyarso, Yaya Ihya Ulumuddin, Bayu Prayudha, and Pramudji. 2020. PANDUAN MONITORING STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI INDONESIA. Bogor: PT Media Sains Nasional.
Fourqurean, James W., Beverly Johnson, J. Boone Kauffman, Hilary Kennedy, Catherine E. Lovelock, J. Patrick Megonigal, Abdullah Rahman, Neil Saintilan, and Marc Simard. 2019. “Coastal Blue Carbon.” Habitat Conservation (Ci):860.
Hashim, Ahmad Mustafa, and Sim Mong Pheng Catherine. 2013. “A Laboratory Study on Wave Reduction by Mangrove Forests.” APCBEE Procedia 5:27–32. doi: 10.1016/j.apcbee.2013.05.006.
Schile, Lisa M., J. Boone Kauffman, Stephen Crooks, James W. Fourqurean, Jane Glavan, and J. Patrick Megonigal. 2017. “Limits on Carbon Sequestration in Arid Blue Carbon Ecosystems.” Ecological Applications 27(3):859–74. doi: 10.1002/eap.1489.
Sukuryadi, Nuddin Harahab, Mimit Primyastanto, and Alfian Pujian Hadi. 2021. “Short Communication: Structure and Composition of Mangrove Vegetation in Lembar Bay Area, West Lombok District, Indonesia.” Biodiversitas 22(12):5585–92. doi: 10.13057/biodiv/d221243.
Yanagisawa, Hideaki, Toyohiko Miyagi, and Shigeyuki Baba. 2021. “Mitigation Effects of Mangrove Forests on Tsunami Impacts in Upolu Island , Indepen- Dent State of Samoa – Field Surveys and Numerical Modeling of the 2009 Event.” Mangrove Science 12:3–10.
Tanggapan